
Hukum adalah aturan main yang bersifat supervisi. Ia merupakan sebuah refleksi positif yang memenej laju kehidupan manusia agar tidak keluar dari jalur yang semestinya ia lalui (benar). Berbicara tentang hukum, secara apriori akan menarik ikatan horizontal untuk juga membahas perihal sang pembuat hukum dalam hak perogratif dan otoritasnya. Karena dengan hak-hak inilah ia berwenang untuk menghasilkan sebuah hukum yang sudah barang tentu tidak akan pernah kita jumpai interfensi-interfensi di dalamnya dari pihak manapun. Juga dengan hak-hak tersebutlah ia dapat mendeklarasikan untuk menentukan keeksissan atau pengeliminasian pada sebuah hukum tertentu yang telah ia buat.
Hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum agama yang dibuat oleh Tuhan YME. Dengan keesaan-Nya ia bisa berbuat apa saja, dengan kemampuan tiada tara-Nya ia dapat melakukan apa saja dan dengan kehendak-Nya ia berhak menentukan apa saja. Jadi, sudah merupakan sifat wajib – dari sekian banyak sifat-sifat wajib - bagi Tuhan YME untuk memiliki semua itu. Singkat kata Tuhan adalah Yang Maha Esa (wahdaniyyah), Yang Maha Mampu (qudroh) dan Yang Maha Berkehendak (irodah). Kita akui ataupun tidak sifat-sifat tersebut, Tuhan YME akan selalu tetap ada pada eksistensi keabadian-Nya.
Berangkat dari ikhtisar penjelasan di atas, penulis akan mencoba sedikit membahas tentang hukum-hukum Tuhan YME yang telah dibuat-Nya dan dinyatakan-Nya eksistensi hukum tersebut dan eliminasinya.
Definisi Nasikh dan Mansukh
Sebelum membeberkan makna Nasikh dan Mansukh hendaknya terlebih dahulu kita harus mengetahui kata asal dan maknanya dari kata Nasikh dan Mansukh. Kedua kata tersebut (Nasikh dan Mansukh) berasal dari bahasa Arab yaitu an-naskh (ن س خ) yang berdefinisi etimologi adalah pengangkatan, pencabutan, penghilangan atau pembatalan. Sedangkan definisi terminologinya menurut Ilmu Ushul Fiqh adalah penjelasan/ketentuan dari Syaari’ mengenai habisnya waktu beramal dengan hokum-hukum syar’i sebab dalil-dalil syar’i pula yang turunnya lebih akhir (daripada hokum-hukum syar’i tersebut). Jadi, dalil-dalil syar’i inilah yang akan memainkan peranan penting dalam menentukan eksistensi sebuah hokum atau elimisainya. Dan dalil-dalil syar’i di sini adalah langsung dari Syari’ atau Sang Pembuat Hukum.
Nasikh adalah ism fa’il dari kata an-naskh. Ia adalah subyek/pelaku yang berperan mencabut sebuah hokum, yang membatalkan atau yang menghilangkan hokum tersebut. Nasikh di sini adalah dalil-dalil syar’i seperti yang telah disebutkan di atas dan datangnya dari Syari’ atau Sang Pembuat hokum.
Sementara Mansukh adalah ism maf’ul dari kata an-naskh. Dalam hal ini ia adalah obyek/sasaran kerja dari Nasikh atau ia adalah hukum yang dicabut, dihilangkan atau dibatalkan.
Prespektif Yahudi Perihal Nasikh dan Mansukh
Pada kitab Tahdziyb Syarh al-Asnawiy ‘ala Minhaj al-Wushul ila ‘Ilmi al-Ushul disebutkan bahwa orang-orang Yahudi memiliki prespektif yang berbeda-beda mengenai ada dan tidaknya Nasikh dan Mansukh. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga sekte. Sekte yang pertama disebut as-Syam’uniyyah adalah mereka yang berasumsi bahwa Nasikh dan Mansukh tidak dibenarkan adanya baik melalui akal (logika) maupun melalui pendengaran. Sekte yang kedua disebut al-‘Inaniyyah adalah golongan yang tidak membolehkan adanya Nasikh dan Mansukh melalui pendengaran saja, artinya mereka membenarkan adanya Nasikh dan Mansukh berdasarkan logika. Dan sekte yang terakhir disebut al-‘Isawiyyah adalah kelompok orang-orang yang menerima sekaligus membenarkan adanya Nasikh dan Mansukh tapi mereka menginterpretasikan bahwa itu hanya terjadi pada kaum Bani Isma’il bukan Bani Israil. Ini karena mereka – al-‘Isawiyyah – berasumsi bahwa Nabi Muhammad SAW lahir dari kalangan Bani Isma’il dan hanya diutus kepada Bani Isma’il bukan untuk Bani Israil. Jadi, masih menurut mereka kalaupun ada pengentasan sebuah hukum syari’at tertentu maka ia adalah Syari’at Nabi Muhammad SAW dan bukan Syari’at Isa AS.
Syarat-Syarat Naskh
1. Mansukh harus berupa Hukum Syar’i
Oleh karena syarat Mansukh harus berupa hukum syar’i,maka jika keadaan hukum qodim yang akan dinaskh adalah bersifat tetap baro’ah aslinya seperti kebiasaan minum khamer di zaman jahiliyyah kemudian kebiasaan tersebut diangkat statusnya menjadi haram maka pengangkatan hukum di sini tidak bisa disebut naskh.
2. Nasikh harus berupa Dalil Syar’i yaitu al-Quran dan al-Sunah
Dari syarat Nasikh di atas dapat dipahami bahwa jika keadaan naskh bukan merupakan khitob syar’i maka ia tidak bisa disebut naskh, seperti wafatnya seorang mukallaf atau sebab gilanya, karena dengan sebab-sebab tersebut sifat taklif (pembebanan hukum) yang ada padanya akan hilang atau diangkat (ditiadakan). Jadi, dalam keadaan ini sebab-sebab tersebut tidak bisa disebut sebagai Nasikh.
3. Ihwal Nasikh harus lebih akhir daripada Mansukh (Mansukh harus lebih dulu adanya daripada Nasikh)
Sementara pada syarat yang ketiga adalah hadirnya Nasikh harus setelah Mansukh. Karena tidak lazim dan mustahil jika sesuatu yang bertugas menghapus/membatalkan sebuah hukum hadirnya lebih dahulu - daripada hukum yang akan diangakat/dihapuskannya – sementara hukum yang menjadi sasaran obyek kerjanya belum ada.
4. Naskh hanya ada di zaman kenabian ( pada saat Nabi SAW masih hidup)
Untuk syarat yang terakhir ini akan lebih dirincikan pada pembahasan berikutnya mengenai masa/zaman terjadinya naskh.
Zaman Terjadinya Naskh
Merupakan konsesus Ulama’ bahwa Naskh hanya terjadi di masa kenabian saja yakni pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, maka setelah wafatnya tidak dibenarkan adanya naskh lagi. Semua ini karena umat tidak memiliki kapasitas juga tidak mempunyai kredibilitas serta hak – baik preogratif maupun otoritas- untuk menghapus atau membatalkan sebuah hukum. Sebab untuk mengeliminasi sebuah hukum hanya dapat ditempuh dan diketahui dengan wahyu ilahi, sementara wahyu hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Nabi terakhir adalah Nabi Muhammad SAW maka setelah beliau wafat jelas tidak akan ada penaskhan hukum lagi.
Tempat Terjadinya Naskh
Hukum-hukum syar’i yang bisa menerima naskh adalah hukum-hukum yang yang sifatnya tidak abadi, terbatas oleh waktu (sementara) dan tidak bersangkutan dengan akidah. Contohnya firman Tuhan YME yang mewajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat-kerabat pada surat al-Baqarah ayat 180 yang kemudian dinaskh/diangkat hukum wajibnya dengan ayat-ayat waris seperti pada surat an-Nisa ayat 11 dan 12. Juga sabda Nabi SAW yang membolehkan berziarah kubur setelah sebelumnya beliau melarangnya. Tetera pada hadist sucinya “ كنت نهيتكنم عن زيارة القبور ألا فزوروها ”. Sebaliknya, hukum-hukum yang bersifat abadi, tidak terbatas oleh waktu juga berkenaan perihal akidah maka hukum-hukum ini tidak dapat menerima naskh. Seperti hukum wajib beriman kepada Allah SWT, Malaikat-MalaikatNya, Rosul-RosulNya, Kitab-KitabNya, Qodho dan Qadhar juga pada Hari Akhir. Tidak bisa menerima naskh juga adalah hukum-hukum asal seperti ushul ibadah, ushul fadhoil dan ushul rodzail, seperti yang akan dirincikan pada pembahasan berikutnya.
Diversifikasi Naskh
Ditanjau dari peleburan hukumnya maka naskh terbagi menjadi dua variasi, yang pertama adanya hukum pengganti dan yang kedua tanpa hukum pengganti.
1. Naskh hukum dengan memberikan hukum pengganti, meliputi :
a. Naskh hukum dengan memberikan hukum pengganti yang setara
Seperti perubahan arah kiblat dari Bait al-Muqoddas ke Ka’bah al-Mukarromah. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori bahwa Nabi Muhammad SAW pernah shalat menghadap ke arah Bait al-Muqoddas selama 16 bulan. Kemudian arah shalat ini dinaskh/dieentas hukumnya dengan firman Tuhan YME pada surat al-Baqarah ayat 144 yang mewajibkan shalat mengarah ke Masjid al-Haram. Kita dapati di sini bahwa hadis di atas yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori telah dinaskh oleh al-Qur’an al-Karim.
b. Naskh hukum dengan memberikan hukum pengganti yang lebih ringan
Contohnya adalah ‘idah seorang wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya - sedang dia tidak dalam keadaan hamil – adalah selama setahun penuh, seperti yang tertera di dalam firman Tuhan YME, al-Qur’an al-‘Adzim pada surat al-Baqarah ayat 240. Kemudian hukum ‘idah setahun penuh ini dinaskh dengan ayat 234 pada surat al-Baqarah yang isinya bahwa ‘idah seorang wanita yang tidak hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.
c. Naskh hukum dengan memberikan hukum pengganti yang lebih berat
Dahulu kala kewajiban berpuasa atas orang-orang mukmin adalah puasa Asyuro’ saja. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berpuasa di hari Asyuro’ dan beliau memerintahkan orang-orang muslim untuk ikut berpuasa juga. Kemudian kewajiban berpuasa di hari Asyuro’ ini dinaskh/dientaskan kewajibannya dengan ayat yang mewajibkan puasa di bulan Ramadhan secara penuh selama 30 hari pada surat al-Baqarah ayat 185.
2. Naskh hukum tanpa disertai hukum pengganti
Contohnya adalah kewajiban memberikan sedekah kepada Nabi SAW bagi siapa saja yang ingin berbincang-bincang dengan Nabi yang mulia itu. Kewajiban memberi sedekah ini tertera pada surat al-Mujadalah ayat 12 “ الرسول فقدموا بين يدي نجواكم صدقة يا أيها الذين آمنوا إذا ناجيتم ”. Kemudian Allah SWT mencabut kewajiban ini dan tidak memberikan kewajiban pengganti pada surat al-Mujadalah ayat 12 " فإن لم تجدوا فإن الله غفور رحيم " .
Hukum-Hukum yang Tidak Bisa Menerima Naskh
1. Hukum-hukum ushul yang berelasi dengan ushuluddin dan aqo’id, seperti iman dan tauhid
2. Hukum-hukum universal dan bersifat koelktif, seperti amar ma’ruf nahi munkar
3. Ushul akhlaq dan fadhoil (keutamaan-keutamaan) yang telah ditetapkan keberadaannya, seperti adil, amanah, berbuat baik terhadap orang tua, menepati janji. Begitu juga sebaliknya yakni yang bersifat rodzail (keburukan-keburukan) seperti perbuatan dzolim, berhianat dan berbuat zina.
4. Hukum yang bersifat abadi, seperti wajibnya jihad sampai hari kiamat
5. Hukum yang berelasi dengan waktu, seperti wajibnya puasa sampai hari petang
6. Kisah-kisah yang telah Allah SWT ceritakan, seperti umat-umat terdahulu juga kabar-kabar yang akan terjadi di masa mendatang, seperti keluarnya Dajjal.
Metodelogi untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh
Pada substansialnya hukum-hukum syar’i bersifat muhkam dan tidak menerima naskh. Jadi tidak serta-merta mengatakan hukum ini Nasikh dan hukum itu Mansukh dengan hanya berargumen pada ijtihad dan pendapat belaka. Itu semua karena hukum-hukum tersebut bersumber dari Syari’ maka untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh harus menggunakan dalil naqli yang bersumber dari Syari’ yang sama yaitu al-Qur’an dan al-Hadis.
Maka metodelogi yang digunakan pun untuk mengetahui perihal Nasik dan Mansukh akan tetap memakai dalil-dalil syar’i tersebut. Nasikh dan Mansukh dapat diketahui dengan salah satu cara di bawah ini :
1. Adanya kejelasan dari al-Alqur’an atau al-Hadis yang mengindikasikan bahwa ini Nasikh dan itu Mansukh. Seperti firman Allah SWT pada surat al-Anfal ayat 66 “ ألآن خفف الله عنكم ” maka adapun kalimat at-takhfif adalah merupakan indikasi yang menjelaskan bahwa ayat ini adalah Nasikh terhadapap ayat yang mewajibkan kepada seseorang (meskipun sendirian) untuk tetap bertahan walaupun menghadapi sepuluh musuh sekaligus pada surat al-Anfal ayat 65.
2. Ijama’ al-Ummah yang menyatakan bahwa ini adalah Nasikh dan itu adalah Mansukh, seperti Ijma’ naskh terhadapap kewajiban berpuasa di hari Asyuro’ dengan mewajibkan berpuasa di bulan Ramadhan.
3. Jika ada dua dalil yang saling kontradiksi dari segi yang berbeda, misalnya dalil pertama menyatakan wajib sementara dali yang kedua menyatakan mubah dan diketahui perihal kedatangannya yakni yang mana yang awal dan yang mana yang terakhir maka yang terakhir adalah Nasikh dan yang yang awal adalah Mansukh.
Profit-Profit dari Hukum yang Dinaskh
Dari penjelasan-penjelasan yang telah lalu, kita bisa mengambil beberapa point penting yang bisa dijadikan sebagai profit pengeliminasian sebuah hukum tertentu. Misalnya, profit maslahah seperti pada pengentasan hukum dari wajibnya berwasiat sebab diberlakukannya hukum waris dengan tetap menyunahkan berwasiat terhadap selainnya. Juga profit kenikmatan dari kebijkan Tuhan YME seperti pada pengeliminasian hukum ‘idah yang wajib setahun penuh dengan hanya selama empat bulan sepuluh hari. Berikut profit ujian untuk tetap mematuhi terhadap apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Tuhan YME, seperti pencabutan kewajiban berpuasa di hari Asyuro’ yang sehari saja dengan wajibnya berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Dan masih banyak profit-profit lain yang bisa kita ambil sebagai hikmah diberlakukannya pengeliminasian sebuah hukum.
Maha Benar Tuhan YME atas segala firman-NYa, Maha Suci Tuhan YME atas segala ketetapan-Nya, Maha Bijaksana Tuhan YME atas semua kehendak-Nya. Kita sebagai makhluk paling sempurna yang telah Ia ciptakan sudah sepatutnya mensyukuri semua kenikmatan yang telah diberikan-Nya secara cuma-cuma. Dari semua hukum-hukum yang Tuhan YME telah tetap keeksisannya kita bisa tetap beribadah pada-Nya hanya menyembah pada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya, tetap mengimani keabadian-Nya, berikut iman kepada Malaikat-Nya, kitab-Nya, Rosul-Nya dan segala kuputasan-Nya Qodho dan Qodhar. Dan dari hukum-hukum yang Tuhan YME cabut kewajibannya, sekali lagi kita sebagai hambanya sudah sepatutnya bersyukur atas semua ketetapan-Nya, kerena mustahil bagi Tuhan YME mengerjakan, menginginkan, menetapkan dan memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Maha Suci Tuhan YME dari semua itu.
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini mengenai profit eksistensi dan eliminasi sebuah hukum, penulis berharap bahwa Tuhan YME tetap selalu menjaga kita, menuntun kita, melindungi kita dan juga meridhoi apa yang kita cita-citakan juga tentunya mengabulkan semua asa kebaikan kita, amin….!!!