Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Sabtu, 13 Agustus 2011

Eksistensi Ilmu Ushul Fikih (2)


Dimensi Otoritas Ilmu Pengetahuan (Al-Bu’du Al-Sulthâwiy Al-ma’rifiy)

Jika kita diperkenankan untuk memberi label sebuah peradaban, maka peradaban Islam –berdasarkan salah satu produknya yang paling dominan- adalah peradaban fikih (hadlârah al-fiqh). Sama halnya dengan peradaban Yunani adalah peradaban filsafat (hadlârah al-falsafah). Pun peradaban Eropa modern adalah peradaban ilmu dan teknis (hadlârah al-‘ilm wa al-taqniyyah). Ini semua jika ditilik dari kacamata ekspansi positif, sementara jika diteropong menggunakan lensa orisinilitas, maka status fikih Islam merupakan produk murni Arab-Islam. Dan jika ditinjau dari sisi yang lain terkait kontroversial bermadzhab (al-khilâfât al-madzhabiyyah) , fikih tidak tunduk terhadap hal-hal kontoversi yang berkenaan dengan teologi (al-khilâfât al-kalâmiyyah) maupun ideologi politik (al-‘aqdiyyah al-siyâsiyyah) tertentu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, sekte-sekte teologi maupun gerakan berideologi tertentu yang justru mengekor madzhab-madzbah fikih seraya mengikuti perkembangannya.[1] Tidak heran jika pada periode-periode selanjutnya fikih masih akan menempati posisi paling sentral dalam dunia keilmuan Islam.

Dimensi ilmu pengetahuan yang melingkupi ruang kerja fikih adalah latar belakang era paling awal yang menjembatani untuk sampai pada titik temu era kodifikasi ilmu ushul fikih. Jauh sebelum ilmu ushul fikih lahir dengan perangkat konseptual hukum kolektifnya, terdapat banyak embrio konsep hukum yang masih dalam bentuk paling amatur. Artinya, rute ilmu ushul fikih sebelum mengalami kematangan di tangan imam Syafi’i mengalami berbagai wacana gradual di setiap lini madzhab fikih yang ada.

Dialektika teks dan konteks selalu saja melahirkan dinamika baru dalam dunia interpretasi teks sebagai langkah awal berhukum. Pendekatan terhadapap teks pun beraneka ragam. Sebut saja Abu Hanifah (80 H/699 M – 150 H/767 M), metodologi yang dipakai oleh Abu Hanifah dalam melakukan sebuah interpretasi terhadap teks adalah sepenuhnya bersifat logis. Artinya logika menempati strata tertinggi untuk memahami pesan teks. Bukti dari pernyataan tersebut tergambar dari bagaimana Abu Hanifah banyak memainkan peran logika atas teks yang ada, sehingga malah terkesan mempermainkan teks. Pada akhirnya –berangkat dari prespektif yang diusung olehnya ini- madzhab fikih Hanafiah mendapat justifikasi bahwasa mereka sepadan dengan madzhab Muktazilah dari ranah teologi.[2] Sistem permainan logika dalam berhukum yang ditelurkan oleh Abu Hanifah tersebut adalah betapa akal merupakan sebuah keniscayaan yang dapat melacak makna dan pesan teks. Sekalipun didapati komparasi antara teks dan konteks, akal-lah yang berbicara untuk menyelesaikannya. Logika berhukum ini disebut al-istihsân, sebuah perilaku yang melihat titik positif dengan perspektif akal.

Berbeda dengan Abu Hanifah yang berkediaman di Irak, masyarakat Madinah pun memiliki perangkat hukum yang juga berbeda. Untuk mengetahui perangkat apa yang dipakai oleh masyarakat Madinah tidaklah susah. Ini bisa ditengarai bahwa Madinah adalah kota di mana Sunah menunjukkan tajinya dalam mengatur sekaligus menyelesaikan problema yang ada di sekitar masyarakat Madinah saat itu. Logika yang diagung-agungkan oleh masyarakat Irak sama sekali tidak mendapat porsi cukup di kalangan masyarakat Madinah. Malik Bin Anas (93 H/712 M - 179 H/795 M) sebagai jendral tertinggi dalam bidang strategi hukum di kalangan masyarakat Madinah kala itu, menjadikan Sunah sebagai patokan mutlak untuk memahami teks Al-Qur’an. Kefanitakannya terhadap Sunah justru kerap kali tak bisa menjawab perihal problema masyarakat yang selalu terus bertambah komplek.[3] Terlepas dari itu, ia melahirkan sistem berhukum baru sebagai bentuk simpati terhadap problema umatnya. Adalah al-maslahat al-mursalah status identitas yang menjadi program unggulannya tersebut. Teori al-maslahat al-mursalah ini ia jadikan sebagai senjata terakhir dalam menghadapi problem umat kala itu, sebagai tindak lanjut dari program berhukum lainnya, yaitu ijmâ’ ahl al-madînah.

Memahami kondisi dan situasi sosio-politik dan laku ilmu yang morat-marit di eranya, Muhammad Bin Idris Al-Syafi’i (150 H/767 M – 204 H/820 M) –sebagai putra agama sekaligus murid Abu Hanifah dan Malik Bin Anas- jelas merasa terpanggil untuk ikut terjun ke medan peperangan sekaligus dengan membawa bendera baru.[4] Perangkat konseptual seputar teks yang diusung olehnya adalah mencoba melakukan pembasisan ulang pemahaman (ta’sîs al-mafâhîm) terhadap teks. Sehingga, semua fenomena realita; mulai dari problematika sosial, politik, ekonomi dan budaya harus kembali ke dalam ruang lingkup teks. Jika didapati sebuah entitas –baik laku individu atau sosial- yang keluar dari maksud teks, maka sudah barang tentu ia keliru.

Usaha perdamaian metodologi seputar interpretasi teks yang dilakukan oleh Syafi’i terhadap dua entitas sebelumnya –ahl al-hadist dan ahl al-ra’yi- mendapat sorak-sorai dan sambutan tepuk tangan yang luar biasa. Sebuah usaha penetral keadaan sekaligus bentuk kepedulian. Tak ayal, ini pun merubah status sosial dan menjadikannya sebagai penggagas pertama paham moderatisme berhukum. Tidak berhenti pada hal itu saja, gelar nâshir al-sunah pun disandangnya. Sudah barang tentu, bagaimana ia tidak mendapat nâshir al-sunah jika pada kenyataannya ahl al-hadîst selalu bisu ketika mencoba mendialogkan teks dan konteks di panggung pentas kehidupan.

Nalar Ushul Fikih; Formula Epistemologi Baru

Perjalanan manusia sebagai makhluk yang berakal akan terus menyajikan sebuah fenomena yang akan selalu menarik untuk dikaji. Baik beragama karena berakal maupun berakal karena beragama. Di samping itu, interpretasi seputar teks-teks keagamaan pun bercorak seiring mengikuti perangkat metodologi penalaran yang dipakai dalam bingkai sebuah ilmu. Dinamika kejumudan dua dimensi kehidupan –sosio-politik dan ilmu pengetahuan- yang hanya didasari atas dogma dan doktrin tidak akan pernah tereliminasi dari pentas pergelutan seputar dunia interpretasi teks. Tentu, untuk merubah keadaan yang sedang krisis –baik moral maupun laku ilmu- perlu sebuah manuver konkrit yang bisa berfungsi sebagai filter sekaligus motivasi dua dimensi tersebut agar terus bergerak dinamis dan tidak statis.

Aksiomatis dan merupakan konsesus mutlak bahwa wahyu telah usai, artinya tidak akan pernah ada lagi wahyu dari Tuhan pasca mangkatnya Nabi SAW. Sudah barang tentu akan menjadi fenomena yang sangat ironis jika teks-teks agama (Qur’an dan Hadis) tidak dipahami dengan akal yang bernalar positif. Karena akallah yang menjadi perangkat paling utama ketika ingin menyelami samudra substansi teks. Dan ilmu ushul fikih adalah sebuah ilmu yang berasaskan atas dasar subsantisial aturan main Tuhan pada ranah ruang lingkup teks dan aktifitas logis dalam praktiknya sebagai kemaslahatan di dunia konteks.[5]

Berangkat dari dua medan pertempuran yang berbeda wilayah agresinya dalam berhukum (elite politik/rijâl al-siyâsah-ulama’/rijâl al-ma’rifah dan madrasah Madinah/ahl al-hadîts-madrasah Irak/ahl al-ra’yi) namun terjadi dalam satu waktu, reformasi konsep hukum yang ditawarkan oleh Syafi’i merupakan sebuah upaya nyata yang memang benar-benar bisa membalikkan situasi untuk kembali manjadi padu sebagi jawaban atas fenomena realita yang sudah semakin abstrak, yang mana hanya dipenuhi oleh manipulasi dan intervensi kepentingan relatif.

Melakukan pembasisan ulang (iâdah al-ta’sîs/restructure) bangunan ilmu fikih demi mendapatkan pemahaman baru yang lebih progresif perihal moral dan laku ilmu, Syafi’i dengan talenta penguasaan bahasa Arab yang ciamik dapat dengan mudah membangun kembali retakan-retakan epistemologi fikih yang bersifat praktis. Sehingga, pada tataran metodologi ilmu selanjutnya[6], ia berhasil melahirkan karya spektakuler yang berepistemologi kolektif. Hasil peleburan retakan-retakan epistemologi fikih klasik inilah yang merupakan titik pijak awal geneologi ilmu ushul fikih, yang mana struktur epistemologinya (al-binyah al-îbîstîmûlûjiyyah) mengalami kematangan di era kodifikasinya.[7]

Formula epistemologi baru dalam tubuh ilmu ushul fikih sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan berfikir maupun berhukum terkait interpretasi-interpretasi liar terhadap teks. Dimana teks dengan sifat otoritas sakralnya memainkan peranan yang sangat urgen dalam penjustifikasian sebuah kasus teretntu, baik dalam ruang lingkup dimensi sosio-politik mapun dimensi keilmuan.[8] Sebuah keadaan yang sebenarnya sangat dilematis, dimana menghadapi kuasa sultan yang bersarung pedang dengan wacana keilmuan yang hanya menggunakan mata pena, pun melawan balik mainstream yang sedang berlangsung di atas panggung pentas realita.

Bangunan konsep ilmu ushul fikih di tangan Syafi’i ternyata mampu menjawab sekaligus memberikan solusi praktis atas kondisi moral sosial dan laku ilmu dalam interpretasi. Nalar awal ushul fikih dalam kitab Al-Risalah ternyata mampu mewakili konsep-konsep hukum sebelumnya. Imam Syafi’i yang secara akademis adalah murid dari imam Malik –penggagas konsep al-mashlahah al-mursalah yang berdasarkan ijmâ’ ahl al-madînah- dan juga murid dari imam Abu Hanifah –pencetus konsep al-istihsân yang berdasarkan al-ra’yi- berhasil memadukan dua konsep hukum tersebut sekaligus memberikan acuan-acuan praktis agar tidak lagi statis atau malah liar dan tidak sistematis.[9]

Aktualisasi teks terhadap kontesk tidak sepenuhnya dan selalu berjalan mulus seperti yang diasakan. Pada satu kesempatan, teks suci keagamaan ditumbalkan sebagai basis keberlangsungan otoritas politik[10], dan pada kesempatan yang lainnya justru dijadikan sebagai basis otoritas sekte tertentu terkait pemahamannya terhadap teks itu sendiri. Akibatnya, dialektika antara dunia teks (world of the text), dunia pengarang (world of the author) dan dunia konteks (world of the reader) yang seharusnya dinamis, kini tidak hanya terpetakan tapi juga terkaburkan.[11]

Memadukan dunia sakral teks yang statis (al-tsâbit) dengan dunia konteks yang dinamis (al-mutahawwil) merupakan tujuan utama dari nalar ilmu ushul fikih. Jika ditilik dari teori logis, metodologi Syaf’i terbagi ke dalam dua prinsip; (1) prinsip similaritas (mabda’ al-tasyâbuh/principle of similarity) yang beorientasi pemahaman bahwa peristiwa era kontemporer harus memiliki keserupaan dengan peristiwa-peristiwa klasik dengan asas bahwa keklasikan merupakan akar kolektif pada titik temu hukum antara keduanya, (2) prinsip relasivitas (mabda’ al-tawâshul/principle of relasivity) jika prinsip yang pertama menjadikan peristiwa klasik sebagai titik pusat hukum, maka pada prinsip relasi ini ia menuntut adanya indikasi-indikasi tertentu (al-‘llât) yang pada tatanan selanjutnya dapat menjembatani kasus-kasus baru (al-masâil al-jadîdah/new problems) untuk sampai pada legalitas hukum masing-masing kasus.[12] Oleh karena itu, penalaran yang bersifat mengembalikan data-fakta kasus kontemporer ke dalam ruang kuasa teks sejatinya merupakan laku jati diri hukum itu sendiri (al-syai’ fî al-dzâtihi) dan bukan semata-semata karena wacana kita (al-syai’ li al-dzâtinâ).[13] Dengan demikian, imam Syafi’i tidak hanya melakukan restruktur pemahaman (ta’sîs al-mafâhîm) tetapi ia bahkan berhasil membuat acuan konsep justifikasi pemahaman (tashhîh al-mafâhîm).

Rentetan nalar awal ilmu ushul fikih (al-bayân) yang dikemas menjadi lima buah konsep dalam tatanan hukum adalah struktur epistemologi yang terbangun di atas tiga dimensi kesadaran; kesadaran historis (al-wa’yu al-târîkhiy), kesadaran teoritis (al-wa’yu al-nadzariy) dan kesadaran realistis-praktis (al-wa’yu al-‘amaliy).[14] Pemahaman berdasarkan ketiga dimensi kesadaran tersebut merupakan sebuah laku penalaran dari apa yang sedang terjadi dalam ranah realita (al-wâqi’) sekaligus menyingkap tabir abstrak kebenarannya (nafs al-amr).[15] Dengan demikian, tiga dimensi ini masih dan akan terus selalu hadir sebagai struktur nalar utuh ilmu ushul fikih, sekaligus sahabat sejati yang akan menemaninya bertugas mengawal misi perdamaian dialektika relevansi teks dan konteks.

Epilog

Ushul fikih merupakan salah satu ilmu yang signifikan dalam khasanah perkembangan Islam. Sebagai suatu ilmu, tentunya ia akan terikat pada kaidah-kaidah dasar filosofis tentang hakekat ilmu yang sebenarnya. Pada dasarnya, upaya manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yaitu: obyek yang ingin diketahui, cara memperoleh pengetahuan, dan nilai yang dihasilkan ilmu pengetahuan tersebut bagi manusia. Aplikasi kaidah dasar filosofi ilmu –obyek yang ingin diketahui- dalam tubuh ushul fikih dapat dipahami melalui kesadaran historis (al-wa’yu al-târîkhiy). Kaidah dasar filosofi ilmu selanjutnya –cara memperoleh pengetahuan- dalam ushul fikih dapat dilalui dengan kesadaran teoritis (al-wa’yu al-ndzariy). Sementara kaidah dasar terakhir –nilai yang dihasilkan- pada tubuh ushul fikih dapat dilakukan menggunakan kesadaran praktis (al-wa’yu al-‘amaliy). Berdasarkan penerapan kaidah dasar filosofi ilmu tersebut, ushul fikih dapat dikategorikan sebagai ilmu filsafat hukum.

Membaca dari apa yang telah diulas dapat kita tarik benang merah kesimpulan bahwa eksistensi ilmu ushul fikih merupakan kritik atas dialektika dimensi sejarah. Dapat dikatan kritik karena memang pada dasarnya perangkat-perangkat konseptual yang dimiliki oleh ilmu ushul fikih –pada tataran aplikasinya- merupakan jawaban terhadap rancunya dua dimensi kehidupan, sosio-politik dan ilmu pengetahuan. Sehingga pada babakan selanjutnya profit keberadaanya berfungsi sebagai kritik yang konstruktif. Interpretasi liar terhadap teks yang cenderung memaksa untuk tetap dikontekstualisasikan justru melahirkan banyak problematika baru. Dialektika teks dan konteks inilah yang membidani lahirnya ilmu ushul fikih setelah melalui fase pembasisan ulang (restructure) dengan menjadikan retakan-retakan epistemologi fikih klasik sebagai batu loncatan konsep utuhnya. Dan kesadaran sejarah –sebagai salah satu kaidah dasar filosofi ilmu- dapat membuka pemahaman baru melalui pintu-pintu data-fakta sejarah. Dengan demikian, ilmu ushul fikih klasik terbangun atas fenomena-fenomena kesejarahan yang melatar-belakanginya pada waktu itu, pun merupakan bukti sejarah bahwa peta epistemologinya masih dan akan dapat selalu terus bergerak secara dinamis, seraya mengikuti perubahan dan perkembangan konsep-konsep baru setelahnya.

Perjalanan ilmu ushul fikih merupakan salah satu wujud bukti bahwa dunia keilmuan Islam bisa merubah cara pandang dan pola pikir sebuah peradaban. Jangkauan resonansi positifnya dapat menembus berbagai dimensi kehidupan. Sebagai ilmu yang berasaskan keagamaan, ushul fikih telah mampu mengimbangi pergerakan pemikiran klasik sekaligus mengarahkan ke arah yang lebih progresif. Nah sekarang, apakah ia juga mampu merubah pola pikir peradaban modern, dimana watak konsumtif telah menjamur di setiap lini kehidupan? Dan apakah ia juga masih mampu untuk merangsang berfikir progresif tanpa harus jatuh pada bayang-bayang hegemoni hasil pemikiran klasik? Kita lihat saja nanti!

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.



[1] Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabiy, Markaz Dirasah Al-Wahdah Al-Arabiyah, Beirut, cet. X, 2009, hal. 96-97

[2] Suatu ketika Abu Hanifah didatangi oleh seorang pria yang dilemma karena sumpahnya. Ia bersumpah untuk melakukan hubungan biologis dengan istrinya di siang hari yang bertepatan saat itu sedang dalam bulan Ramadan. Di satu sisi ia harus membayar kafârat al-yamîn sebagai ganti karena ia tidak melaksanakan sumpahnya, dan di sisi yang lain, jika ia melaksanakan sumpahnya otomatis puasanya akan batal sebab hubungan biologis tersebut sekaligus menanggung segala konsekuensi bentuk hukumnya. Dengan santainya Abu Hanifah menjawab “ Bepergianlah dengan istrimu karena dengan itu kalian diperbolehkan untuk tidak berpuasa secara syar’î, dan dengan demikian kalian juga diperbolehkan untuk melakukan hubungan biologis di siang hari”. Muhamad Abid Al-Jabiri, ibid., hal. 106

[3] Terbukti ketika Anas Bin Malik ditanya 48 masalah ternyata ia hanya bisa menjawab 16 pertanyaan saja. Jadi, sebanyak 32 masalah lainnya tak bisa ia jawab. Lihat Muhammad Abdul Raziq, lok. cit., hal. 224

[4] Ada beberapa faktor lain yang diposisikan sebagai pemicu kodifikasi ilmu ushul fikih yang tertuang dalam Al-Risalah; (1) keadaan hadis pada zaman setelah mangkatnya Nabi SAW. mengalami krisis teori praktis terkait metode periwayatan berikut matan hadis, (2) kontradiksi teori pemahaman seputar hukum dalam interpretasi teks yang memicu perdebatan antara ahl al-hadîts dan ahl al-ra’yi, (3) akulturasi peradaban baru (al-a’jâmiy) terhadap masyrakat Arab, tidak hanya pada tatanan kehidupan tetapi juga dalam tataran pemahaman khususnya yang berkaitan dengan problem bahasa, (4) semakin menjamurnya problematika umat dengan melahirkan kasus-kasus baru yang tidak didapati hukum pastinya dalam tubuh teks. Lihat lebih jauh: Sya’ban Muhammad Ismail, Ushûl al-Fiqh Nasyatuhu wa Tathawuru wa Madârisuhu wa al-da’wah ilâ Tajdîdihi, Al-Maktabah Al-Makkiyah, Mekah, cet.I, 2002, hal. 69

[5] Hasan Hanafi, Min al-Nash wa al-Wâqi’, Markaz Al-Kitab Li Al-Nasyr, Kairo, cet. I, Juz II, 2005, hal. 43

[6] Identitas prerogratif ide-pemikiran ilmu ushul fikih (al-fikr al-ashûliy) yang tidak didapati pada ilmu-ilmu Islam lainnya; (1) analisa rasionalis (al-tahlîl al-‘aqliy), (2) analisa eksperimental (al-tahlîl al-tajrîbiy), (3) analisa metodologis (al-tahlîl al-manhajiy), (4) analisa logis (al-tahlîl al-manthiqiy), (5) analisa disposisi natural (al-tahlîl al-alfithriy), (6) analisa subyektif (al-tahlîl al-dzâtiy), (7) analisa obyektif (al-tahlîl al-wadl’iy), (8) analisa praktis (al-tahlîl al-‘amaliy), (9) analisa humanis (al-tahlîl al-insâniy) dan (10) analisa orisinil (al-tahlîl al-ashâlatiy). Lihat lebih jauh: Hasan Hanafi, ibid., Juz I, hal. 18-23. Sementara dari sisi teoritis; (1) teori argumentasi (nadzariyah al-hujjiyah), (2) teori afirmasi (nadzariyah al-itsbât), (3) teori pemahaman (nadzariyah al-fahm), (4) teori pasti dan opini (nadzariyah al-qath’iyyah wa al-dzanniyyah), (5) teori kilas balik (nadzariyah al-ilhâq), (6) teori inferensi (nadzariyah al-istidlâl) dan (7) teori pemfatwaan (nadzariyah al-iftâ’). Lihat dan bandingkan: Ali Jum’ah, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh wa ‘Alâqatuh bi al-Falsafah al-Islâmiyyah, Dar Al-Risalah, Kairo, cet. II, 2009, hal. 36-42

[7] Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hal. 101

[8] Pemaknaan liar terhadap teks yang membidani lahirnya pemahaman relativisme subyektif merupakan bentuk nyata sebagai reaksi atas tuntutan kepentingan yang sejatinya justru mempraktikkan laku amoral dalam kawasan kehidupan yang berkeagamaan. Lihat lebih jauh: Abdul Madjid Shagir, op. cit., hal. 163-164

[9] Sya’ban Muhammad Ismail, lok. cit., hal. 72

[10] Abdul Majid Shaghir, op. cit., hal. 97

[11] Ilyas Supena, Epistemologi Hukum Islam dalam Pandangan Hermeunitka Fazlurrahman, Jurnal Al-Syir’ah, Vol. 42 No. II, UIN pers Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2009, hlm. 237

[12] Adonis, Al-Tsâbit wa al-Mutahawwil Bahs fî al-Ibda’ wa al-Itbâ’ ‘inda al-‘Arab, Dar El-Saqi, Beirut, cet. IX, Juz II, hal. 24

[13] Yahya Muhammad, Madkhal ilâ Fahm al-Islâm: al-Fikr al-Islâmiy Nidzamuhu Adwâtuhu Ushûluhu, Al-Intisyar Al-Arabi, Beirut, cet. I, 1999, hal. 55

[14] Hasan Hanafi, lok. cit., hal. 55

[15] Ali Jum’ah, lok. cit., hal. 33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar