
Kritik Dialektika Dimensi Sejarah[1]
“ فقد انقطع الوحى و علم الأصول منطق الوحى فمن قدح فى العقل فقد قدح فى النقل ”
[ حسن حنفى ]
Oleh: Hijr Ryan[2]
Prolog
Pada zaman modern seperti sekarang ini, pola pikir-pandang dan gaya hidup ibarat sebuah pertempuran ide-ide atau gagasan-gagasan yang mempertaruhkan identitas ideologi dan tradisi. Dalam medan peperangannya pun perangkat yang dipakai tidak lagi bersifat fisik tetapi lebih mengedapankan sebuah metodologi abstrak yang dengannya pihak musuh akan runtuh oleh anak sejarahnya sendiri. Karena itulah, mutlak bagi kita mengenal sejarah dan memahami asas-asas di balik lahirnya sebuah sejarah. Adalah disiplin keilmuan Islam yang patut kita jadikan pijakan sebagai perangkat kilas balik ke masa lalu. Agar kita –sebagai pewaris sah keilmuan Islam- tidak kehilangan identitas intelektual dan saat dihadapkan dengan realita kontemporer, kita masih berdiri tegak menggunakan kaki pemahaman agama yang benar dan tidak malah luntur mengikuti arus.
Manusia dalam sejarahnya akan selalu membutuhkan ilmu pengetahuan sebagai tendensi ideologi dalam mempraktikkan laku tindakannya, serta berpolitik sebagai wujud eksistensi makhluk sosial. Ini selaras dengan jargon filsafat Yunani yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal dan berpolitik. Berfikir dan menjalin interaksi dengan yang lainnya merupakan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan dalam kehidupannya.
Islam pun seakan membenarkan semua fenomena tersebut, terekam dari sejarah Islam –baik yang berkaitan dengan disiplin keilmuan Islam maupun yang bersangkutan dengan sistem politik Islam- bahwa otoritas politik dan ilmu pengetahuan mempunyai andil besar dalam melahirkan masyarakat berkebudayaan yang memiliki tradisi orisinil dan kental dengan dimensi keislaman.
Tak pelak dua dimensi ini pun dalam sejarah Islam klasik seakan bertarung untuk mempertahankan masing-masing eksistensinya dalam panggung dunia keilmuan Islam. Mereka yang beraliran ilmu pengetahuan [baca: rijâl al- ma’rifiah] mengklaim bahwa keilmuan Islam besar dan maju atas dasar ilmu pengetahuan. Sementara mereka yang berpegangan dengan otoritas politik [baca: rijâl al-siyâsah] mendakwa bahwa kemajuan seluruh komponen Islam adalah karena berasaskan politik. Tanpa disadari, perseteruan dua saudara kandung ini melahirkan sifat anti-pati dari satu ke yang lainnya. Sebut saja rijâl al- ma’rifiah, mereka seakan menggemakan bahwa agama akan tetap hidup jika diemban oleh individu-individu intelektual. Sementara rijâl al-siyâsah sebaliknya, mereka menggaungkan bahwa agama akan tetap relevan dan kokoh jika dikendalikan dengan otoritas kekuasaan.
Realita inilah yang menarik saya untuk menguak sejarah yang terkaburkan dalam dimensi keilmuan Islam, adalah ushul fikih yang akan saya jadikan titik tolak pembahasan. Karena majmuk diketahui bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu Islam murni, lahir dari intelektual Islam, di dunia Islam dan besar seraya mengikuti perkembangan keilmuan Islam. Ushul fikih yang lahir bersamaan saat Islam menuai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan di masa dinasti Abbasiyah, maka wajarlah jika ia (seakan) tidak bisa menafikan eksistensi politik saat itu yang diklaim melatar-belakangi lahirnya ilmu ushul fikih ini. Pun demikian yang terjadi dengan penerjemahan karya-karya filusuf Yunani ke dunia timur juga menyatakan bahwa ilmu ushul fiqh mempunyai hubungan baik dengan ilmu penegtahuan.
Ushul Fiqh adalah ilmu yang sangat penting dalam menghasilkan hukm Islam yang responsive dan adaptable terhadap permasalahan kontemporer, karena merupakan ilmu yang berisikan kumpulan metode-metode, dasar-dasar, pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam memahami ajaran Islam. Hal inilah yang menjadikannya menempati posisi sentral dalam studi keislaman, sehingga sering kali ia disebut sebagai the queen of Islamic sciences.
Membaca peta awal eksistensi ilmu ushul fikih tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi diperburuk oleh rumitnya fenomena sosio-politik kala itu yang terekam dengan abstrak dari perjalanan sejarah Islam. Untuk memudahkan ekspedisi identitas ilmu ushul fikih, saya akan menggunakan pembacaan ontologis sebagai perangkat/pisau analisa dalam kajian kita kali ini. Berangkat dari era kodifikasi -berikut pernak-pernik di dalamnya- saya ingin menjadikan periode ini sebagai titik tolak kajian ontologis. Opsi titik pijak ini merupakan opsi pribadi saya, karena memang eksistensi ilmu ushul fikih dari masa kenabian hingga masa dinasti Abbasiyah akan dibahas oleh penulis lain. Laku ini semata-mata agar tidak terjadi repititit dalam bahasan kajian kali ini. Toh, melakukan kajian kesejarahan berikut memotret wajah ilmu pengetahuan dengan menggunakan lensa otoritas politik pada masa kodifikasi ilmu ushul fikih, merupakan obyek pengambilan gambar dari sudut pandang yang sangat elegan.
Dimensi Otoritas Politik (Al-Bu’du Al-Sulthâwiy Al-Siyâsiy)
Sejarah adalah gerbang pembuka untuk mengetahui fenomena tragedi masa lalu. Dari sejarah pula dinamika gaya hidup manusia sebelum kita –berikut peta pemikirannya- akan terkuak dengan jelas. Karena sejarah adalah kunci peradaban dari satu pintu untuk membuka pintu peradaban yang lain.[3] Terekam dari perjalanan sejarah Islam bahwa sebelum geneologi ushul fikih terlahir dari embrionya pada dinasti Abbasiyah, sejatinya konsep hukum pada masa sahabat (11 H/632M – 40 H/660M) adalah berdasarkan ijtihad para Khulafa’ Rasyidin dengan mempertimbangkan musyawarah para sahabat yang lain dengan tetap memposisikan Al-Qur’an dan Sunah menjadi rujukan utama dalam berijtihad. Dari keputusan ijtihad kolektif inilah kita mengenal apa yang disebut dengan ijmâ’.
Meskipun sistem berhukum pada masa sahabat belum mempunyai acuan-acuan metodologis yang jelas, namun diyakini dengan inilah problematika-problmatika seputar ihwal umat pada saat itu dapat terpecahkan. Seperti ijtihad Abu Bakar r.a. dalam pemaknaan kata kalaalah[4], ijtihad Umar Bin Khatab r. a. menyangkut pembatalan hak muallaf dalam zakat[5], ijtihad Ustman Bin Affan r. a. mengenai persamaan bacaan mushaf dalam Al-Qur’an dengan bacaan Zaid Bin Tsabit[6] dan ijtihad Ali Bin Abi Thalib r.a. yang bersangukutan dengan wajib qishâs atas jamaah yang membunuh walau hanya (yang dibunuh) satu orang.[7]
Mewarisi masa sebelumnya, dinasti Umayyah (40 H/660 M – 132 H/749 M) adalah yang menjadi lakon dalam permainan catur pemerintahan politik Islam. Metodologi basis berhukum dalam menyelesaikan problema umat pun tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Dan pada masa dinasti Umayyah-lah jelas terlihat masyarakat non-Arab yang mulai memasuki pelataran area kekuasaannya.[8]
Masa dinasti Abbasiyyah (132 H/749 M – 232 H/846 M) adalah masa keemasan dalam catur perpolitikan al-khilâfah al-islâmiyyah. Banyak dibuka kajian-kajian keilmuan seputar teks-teks keagaaman pun melakukan gerakan laku positif dalam menterjemah karya-karya filsafat Yunani.[9] Islam mengalami kemajuan luar biasa dalam hal disiplin keilmuan, dari sini terbukti bahwa otoritas politik/kekuasaan mempunyai andil besar dalam membentuk embrio berfikir dalam tatanan kehidupan pada umumnya dan kajian keilmuan pada khususnya.
Imam Syafi’i (150 H/767 M – 204 H/810 M) yang diklaim sebagai pemilik sah dan creator ilmu ushul fikih adalah sama halnya dengan penisbatan ilmu logika kepada Aristoteles.[10] Tetapi pada kenyatannya -menurut hemat penulis- ternyata sang imam ketika melahirkan ilmu ushul fikih ini tidak berangkat dari dimensi kesadaran intelektualitas tetapi lebih sebagai tindak reaksi atas fenomena-fenomena perseteruan antara rijâl ma’rifah dan rijâl siyâsah dalam area kekuasaan dinasti Abbasiyah. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa hasil rekasi ini adalah murni berangkat dari dimensi kesalehan imam Syafi’i.
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa titik tumpu yang akan saya jadikan batu loncatan pemahaman terkait dengan eksistensi dimensi ontologis ilmu ushul fikih adalah satu titik di mana Islam mengalami –semacam- degradai moral terkait status sosial-politik di satu sisi, tetapi di sini yang lain Islam juga mengalami kemajuan yang sangat signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, berangkat dari perspektif dan data-fakta sejarah maka dimensi ontologis eksistensi ilmu ushul fikih yang lahir sebagai kritik dialektika dimensi sejarah dapat kita pahami melalui pembacaan peta realita dengan dua dimensi sekaligus.
Dimensi otoritas politik (al-bu’du al-sulthâwiy al-siyâsiy) adalah merupakan salah satu faktor yang diplot sebagai umpan dari realita yang pada tatanan selanjutnya membidani lahirnya ushul fikih sebagai ilmu yang berkonsep komprehensif/koleketif (al-syumûliy). Tentu merupakan sebuah kesadaran terberi, imam Syafi’i dengan talenta pemahamannya seputar eksistensi dan interpretasi teks, maka bukanlah perkara yang absurd jika dari tangannyalah ilmu ushul fikih itu menjadi sangat sistemetis.
Terekam dengan sangat jelas dari perjalanan sejarah Islam bahwa pada masa dinasti Abbasiyah sistem politik tidak lagi sepenuhnya berdasarkan struktur egalitarian, tetapi justru menjadi terpetakan menjadi dua agraris status sosial; status sosial borjuis dan status sosial proletar.[11] Sependek pemahaman saya, jelas strata kelas sosial ini adalah –sengaja atau tidak- merupakan produk elite politik yang berdasarkan otoritas-superior atas keadaan sosial-inferior.
1. Sistem Politik Kuasa Tangan TuhanHasil emas masa jabatan seakan menawarkan para khalifah untuk membentuk sistem hukum baru mengenai pemahaman dan pemaknaan teks dalam hal menangani probelamatika umat. Asa para khalifah untuk bisa memegang kendali umat dengan menjadikan para pemuka agama sebagai pionnya terlihat dengan cukup jelas. Meskipun khalifah Al-Manshur gagal ketika memesan pembuatan Al-Muwatho’ karya Imam Malik berikut susupan-susupan teori politiknya demi kejayaan dinastinya, tapi lain halnya dengan khalifah Al-Rasyid yang mengusung madzhab baru dengan merangkul murid-murid Abu Hanifah sebagai tindak lanjut kegagalan khalifah Al-Manshur.[12]
Kegemilangan masa jabatan ternyata membuat khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah gelap mata akan kontinuitas otoritas kekuasaan. Terbukti mereka menanamkan doktrin penerapan sistem politik kuasa tangan Tuhan sebagai asas untuk mendapatkan kepatuhan mutlak dari rakyat. Untuk membantu memahami sistem politik tersebut, penulis meminjam sketsa konsep versi Abdul Madjid Shaghir:[13]
Manusia->Ketaatan->Kebutuhan Primer->Alam (Area Kekuasaan Tuhan)->TuhanRakyat->Ketaatan->Undang-Undang (Realisasi Superioritas Sultan Sama Halnya dengan Kebutuhan Primer)->Negara (Area Kekuasaan Sultan)->Sultan
Sketsa di atas menunjukkan bahwa kebutuhan manusia kepada Tuhan adalah sama halnya kebutuhan rakyat atas hukum undang-undang hasil –meskipun rekayasa- para penguasa. Maka dari sini, dapat ditarik logika sederhana bahwa patuh kepada para elite penguasa merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan.
Berangkat dari konsep seperti yang telah disebutkan, para pemegang kekuasaan dalam segala tindak-tanduknya sebagai conseptor aturan main dalam sebuah Negara dianggap suci sebagai keputusan yang harus ditaati secara mutlak. Mereka berasumsi bahwa jika Tuhan adalah Sang Maha Pemilik alam jagad raya, maka dalam ranah yang lebih kecil dimensinya, Khalifah adalah yang mengatur, memutuskan dan menindak-lanjuti segala bentuk aktifitas rakyatnya.
Sebuah kebermungkinan yang tidak mustahil jika pemberlakuan sistem politik ini justru hanya akan memperkuat sekaligus memperketat sekat-sekat kehidupan sosial. Dengan menjadikan strata status sosial sebagai proyek mayor para elite politik, maka tak ayal jika orang-orang pinggiran lebih memilih para ulama’ dengan berdasarkan otoritas ilmu pengetahuan sebagai tempat kembali berhukum atas problematika kehidupan. Dan dengan demikian, bukanlah fenomena yang absurd jika pada babakan kehidupan sosio-politik selanjutnya para elite politik mulai kehilangan muka di hadapan rakyatnya sendiri. Pada periode ini, komunitas politik (rijâl al-siyâsah) mulai kewalahan menghadapi semakin bertambahnya simpati rakyat kepada para ulama (rijâl al-ma’rifah). Tentu dengan kesadaran rakyat yang terbuka, sebuah pilihan atas dimensi otoritas ilmu pengetahuan (al-bu’du al-sulthâwiy al-ma’rîfiy) merupakan suara positif yang jelas lebih representatif dalam menata keadilan sosial berdasarkan hukum dari pada tetap bersemayam dalam ruang lingkup yang berasaskan dimensi otoritas politik (al-bu’du al-sulthâwiy al-siyâsiy) yang hanya akan menjadi lahan praktik dari ideologi politik.
2. Doktrinisasi Ideologi Politik Ibnu Al-Muqaffa’
Sebagai sebuah pemerintahan yang sudah bersistem politik[14], khalifah dinasti Abbasiyah sadar benar akan tantangan-tantangan masa depan demi mempertahankan eksistensi pemerintahannya. Sadar akan realita yang terjadi sudah banyak melahirkan dinamika kehidupan yang beraneka ragam dan berdasarkan otoritas politik yang sudah mulai kurang mendapat perhatian dari rakyatnya -karena rakyat lebih percaya kepada para ulama’ (rijâl al-ma’rifah) dengan otoritas ilmu pengetahuannya (sulthah al-ma’rifah)- maka merupakan tindakan yang menjadi sangat urgen untuk mengkongreskan status mahkamah baru yang berfungsi sebagai salah satu penopang konkrit demi tetap berlangsungnya masa jaya pemerintahannya.
Ketika para ulama’ (rajul al-ma’rifah) dengan dimensi otoritas ilmu pengetahuan (al-bu’du al-sulthâwiy al-ma’rîfiy) berhasil mendapatkan lebih banyak simpati dari rakyat, jelas para elite politik (rijâl al-siyâsah) sangat merasa terusik atas realita yang sedang berlangsung dan jika ini tetap dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan –atau bahkan pasti- para elite politik ini akan kehilangan muka dan tajinya tak lagi terasa. Bukanlah perkara yang absurd jika pada babak ini para elite politik menyiapkan strategi pembanding yakni mahkamah konstitusi baru. Dan dengan dimensi otoritas politik (al-bu’du al-sulthâwiy al-siyâsiy) akhirnya mereka berhasil menelurkan rumah hukum baru untuk rakyat dari karisedenan kesultanan (fiqh al-sulthah). Sebagai sebuah rumah hukum yang sengaja disiapkan untuk menandingi fikih ulama’, jelas mahkamah konstitusi ini tidak akan kosong dari doktrin ideologi politik.
Ibnu Al-Muqaffa’ adalah perintis awal sekaligus orang yang paling berperan atas lahirnya ideologi kerajaan (al-îdiyulûjiyâ al-sulthâniyyah) yang berkembang pesat dalam wangsa dinasti Abbasiyah.[15] Seperti sistem politik kuasa tangan Tuhan sebelumnya, doktrin ideologi kerajaan ini sejatinya adalah juga merupakan tindak lanjut estafet dari problematika ketaatan mutlak terhadap para penguasa. Dengan gamblang Ibn Al-Muqaffa’ menyebutkan dalam risâlah shahâbah-nya bahwa sekiranya jika sang Sultan mengasakan sebuah gunung untuk dipindahkan maka wajiblah bagi gunung itu untuk pindah dan seandainya sang Sultan menginginkan agar membelakangi kiblat pada waktu shalat maka patutlah untuk direalisasikan. Dengan demikian penanaman bibit doktrin politik ketaatan mutlak yang disebarkan oleh Ibnu Al-Muqaffa’ adalah bukti nyata bahwa teks keagamaan –dengan sifat otoritas sakralnya yang tak terbatas- memainkan peranan penting untuk mencapai sebuah goal yang hendak disarangkan oleh para elite penguasa ke dalam jaring perpolitikan dalam ruang lingkup berbagai dimensi kehidupan.[16]
[1] Makalah ini dipresentasikan dalam Kajian Intensif Al-Fikr Study Club, Fismaba Mesir. Hari Sabtu, 13 Agustus 2011 yang bertempat di Sekretariat Fismaba, Bawabah III, Distrik 10, Kota Nasr, Kairo-Mesir
[2] Penulis adalah mahasiswa pinggiran tingkat akhir jurusan Syari’ah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Tercatat sebagai member Republik Biru ‘The Blues’ Chelsea FC. Pun termasuk salah satu korban ketidakadilan pemerintah dan saksi hidup sejarah Revolusi 25 Januari Republik Arab-Mesir
[3] Mahmud Ismail, Isykâliyat al-Manhaj fî dirâsat al-Turâts, Ru’yah, Kairo, cet. I, 2004, hal. 132
[4] Thoha Jabir Al-Ulwani, Ushûl Fiqh al-Islâmiy Manhaju Bahsin wa Ma’rifatin, Al-Ma’had Al-‘Âlami Li Al-Fikri Al-Islami, U.S.A., cet. II, 1995, hal. 23
[5] Ibid., hal. 27
[6] Ibid., hal. 28
[7] Ibid., hal. 29
[8] Musthafa Abdur Roziq, Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah, Al-Haiah Al-Misriyyah Al-‘Amah, Kairo, 2007, hal. 185
[9] Ibid., hal 209
[10] Adonis, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil Bahs fî al-Ibdâ’ wa al-Itbâ’ inda al-‘Arab, Dar Al-Saqi, Beirut, Juz II, cet. IX, 2006, hal. 7
[11] Muhammad Abid Al Jabiri, Al-‘Aql al-Siyâsiy al-‘Arabiy, Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-Arabiyah, Beirut, cet. VI, 2007, hal. 331
[12] Abdul Madjid Shaghir, Al-Ma’rifah wa al-Sulthah fî al-Tajribah al-Islâmiyah Qirôah fî Nasyati ‘Ilmi al-Ushûl wa Maqâshidi al-Syarî’ah, Ru’yah, Kairo, cet. I, 2010, hal. 154
[13] Ibid., hal. 97
[14] Perubahan sistem pemerintahan dalam perjalanan sejarah Islam klasik terkait komponen-komponen perangkat konseptualnya mulai terbaca pada masa dinasiti Umayyah. Sebuah revolusi politik pertama yang diprakarsai oleh Muawiyah yang mengganti pemerintahan bersistem akidah (masa kenabian sampai masa khulafa’ al-rasyidin) menjadi kabilah (dinasti Umayyah dan dinasti-dinasti berikutnya) yang pada tatanan selanjutnya berhasil memetakan status masyarakat menjadi beberapa kelas sosial (inzâl al-nâs manâzilahum). Lihat lebih jauh: Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hal. 234-235
[15] Ibnu Al-Muqaffa’ adalah orang Persia yang kemudian masuk Islam yang bekerja sebagai komisaris pada akhir-akhir masa dinasti Umayyah dan awal-awal dinasti Abbasiyah. Buah karya pikirannya yang terkenal mengenai tema terkait ada 3 macam: (1) Etika Minor (al-adab al-shaghîr) sebuah risalah yang membahas tentang filsafat politik Yunani. (2) Etika Mayor (al-adab al-kabîr) adalah risalah yang membincang politik madani dalam perspektif filsafat politik Yunani. (3) Risâlah al-Shahâbah adalah risalah yang ke tiga yang menjadi masterpiece karyanya terkait dogma ideologis politik praktis. Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hal. 341
[16] Abdul Madjid Shaghir, op. cit., 127