Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Senin, 15 Agustus 2011

Eksistensi Ilmu Ushul Fikih (1)


Kritik Dialektika Dimensi Sejarah[1]

فقد انقطع الوحى و علم الأصول منطق الوحى فمن قدح فى العقل فقد قدح فى النقل

[ حسن حنفى ]

Oleh: Hijr Ryan[2]

Prolog

Pada zaman modern seperti sekarang ini, pola pikir-pandang dan gaya hidup ibarat sebuah pertempuran ide-ide atau gagasan-gagasan yang mempertaruhkan identitas ideologi dan tradisi. Dalam medan peperangannya pun perangkat yang dipakai tidak lagi bersifat fisik tetapi lebih mengedapankan sebuah metodologi abstrak yang dengannya pihak musuh akan runtuh oleh anak sejarahnya sendiri. Karena itulah, mutlak bagi kita mengenal sejarah dan memahami asas-asas di balik lahirnya sebuah sejarah. Adalah disiplin keilmuan Islam yang patut kita jadikan pijakan sebagai perangkat kilas balik ke masa lalu. Agar kita –sebagai pewaris sah keilmuan Islam- tidak kehilangan identitas intelektual dan saat dihadapkan dengan realita kontemporer, kita masih berdiri tegak menggunakan kaki pemahaman agama yang benar dan tidak malah luntur mengikuti arus.

Manusia dalam sejarahnya akan selalu membutuhkan ilmu pengetahuan sebagai tendensi ideologi dalam mempraktikkan laku tindakannya, serta berpolitik sebagai wujud eksistensi makhluk sosial. Ini selaras dengan jargon filsafat Yunani yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal dan berpolitik. Berfikir dan menjalin interaksi dengan yang lainnya merupakan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan dalam kehidupannya.

Islam pun seakan membenarkan semua fenomena tersebut, terekam dari sejarah Islam –baik yang berkaitan dengan disiplin keilmuan Islam maupun yang bersangkutan dengan sistem politik Islam- bahwa otoritas politik dan ilmu pengetahuan mempunyai andil besar dalam melahirkan masyarakat berkebudayaan yang memiliki tradisi orisinil dan kental dengan dimensi keislaman.

Tak pelak dua dimensi ini pun dalam sejarah Islam klasik seakan bertarung untuk mempertahankan masing-masing eksistensinya dalam panggung dunia keilmuan Islam. Mereka yang beraliran ilmu pengetahuan [baca: rijâl al- ma’rifiah] mengklaim bahwa keilmuan Islam besar dan maju atas dasar ilmu pengetahuan. Sementara mereka yang berpegangan dengan otoritas politik [baca: rijâl al-siyâsah] mendakwa bahwa kemajuan seluruh komponen Islam adalah karena berasaskan politik. Tanpa disadari, perseteruan dua saudara kandung ini melahirkan sifat anti-pati dari satu ke yang lainnya. Sebut saja rijâl al- ma’rifiah, mereka seakan menggemakan bahwa agama akan tetap hidup jika diemban oleh individu-individu intelektual. Sementara rijâl al-siyâsah sebaliknya, mereka menggaungkan bahwa agama akan tetap relevan dan kokoh jika dikendalikan dengan otoritas kekuasaan.

Realita inilah yang menarik saya untuk menguak sejarah yang terkaburkan dalam dimensi keilmuan Islam, adalah ushul fikih yang akan saya jadikan titik tolak pembahasan. Karena majmuk diketahui bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu Islam murni, lahir dari intelektual Islam, di dunia Islam dan besar seraya mengikuti perkembangan keilmuan Islam. Ushul fikih yang lahir bersamaan saat Islam menuai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan di masa dinasti Abbasiyah, maka wajarlah jika ia (seakan) tidak bisa menafikan eksistensi politik saat itu yang diklaim melatar-belakangi lahirnya ilmu ushul fikih ini. Pun demikian yang terjadi dengan penerjemahan karya-karya filusuf Yunani ke dunia timur juga menyatakan bahwa ilmu ushul fiqh mempunyai hubungan baik dengan ilmu penegtahuan.

Ushul Fiqh adalah ilmu yang sangat penting dalam menghasilkan hukm Islam yang responsive dan adaptable terhadap permasalahan kontemporer, karena merupakan ilmu yang berisikan kumpulan metode-metode, dasar-dasar, pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam memahami ajaran Islam. Hal inilah yang menjadikannya menempati posisi sentral dalam studi keislaman, sehingga sering kali ia disebut sebagai the queen of Islamic sciences.

Membaca peta awal eksistensi ilmu ushul fikih tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi diperburuk oleh rumitnya fenomena sosio-politik kala itu yang terekam dengan abstrak dari perjalanan sejarah Islam. Untuk memudahkan ekspedisi identitas ilmu ushul fikih, saya akan menggunakan pembacaan ontologis sebagai perangkat/pisau analisa dalam kajian kita kali ini. Berangkat dari era kodifikasi -berikut pernak-pernik di dalamnya- saya ingin menjadikan periode ini sebagai titik tolak kajian ontologis. Opsi titik pijak ini merupakan opsi pribadi saya, karena memang eksistensi ilmu ushul fikih dari masa kenabian hingga masa dinasti Abbasiyah akan dibahas oleh penulis lain. Laku ini semata-mata agar tidak terjadi repititit dalam bahasan kajian kali ini. Toh, melakukan kajian kesejarahan berikut memotret wajah ilmu pengetahuan dengan menggunakan lensa otoritas politik pada masa kodifikasi ilmu ushul fikih, merupakan obyek pengambilan gambar dari sudut pandang yang sangat elegan.

Dimensi Otoritas Politik (Al-Bu’du Al-Sulthâwiy Al-Siyâsiy)

Sejarah adalah gerbang pembuka untuk mengetahui fenomena tragedi masa lalu. Dari sejarah pula dinamika gaya hidup manusia sebelum kita –berikut peta pemikirannya- akan terkuak dengan jelas. Karena sejarah adalah kunci peradaban dari satu pintu untuk membuka pintu peradaban yang lain.[3] Terekam dari perjalanan sejarah Islam bahwa sebelum geneologi ushul fikih terlahir dari embrionya pada dinasti Abbasiyah, sejatinya konsep hukum pada masa sahabat (11 H/632M – 40 H/660M) adalah berdasarkan ijtihad para Khulafa’ Rasyidin dengan mempertimbangkan musyawarah para sahabat yang lain dengan tetap memposisikan Al-Qur’an dan Sunah menjadi rujukan utama dalam berijtihad. Dari keputusan ijtihad kolektif inilah kita mengenal apa yang disebut dengan ijmâ’.

Meskipun sistem berhukum pada masa sahabat belum mempunyai acuan-acuan metodologis yang jelas, namun diyakini dengan inilah problematika-problmatika seputar ihwal umat pada saat itu dapat terpecahkan. Seperti ijtihad Abu Bakar r.a. dalam pemaknaan kata kalaalah[4], ijtihad Umar Bin Khatab r. a. menyangkut pembatalan hak muallaf dalam zakat[5], ijtihad Ustman Bin Affan r. a. mengenai persamaan bacaan mushaf dalam Al-Qur’an dengan bacaan Zaid Bin Tsabit[6] dan ijtihad Ali Bin Abi Thalib r.a. yang bersangukutan dengan wajib qishâs atas jamaah yang membunuh walau hanya (yang dibunuh) satu orang.[7]

Mewarisi masa sebelumnya, dinasti Umayyah (40 H/660 M – 132 H/749 M) adalah yang menjadi lakon dalam permainan catur pemerintahan politik Islam. Metodologi basis berhukum dalam menyelesaikan problema umat pun tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Dan pada masa dinasti Umayyah-lah jelas terlihat masyarakat non-Arab yang mulai memasuki pelataran area kekuasaannya.[8]

Masa dinasti Abbasiyyah (132 H/749 M – 232 H/846 M) adalah masa keemasan dalam catur perpolitikan al-khilâfah al-islâmiyyah. Banyak dibuka kajian-kajian keilmuan seputar teks-teks keagaaman pun melakukan gerakan laku positif dalam menterjemah karya-karya filsafat Yunani.[9] Islam mengalami kemajuan luar biasa dalam hal disiplin keilmuan, dari sini terbukti bahwa otoritas politik/kekuasaan mempunyai andil besar dalam membentuk embrio berfikir dalam tatanan kehidupan pada umumnya dan kajian keilmuan pada khususnya.

Imam Syafi’i (150 H/767 M – 204 H/810 M) yang diklaim sebagai pemilik sah dan creator ilmu ushul fikih adalah sama halnya dengan penisbatan ilmu logika kepada Aristoteles.[10] Tetapi pada kenyatannya -menurut hemat penulis- ternyata sang imam ketika melahirkan ilmu ushul fikih ini tidak berangkat dari dimensi kesadaran intelektualitas tetapi lebih sebagai tindak reaksi atas fenomena-fenomena perseteruan antara rijâl ma’rifah dan rijâl siyâsah dalam area kekuasaan dinasti Abbasiyah. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa hasil rekasi ini adalah murni berangkat dari dimensi kesalehan imam Syafi’i.

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa titik tumpu yang akan saya jadikan batu loncatan pemahaman terkait dengan eksistensi dimensi ontologis ilmu ushul fikih adalah satu titik di mana Islam mengalami –semacam- degradai moral terkait status sosial-politik di satu sisi, tetapi di sini yang lain Islam juga mengalami kemajuan yang sangat signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, berangkat dari perspektif dan data-fakta sejarah maka dimensi ontologis eksistensi ilmu ushul fikih yang lahir sebagai kritik dialektika dimensi sejarah dapat kita pahami melalui pembacaan peta realita dengan dua dimensi sekaligus.

Dimensi otoritas politik (al-bu’du al-sulthâwiy al-siyâsiy) adalah merupakan salah satu faktor yang diplot sebagai umpan dari realita yang pada tatanan selanjutnya membidani lahirnya ushul fikih sebagai ilmu yang berkonsep komprehensif/koleketif (al-syumûliy). Tentu merupakan sebuah kesadaran terberi, imam Syafi’i dengan talenta pemahamannya seputar eksistensi dan interpretasi teks, maka bukanlah perkara yang absurd jika dari tangannyalah ilmu ushul fikih itu menjadi sangat sistemetis.

Terekam dengan sangat jelas dari perjalanan sejarah Islam bahwa pada masa dinasti Abbasiyah sistem politik tidak lagi sepenuhnya berdasarkan struktur egalitarian, tetapi justru menjadi terpetakan menjadi dua agraris status sosial; status sosial borjuis dan status sosial proletar.[11] Sependek pemahaman saya, jelas strata kelas sosial ini adalah –sengaja atau tidak- merupakan produk elite politik yang berdasarkan otoritas-superior atas keadaan sosial-inferior.

1. Sistem Politik Kuasa Tangan Tuhan

Hasil emas masa jabatan seakan menawarkan para khalifah untuk membentuk sistem hukum baru mengenai pemahaman dan pemaknaan teks dalam hal menangani probelamatika umat. Asa para khalifah untuk bisa memegang kendali umat dengan menjadikan para pemuka agama sebagai pionnya terlihat dengan cukup jelas. Meskipun khalifah Al-Manshur gagal ketika memesan pembuatan Al-Muwatho’ karya Imam Malik berikut susupan-susupan teori politiknya demi kejayaan dinastinya, tapi lain halnya dengan khalifah Al-Rasyid yang mengusung madzhab baru dengan merangkul murid-murid Abu Hanifah sebagai tindak lanjut kegagalan khalifah Al-Manshur.[12]

Kegemilangan masa jabatan ternyata membuat khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah gelap mata akan kontinuitas otoritas kekuasaan. Terbukti mereka menanamkan doktrin penerapan sistem politik kuasa tangan Tuhan sebagai asas untuk mendapatkan kepatuhan mutlak dari rakyat. Untuk membantu memahami sistem politik tersebut, penulis meminjam sketsa konsep versi Abdul Madjid Shaghir:[13]

Manusia->Ketaatan->Kebutuhan Primer->Alam (Area Kekuasaan Tuhan)->Tuhan

Rakyat->Ketaatan->Undang-Undang (Realisasi Superioritas Sultan Sama Halnya dengan Kebutuhan Primer)->Negara (Area Kekuasaan Sultan)->Sultan

Sketsa di atas menunjukkan bahwa kebutuhan manusia kepada Tuhan adalah sama halnya kebutuhan rakyat atas hukum undang-undang hasil –meskipun rekayasa- para penguasa. Maka dari sini, dapat ditarik logika sederhana bahwa patuh kepada para elite penguasa merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan.

Berangkat dari konsep seperti yang telah disebutkan, para pemegang kekuasaan dalam segala tindak-tanduknya sebagai conseptor aturan main dalam sebuah Negara dianggap suci sebagai keputusan yang harus ditaati secara mutlak. Mereka berasumsi bahwa jika Tuhan adalah Sang Maha Pemilik alam jagad raya, maka dalam ranah yang lebih kecil dimensinya, Khalifah adalah yang mengatur, memutuskan dan menindak-lanjuti segala bentuk aktifitas rakyatnya.

Sebuah kebermungkinan yang tidak mustahil jika pemberlakuan sistem politik ini justru hanya akan memperkuat sekaligus memperketat sekat-sekat kehidupan sosial. Dengan menjadikan strata status sosial sebagai proyek mayor para elite politik, maka tak ayal jika orang-orang pinggiran lebih memilih para ulama’ dengan berdasarkan otoritas ilmu pengetahuan sebagai tempat kembali berhukum atas problematika kehidupan. Dan dengan demikian, bukanlah fenomena yang absurd jika pada babakan kehidupan sosio-politik selanjutnya para elite politik mulai kehilangan muka di hadapan rakyatnya sendiri. Pada periode ini, komunitas politik (rijâl al-siyâsah) mulai kewalahan menghadapi semakin bertambahnya simpati rakyat kepada para ulama (rijâl al-ma’rifah). Tentu dengan kesadaran rakyat yang terbuka, sebuah pilihan atas dimensi otoritas ilmu pengetahuan (al-bu’du al-sulthâwiy al-ma’rîfiy) merupakan suara positif yang jelas lebih representatif dalam menata keadilan sosial berdasarkan hukum dari pada tetap bersemayam dalam ruang lingkup yang berasaskan dimensi otoritas politik (al-bu’du al-sulthâwiy al-siyâsiy) yang hanya akan menjadi lahan praktik dari ideologi politik.

2. Doktrinisasi Ideologi Politik Ibnu Al-Muqaffa’

Sebagai sebuah pemerintahan yang sudah bersistem politik[14], khalifah dinasti Abbasiyah sadar benar akan tantangan-tantangan masa depan demi mempertahankan eksistensi pemerintahannya. Sadar akan realita yang terjadi sudah banyak melahirkan dinamika kehidupan yang beraneka ragam dan berdasarkan otoritas politik yang sudah mulai kurang mendapat perhatian dari rakyatnya -karena rakyat lebih percaya kepada para ulama’ (rijâl al-ma’rifah) dengan otoritas ilmu pengetahuannya (sulthah al-ma’rifah)- maka merupakan tindakan yang menjadi sangat urgen untuk mengkongreskan status mahkamah baru yang berfungsi sebagai salah satu penopang konkrit demi tetap berlangsungnya masa jaya pemerintahannya.

Ketika para ulama’ (rajul al-ma’rifah) dengan dimensi otoritas ilmu pengetahuan (al-bu’du al-sulthâwiy al-ma’rîfiy) berhasil mendapatkan lebih banyak simpati dari rakyat, jelas para elite politik (rijâl al-siyâsah) sangat merasa terusik atas realita yang sedang berlangsung dan jika ini tetap dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan –atau bahkan pasti- para elite politik ini akan kehilangan muka dan tajinya tak lagi terasa. Bukanlah perkara yang absurd jika pada babak ini para elite politik menyiapkan strategi pembanding yakni mahkamah konstitusi baru. Dan dengan dimensi otoritas politik (al-bu’du al-sulthâwiy al-siyâsiy) akhirnya mereka berhasil menelurkan rumah hukum baru untuk rakyat dari karisedenan kesultanan (fiqh al-sulthah). Sebagai sebuah rumah hukum yang sengaja disiapkan untuk menandingi fikih ulama’, jelas mahkamah konstitusi ini tidak akan kosong dari doktrin ideologi politik.

Ibnu Al-Muqaffa’ adalah perintis awal sekaligus orang yang paling berperan atas lahirnya ideologi kerajaan (al-îdiyulûjiyâ al-sulthâniyyah) yang berkembang pesat dalam wangsa dinasti Abbasiyah.[15] Seperti sistem politik kuasa tangan Tuhan sebelumnya, doktrin ideologi kerajaan ini sejatinya adalah juga merupakan tindak lanjut estafet dari problematika ketaatan mutlak terhadap para penguasa. Dengan gamblang Ibn Al-Muqaffa’ menyebutkan dalam risâlah shahâbah-nya bahwa sekiranya jika sang Sultan mengasakan sebuah gunung untuk dipindahkan maka wajiblah bagi gunung itu untuk pindah dan seandainya sang Sultan menginginkan agar membelakangi kiblat pada waktu shalat maka patutlah untuk direalisasikan. Dengan demikian penanaman bibit doktrin politik ketaatan mutlak yang disebarkan oleh Ibnu Al-Muqaffa’ adalah bukti nyata bahwa teks keagamaan –dengan sifat otoritas sakralnya yang tak terbatas- memainkan peranan penting untuk mencapai sebuah goal yang hendak disarangkan oleh para elite penguasa ke dalam jaring perpolitikan dalam ruang lingkup berbagai dimensi kehidupan.[16]



[1] Makalah ini dipresentasikan dalam Kajian Intensif Al-Fikr Study Club, Fismaba Mesir. Hari Sabtu, 13 Agustus 2011 yang bertempat di Sekretariat Fismaba, Bawabah III, Distrik 10, Kota Nasr, Kairo-Mesir

[2] Penulis adalah mahasiswa pinggiran tingkat akhir jurusan Syari’ah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Tercatat sebagai member Republik Biru ‘The Blues’ Chelsea FC. Pun termasuk salah satu korban ketidakadilan pemerintah dan saksi hidup sejarah Revolusi 25 Januari Republik Arab-Mesir

[3] Mahmud Ismail, Isykâliyat al-Manhaj fî dirâsat al-Turâts, Ru’yah, Kairo, cet. I, 2004, hal. 132

[4] Thoha Jabir Al-Ulwani, Ushûl Fiqh al-Islâmiy Manhaju Bahsin wa Ma’rifatin, Al-Ma’had Al-‘Âlami Li Al-Fikri Al-Islami, U.S.A., cet. II, 1995, hal. 23

[5] Ibid., hal. 27

[6] Ibid., hal. 28

[7] Ibid., hal. 29

[8] Musthafa Abdur Roziq, Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah, Al-Haiah Al-Misriyyah Al-‘Amah, Kairo, 2007, hal. 185

[9] Ibid., hal 209

[10] Adonis, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil Bahs fî al-Ibdâ’ wa al-Itbâ’ inda al-‘Arab, Dar Al-Saqi, Beirut, Juz II, cet. IX, 2006, hal. 7

[11] Muhammad Abid Al Jabiri, Al-‘Aql al-Siyâsiy al-‘Arabiy, Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-Arabiyah, Beirut, cet. VI, 2007, hal. 331

[12] Abdul Madjid Shaghir, Al-Ma’rifah wa al-Sulthah fî al-Tajribah al-Islâmiyah Qirôah fî Nasyati ‘Ilmi al-Ushûl wa Maqâshidi al-Syarî’ah, Ru’yah, Kairo, cet. I, 2010, hal. 154

[13] Ibid., hal. 97

[14] Perubahan sistem pemerintahan dalam perjalanan sejarah Islam klasik terkait komponen-komponen perangkat konseptualnya mulai terbaca pada masa dinasiti Umayyah. Sebuah revolusi politik pertama yang diprakarsai oleh Muawiyah yang mengganti pemerintahan bersistem akidah (masa kenabian sampai masa khulafa’ al-rasyidin) menjadi kabilah (dinasti Umayyah dan dinasti-dinasti berikutnya) yang pada tatanan selanjutnya berhasil memetakan status masyarakat menjadi beberapa kelas sosial (inzâl al-nâs manâzilahum). Lihat lebih jauh: Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hal. 234-235

[15] Ibnu Al-Muqaffa’ adalah orang Persia yang kemudian masuk Islam yang bekerja sebagai komisaris pada akhir-akhir masa dinasti Umayyah dan awal-awal dinasti Abbasiyah. Buah karya pikirannya yang terkenal mengenai tema terkait ada 3 macam: (1) Etika Minor (al-adab al-shaghîr) sebuah risalah yang membahas tentang filsafat politik Yunani. (2) Etika Mayor (al-adab al-kabîr) adalah risalah yang membincang politik madani dalam perspektif filsafat politik Yunani. (3) Risâlah al-Shahâbah adalah risalah yang ke tiga yang menjadi masterpiece karyanya terkait dogma ideologis politik praktis. Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hal. 341

[16] Abdul Madjid Shaghir, op. cit., 127

Sabtu, 13 Agustus 2011

Eksistensi Ilmu Ushul Fikih (2)


Dimensi Otoritas Ilmu Pengetahuan (Al-Bu’du Al-Sulthâwiy Al-ma’rifiy)

Jika kita diperkenankan untuk memberi label sebuah peradaban, maka peradaban Islam –berdasarkan salah satu produknya yang paling dominan- adalah peradaban fikih (hadlârah al-fiqh). Sama halnya dengan peradaban Yunani adalah peradaban filsafat (hadlârah al-falsafah). Pun peradaban Eropa modern adalah peradaban ilmu dan teknis (hadlârah al-‘ilm wa al-taqniyyah). Ini semua jika ditilik dari kacamata ekspansi positif, sementara jika diteropong menggunakan lensa orisinilitas, maka status fikih Islam merupakan produk murni Arab-Islam. Dan jika ditinjau dari sisi yang lain terkait kontroversial bermadzhab (al-khilâfât al-madzhabiyyah) , fikih tidak tunduk terhadap hal-hal kontoversi yang berkenaan dengan teologi (al-khilâfât al-kalâmiyyah) maupun ideologi politik (al-‘aqdiyyah al-siyâsiyyah) tertentu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, sekte-sekte teologi maupun gerakan berideologi tertentu yang justru mengekor madzhab-madzbah fikih seraya mengikuti perkembangannya.[1] Tidak heran jika pada periode-periode selanjutnya fikih masih akan menempati posisi paling sentral dalam dunia keilmuan Islam.

Dimensi ilmu pengetahuan yang melingkupi ruang kerja fikih adalah latar belakang era paling awal yang menjembatani untuk sampai pada titik temu era kodifikasi ilmu ushul fikih. Jauh sebelum ilmu ushul fikih lahir dengan perangkat konseptual hukum kolektifnya, terdapat banyak embrio konsep hukum yang masih dalam bentuk paling amatur. Artinya, rute ilmu ushul fikih sebelum mengalami kematangan di tangan imam Syafi’i mengalami berbagai wacana gradual di setiap lini madzhab fikih yang ada.

Dialektika teks dan konteks selalu saja melahirkan dinamika baru dalam dunia interpretasi teks sebagai langkah awal berhukum. Pendekatan terhadapap teks pun beraneka ragam. Sebut saja Abu Hanifah (80 H/699 M – 150 H/767 M), metodologi yang dipakai oleh Abu Hanifah dalam melakukan sebuah interpretasi terhadap teks adalah sepenuhnya bersifat logis. Artinya logika menempati strata tertinggi untuk memahami pesan teks. Bukti dari pernyataan tersebut tergambar dari bagaimana Abu Hanifah banyak memainkan peran logika atas teks yang ada, sehingga malah terkesan mempermainkan teks. Pada akhirnya –berangkat dari prespektif yang diusung olehnya ini- madzhab fikih Hanafiah mendapat justifikasi bahwasa mereka sepadan dengan madzhab Muktazilah dari ranah teologi.[2] Sistem permainan logika dalam berhukum yang ditelurkan oleh Abu Hanifah tersebut adalah betapa akal merupakan sebuah keniscayaan yang dapat melacak makna dan pesan teks. Sekalipun didapati komparasi antara teks dan konteks, akal-lah yang berbicara untuk menyelesaikannya. Logika berhukum ini disebut al-istihsân, sebuah perilaku yang melihat titik positif dengan perspektif akal.

Berbeda dengan Abu Hanifah yang berkediaman di Irak, masyarakat Madinah pun memiliki perangkat hukum yang juga berbeda. Untuk mengetahui perangkat apa yang dipakai oleh masyarakat Madinah tidaklah susah. Ini bisa ditengarai bahwa Madinah adalah kota di mana Sunah menunjukkan tajinya dalam mengatur sekaligus menyelesaikan problema yang ada di sekitar masyarakat Madinah saat itu. Logika yang diagung-agungkan oleh masyarakat Irak sama sekali tidak mendapat porsi cukup di kalangan masyarakat Madinah. Malik Bin Anas (93 H/712 M - 179 H/795 M) sebagai jendral tertinggi dalam bidang strategi hukum di kalangan masyarakat Madinah kala itu, menjadikan Sunah sebagai patokan mutlak untuk memahami teks Al-Qur’an. Kefanitakannya terhadap Sunah justru kerap kali tak bisa menjawab perihal problema masyarakat yang selalu terus bertambah komplek.[3] Terlepas dari itu, ia melahirkan sistem berhukum baru sebagai bentuk simpati terhadap problema umatnya. Adalah al-maslahat al-mursalah status identitas yang menjadi program unggulannya tersebut. Teori al-maslahat al-mursalah ini ia jadikan sebagai senjata terakhir dalam menghadapi problem umat kala itu, sebagai tindak lanjut dari program berhukum lainnya, yaitu ijmâ’ ahl al-madînah.

Memahami kondisi dan situasi sosio-politik dan laku ilmu yang morat-marit di eranya, Muhammad Bin Idris Al-Syafi’i (150 H/767 M – 204 H/820 M) –sebagai putra agama sekaligus murid Abu Hanifah dan Malik Bin Anas- jelas merasa terpanggil untuk ikut terjun ke medan peperangan sekaligus dengan membawa bendera baru.[4] Perangkat konseptual seputar teks yang diusung olehnya adalah mencoba melakukan pembasisan ulang pemahaman (ta’sîs al-mafâhîm) terhadap teks. Sehingga, semua fenomena realita; mulai dari problematika sosial, politik, ekonomi dan budaya harus kembali ke dalam ruang lingkup teks. Jika didapati sebuah entitas –baik laku individu atau sosial- yang keluar dari maksud teks, maka sudah barang tentu ia keliru.

Usaha perdamaian metodologi seputar interpretasi teks yang dilakukan oleh Syafi’i terhadap dua entitas sebelumnya –ahl al-hadist dan ahl al-ra’yi- mendapat sorak-sorai dan sambutan tepuk tangan yang luar biasa. Sebuah usaha penetral keadaan sekaligus bentuk kepedulian. Tak ayal, ini pun merubah status sosial dan menjadikannya sebagai penggagas pertama paham moderatisme berhukum. Tidak berhenti pada hal itu saja, gelar nâshir al-sunah pun disandangnya. Sudah barang tentu, bagaimana ia tidak mendapat nâshir al-sunah jika pada kenyataannya ahl al-hadîst selalu bisu ketika mencoba mendialogkan teks dan konteks di panggung pentas kehidupan.

Nalar Ushul Fikih; Formula Epistemologi Baru

Perjalanan manusia sebagai makhluk yang berakal akan terus menyajikan sebuah fenomena yang akan selalu menarik untuk dikaji. Baik beragama karena berakal maupun berakal karena beragama. Di samping itu, interpretasi seputar teks-teks keagamaan pun bercorak seiring mengikuti perangkat metodologi penalaran yang dipakai dalam bingkai sebuah ilmu. Dinamika kejumudan dua dimensi kehidupan –sosio-politik dan ilmu pengetahuan- yang hanya didasari atas dogma dan doktrin tidak akan pernah tereliminasi dari pentas pergelutan seputar dunia interpretasi teks. Tentu, untuk merubah keadaan yang sedang krisis –baik moral maupun laku ilmu- perlu sebuah manuver konkrit yang bisa berfungsi sebagai filter sekaligus motivasi dua dimensi tersebut agar terus bergerak dinamis dan tidak statis.

Aksiomatis dan merupakan konsesus mutlak bahwa wahyu telah usai, artinya tidak akan pernah ada lagi wahyu dari Tuhan pasca mangkatnya Nabi SAW. Sudah barang tentu akan menjadi fenomena yang sangat ironis jika teks-teks agama (Qur’an dan Hadis) tidak dipahami dengan akal yang bernalar positif. Karena akallah yang menjadi perangkat paling utama ketika ingin menyelami samudra substansi teks. Dan ilmu ushul fikih adalah sebuah ilmu yang berasaskan atas dasar subsantisial aturan main Tuhan pada ranah ruang lingkup teks dan aktifitas logis dalam praktiknya sebagai kemaslahatan di dunia konteks.[5]

Berangkat dari dua medan pertempuran yang berbeda wilayah agresinya dalam berhukum (elite politik/rijâl al-siyâsah-ulama’/rijâl al-ma’rifah dan madrasah Madinah/ahl al-hadîts-madrasah Irak/ahl al-ra’yi) namun terjadi dalam satu waktu, reformasi konsep hukum yang ditawarkan oleh Syafi’i merupakan sebuah upaya nyata yang memang benar-benar bisa membalikkan situasi untuk kembali manjadi padu sebagi jawaban atas fenomena realita yang sudah semakin abstrak, yang mana hanya dipenuhi oleh manipulasi dan intervensi kepentingan relatif.

Melakukan pembasisan ulang (iâdah al-ta’sîs/restructure) bangunan ilmu fikih demi mendapatkan pemahaman baru yang lebih progresif perihal moral dan laku ilmu, Syafi’i dengan talenta penguasaan bahasa Arab yang ciamik dapat dengan mudah membangun kembali retakan-retakan epistemologi fikih yang bersifat praktis. Sehingga, pada tataran metodologi ilmu selanjutnya[6], ia berhasil melahirkan karya spektakuler yang berepistemologi kolektif. Hasil peleburan retakan-retakan epistemologi fikih klasik inilah yang merupakan titik pijak awal geneologi ilmu ushul fikih, yang mana struktur epistemologinya (al-binyah al-îbîstîmûlûjiyyah) mengalami kematangan di era kodifikasinya.[7]

Formula epistemologi baru dalam tubuh ilmu ushul fikih sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan berfikir maupun berhukum terkait interpretasi-interpretasi liar terhadap teks. Dimana teks dengan sifat otoritas sakralnya memainkan peranan yang sangat urgen dalam penjustifikasian sebuah kasus teretntu, baik dalam ruang lingkup dimensi sosio-politik mapun dimensi keilmuan.[8] Sebuah keadaan yang sebenarnya sangat dilematis, dimana menghadapi kuasa sultan yang bersarung pedang dengan wacana keilmuan yang hanya menggunakan mata pena, pun melawan balik mainstream yang sedang berlangsung di atas panggung pentas realita.

Bangunan konsep ilmu ushul fikih di tangan Syafi’i ternyata mampu menjawab sekaligus memberikan solusi praktis atas kondisi moral sosial dan laku ilmu dalam interpretasi. Nalar awal ushul fikih dalam kitab Al-Risalah ternyata mampu mewakili konsep-konsep hukum sebelumnya. Imam Syafi’i yang secara akademis adalah murid dari imam Malik –penggagas konsep al-mashlahah al-mursalah yang berdasarkan ijmâ’ ahl al-madînah- dan juga murid dari imam Abu Hanifah –pencetus konsep al-istihsân yang berdasarkan al-ra’yi- berhasil memadukan dua konsep hukum tersebut sekaligus memberikan acuan-acuan praktis agar tidak lagi statis atau malah liar dan tidak sistematis.[9]

Aktualisasi teks terhadap kontesk tidak sepenuhnya dan selalu berjalan mulus seperti yang diasakan. Pada satu kesempatan, teks suci keagamaan ditumbalkan sebagai basis keberlangsungan otoritas politik[10], dan pada kesempatan yang lainnya justru dijadikan sebagai basis otoritas sekte tertentu terkait pemahamannya terhadap teks itu sendiri. Akibatnya, dialektika antara dunia teks (world of the text), dunia pengarang (world of the author) dan dunia konteks (world of the reader) yang seharusnya dinamis, kini tidak hanya terpetakan tapi juga terkaburkan.[11]

Memadukan dunia sakral teks yang statis (al-tsâbit) dengan dunia konteks yang dinamis (al-mutahawwil) merupakan tujuan utama dari nalar ilmu ushul fikih. Jika ditilik dari teori logis, metodologi Syaf’i terbagi ke dalam dua prinsip; (1) prinsip similaritas (mabda’ al-tasyâbuh/principle of similarity) yang beorientasi pemahaman bahwa peristiwa era kontemporer harus memiliki keserupaan dengan peristiwa-peristiwa klasik dengan asas bahwa keklasikan merupakan akar kolektif pada titik temu hukum antara keduanya, (2) prinsip relasivitas (mabda’ al-tawâshul/principle of relasivity) jika prinsip yang pertama menjadikan peristiwa klasik sebagai titik pusat hukum, maka pada prinsip relasi ini ia menuntut adanya indikasi-indikasi tertentu (al-‘llât) yang pada tatanan selanjutnya dapat menjembatani kasus-kasus baru (al-masâil al-jadîdah/new problems) untuk sampai pada legalitas hukum masing-masing kasus.[12] Oleh karena itu, penalaran yang bersifat mengembalikan data-fakta kasus kontemporer ke dalam ruang kuasa teks sejatinya merupakan laku jati diri hukum itu sendiri (al-syai’ fî al-dzâtihi) dan bukan semata-semata karena wacana kita (al-syai’ li al-dzâtinâ).[13] Dengan demikian, imam Syafi’i tidak hanya melakukan restruktur pemahaman (ta’sîs al-mafâhîm) tetapi ia bahkan berhasil membuat acuan konsep justifikasi pemahaman (tashhîh al-mafâhîm).

Rentetan nalar awal ilmu ushul fikih (al-bayân) yang dikemas menjadi lima buah konsep dalam tatanan hukum adalah struktur epistemologi yang terbangun di atas tiga dimensi kesadaran; kesadaran historis (al-wa’yu al-târîkhiy), kesadaran teoritis (al-wa’yu al-nadzariy) dan kesadaran realistis-praktis (al-wa’yu al-‘amaliy).[14] Pemahaman berdasarkan ketiga dimensi kesadaran tersebut merupakan sebuah laku penalaran dari apa yang sedang terjadi dalam ranah realita (al-wâqi’) sekaligus menyingkap tabir abstrak kebenarannya (nafs al-amr).[15] Dengan demikian, tiga dimensi ini masih dan akan terus selalu hadir sebagai struktur nalar utuh ilmu ushul fikih, sekaligus sahabat sejati yang akan menemaninya bertugas mengawal misi perdamaian dialektika relevansi teks dan konteks.

Epilog

Ushul fikih merupakan salah satu ilmu yang signifikan dalam khasanah perkembangan Islam. Sebagai suatu ilmu, tentunya ia akan terikat pada kaidah-kaidah dasar filosofis tentang hakekat ilmu yang sebenarnya. Pada dasarnya, upaya manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yaitu: obyek yang ingin diketahui, cara memperoleh pengetahuan, dan nilai yang dihasilkan ilmu pengetahuan tersebut bagi manusia. Aplikasi kaidah dasar filosofi ilmu –obyek yang ingin diketahui- dalam tubuh ushul fikih dapat dipahami melalui kesadaran historis (al-wa’yu al-târîkhiy). Kaidah dasar filosofi ilmu selanjutnya –cara memperoleh pengetahuan- dalam ushul fikih dapat dilalui dengan kesadaran teoritis (al-wa’yu al-ndzariy). Sementara kaidah dasar terakhir –nilai yang dihasilkan- pada tubuh ushul fikih dapat dilakukan menggunakan kesadaran praktis (al-wa’yu al-‘amaliy). Berdasarkan penerapan kaidah dasar filosofi ilmu tersebut, ushul fikih dapat dikategorikan sebagai ilmu filsafat hukum.

Membaca dari apa yang telah diulas dapat kita tarik benang merah kesimpulan bahwa eksistensi ilmu ushul fikih merupakan kritik atas dialektika dimensi sejarah. Dapat dikatan kritik karena memang pada dasarnya perangkat-perangkat konseptual yang dimiliki oleh ilmu ushul fikih –pada tataran aplikasinya- merupakan jawaban terhadap rancunya dua dimensi kehidupan, sosio-politik dan ilmu pengetahuan. Sehingga pada babakan selanjutnya profit keberadaanya berfungsi sebagai kritik yang konstruktif. Interpretasi liar terhadap teks yang cenderung memaksa untuk tetap dikontekstualisasikan justru melahirkan banyak problematika baru. Dialektika teks dan konteks inilah yang membidani lahirnya ilmu ushul fikih setelah melalui fase pembasisan ulang (restructure) dengan menjadikan retakan-retakan epistemologi fikih klasik sebagai batu loncatan konsep utuhnya. Dan kesadaran sejarah –sebagai salah satu kaidah dasar filosofi ilmu- dapat membuka pemahaman baru melalui pintu-pintu data-fakta sejarah. Dengan demikian, ilmu ushul fikih klasik terbangun atas fenomena-fenomena kesejarahan yang melatar-belakanginya pada waktu itu, pun merupakan bukti sejarah bahwa peta epistemologinya masih dan akan dapat selalu terus bergerak secara dinamis, seraya mengikuti perubahan dan perkembangan konsep-konsep baru setelahnya.

Perjalanan ilmu ushul fikih merupakan salah satu wujud bukti bahwa dunia keilmuan Islam bisa merubah cara pandang dan pola pikir sebuah peradaban. Jangkauan resonansi positifnya dapat menembus berbagai dimensi kehidupan. Sebagai ilmu yang berasaskan keagamaan, ushul fikih telah mampu mengimbangi pergerakan pemikiran klasik sekaligus mengarahkan ke arah yang lebih progresif. Nah sekarang, apakah ia juga mampu merubah pola pikir peradaban modern, dimana watak konsumtif telah menjamur di setiap lini kehidupan? Dan apakah ia juga masih mampu untuk merangsang berfikir progresif tanpa harus jatuh pada bayang-bayang hegemoni hasil pemikiran klasik? Kita lihat saja nanti!

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.



[1] Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabiy, Markaz Dirasah Al-Wahdah Al-Arabiyah, Beirut, cet. X, 2009, hal. 96-97

[2] Suatu ketika Abu Hanifah didatangi oleh seorang pria yang dilemma karena sumpahnya. Ia bersumpah untuk melakukan hubungan biologis dengan istrinya di siang hari yang bertepatan saat itu sedang dalam bulan Ramadan. Di satu sisi ia harus membayar kafârat al-yamîn sebagai ganti karena ia tidak melaksanakan sumpahnya, dan di sisi yang lain, jika ia melaksanakan sumpahnya otomatis puasanya akan batal sebab hubungan biologis tersebut sekaligus menanggung segala konsekuensi bentuk hukumnya. Dengan santainya Abu Hanifah menjawab “ Bepergianlah dengan istrimu karena dengan itu kalian diperbolehkan untuk tidak berpuasa secara syar’î, dan dengan demikian kalian juga diperbolehkan untuk melakukan hubungan biologis di siang hari”. Muhamad Abid Al-Jabiri, ibid., hal. 106

[3] Terbukti ketika Anas Bin Malik ditanya 48 masalah ternyata ia hanya bisa menjawab 16 pertanyaan saja. Jadi, sebanyak 32 masalah lainnya tak bisa ia jawab. Lihat Muhammad Abdul Raziq, lok. cit., hal. 224

[4] Ada beberapa faktor lain yang diposisikan sebagai pemicu kodifikasi ilmu ushul fikih yang tertuang dalam Al-Risalah; (1) keadaan hadis pada zaman setelah mangkatnya Nabi SAW. mengalami krisis teori praktis terkait metode periwayatan berikut matan hadis, (2) kontradiksi teori pemahaman seputar hukum dalam interpretasi teks yang memicu perdebatan antara ahl al-hadîts dan ahl al-ra’yi, (3) akulturasi peradaban baru (al-a’jâmiy) terhadap masyrakat Arab, tidak hanya pada tatanan kehidupan tetapi juga dalam tataran pemahaman khususnya yang berkaitan dengan problem bahasa, (4) semakin menjamurnya problematika umat dengan melahirkan kasus-kasus baru yang tidak didapati hukum pastinya dalam tubuh teks. Lihat lebih jauh: Sya’ban Muhammad Ismail, Ushûl al-Fiqh Nasyatuhu wa Tathawuru wa Madârisuhu wa al-da’wah ilâ Tajdîdihi, Al-Maktabah Al-Makkiyah, Mekah, cet.I, 2002, hal. 69

[5] Hasan Hanafi, Min al-Nash wa al-Wâqi’, Markaz Al-Kitab Li Al-Nasyr, Kairo, cet. I, Juz II, 2005, hal. 43

[6] Identitas prerogratif ide-pemikiran ilmu ushul fikih (al-fikr al-ashûliy) yang tidak didapati pada ilmu-ilmu Islam lainnya; (1) analisa rasionalis (al-tahlîl al-‘aqliy), (2) analisa eksperimental (al-tahlîl al-tajrîbiy), (3) analisa metodologis (al-tahlîl al-manhajiy), (4) analisa logis (al-tahlîl al-manthiqiy), (5) analisa disposisi natural (al-tahlîl al-alfithriy), (6) analisa subyektif (al-tahlîl al-dzâtiy), (7) analisa obyektif (al-tahlîl al-wadl’iy), (8) analisa praktis (al-tahlîl al-‘amaliy), (9) analisa humanis (al-tahlîl al-insâniy) dan (10) analisa orisinil (al-tahlîl al-ashâlatiy). Lihat lebih jauh: Hasan Hanafi, ibid., Juz I, hal. 18-23. Sementara dari sisi teoritis; (1) teori argumentasi (nadzariyah al-hujjiyah), (2) teori afirmasi (nadzariyah al-itsbât), (3) teori pemahaman (nadzariyah al-fahm), (4) teori pasti dan opini (nadzariyah al-qath’iyyah wa al-dzanniyyah), (5) teori kilas balik (nadzariyah al-ilhâq), (6) teori inferensi (nadzariyah al-istidlâl) dan (7) teori pemfatwaan (nadzariyah al-iftâ’). Lihat dan bandingkan: Ali Jum’ah, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh wa ‘Alâqatuh bi al-Falsafah al-Islâmiyyah, Dar Al-Risalah, Kairo, cet. II, 2009, hal. 36-42

[7] Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hal. 101

[8] Pemaknaan liar terhadap teks yang membidani lahirnya pemahaman relativisme subyektif merupakan bentuk nyata sebagai reaksi atas tuntutan kepentingan yang sejatinya justru mempraktikkan laku amoral dalam kawasan kehidupan yang berkeagamaan. Lihat lebih jauh: Abdul Madjid Shagir, op. cit., hal. 163-164

[9] Sya’ban Muhammad Ismail, lok. cit., hal. 72

[10] Abdul Majid Shaghir, op. cit., hal. 97

[11] Ilyas Supena, Epistemologi Hukum Islam dalam Pandangan Hermeunitka Fazlurrahman, Jurnal Al-Syir’ah, Vol. 42 No. II, UIN pers Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2009, hlm. 237

[12] Adonis, Al-Tsâbit wa al-Mutahawwil Bahs fî al-Ibda’ wa al-Itbâ’ ‘inda al-‘Arab, Dar El-Saqi, Beirut, cet. IX, Juz II, hal. 24

[13] Yahya Muhammad, Madkhal ilâ Fahm al-Islâm: al-Fikr al-Islâmiy Nidzamuhu Adwâtuhu Ushûluhu, Al-Intisyar Al-Arabi, Beirut, cet. I, 1999, hal. 55

[14] Hasan Hanafi, lok. cit., hal. 55

[15] Ali Jum’ah, lok. cit., hal. 33