Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Jumat, 03 Desember 2010

Berusaha Mengenal Tuhan


“Fenomena Relasi antara Kholiq dan Makhluq

Apa yang diharapkan dari sebuah kitab wahyu yang besar bukanlah konsistensi logis yang mutlak, namun konsistensi terhadap dominannya gagasan. Para Nabi tidak menawarkan filsafat, mereka menawarkan kebijkasanaan/hikmah dari bentuk tersebut yakni sebuah hikmah yang beridentitas kesucian dominan.

Profit Eksistensi Dzohir- Batin dan Syari’at- Hakikat

Membincang tashawuf -sebuah eksistensi disiplin ilmu yang berbicara tentang kesucian multi dimensi baik dimensi kesucian Tuhan, dimensi kesucian alam terlebih khusus dimensi kesucian manusia- tidak bisa lepas dari koridor ajaran agama Tuhan yang dibawa oleh manusia. Adalah Nabi Muhammad dalam hal ini. Sebelum lebih menelisik ke dalam substansi ilmu tashawuf, hendaknya kita bisa memulai dari diri Nabi Muhammad yang notabene adalah seorang manusia suci utusan Tuhan Yang Maha Suci.

Tidak bisa dipungkiri, meskipun Nabi Muhammad adalah merupakan nabi/utusan yang terkahir, namun pada kenyataannya limit akhir pengutusan nabi-nabi Tuhan ini hanyalah bersifat dzohir semata. Artinya ada eksistensi wujud yang lebih penting yaitu sifat kebatinan Nabi. Pada akhirnya sifat kebatinan ini lah yang sebenarnya menjadi penutup pengutusan nabi-nabi Tuhan.

Sudah jelas, berani berbicara tentang tashawauf maka kita akan dihadapkan dengan dua dimensi eksistensi; limited dan unlimited. Dimensi limited merupakan sebuah eksistensi yang bisa diindera, dinalar dan dilogikakan adalah dzohir yang dimaksud dalam hal ini. Sementara dimensi unlimited adalah sebuah eksistensi yang bersifat rasa, emosi tidak bisa diindera dan tidak bisa dilogikakan. Profit dimensi limited berfungsi hanya menjadi sebagai quantum untuk sampai pada dimensi unlimited.

Karena kita sedang membincang tashawuf, maka yang menjadi titik tolak adalah dimensi unlimited. Ini dikarenakan tujuan dari tashawuf adalah memproduk kesucian manusia agar bisa sampai, mengerti dan memahami eksistensi kesucian Tuhan.

Dimensi unlimited –sebuah konsep untuk sampai pada pemahaman eksistensi Tuhan melalui pencarian jati diri manusia- terbagi menjadi dua prinsip; pertama adalah prinsip Wilayah dan yang kedua adalah prinsip Imamah. Mengenal dan mengerti prinsip pertama adalah jalan untuk sampai dan memahami prinsip yang kedua.

Prinsip Wilayah merupakan metodologi pencarian hakikat/substansi sebuah eksistensi tertentu, dalam hal ini adalah sebuah gerakan ekspedisi mencari kesucian jati diri manusia agar bisa sampai pada eksistensi kesucian Tuhan. Perangkat yang dipakai adalah batin al-nash dan bukan dzohir al-nash. Artinya manusia tidak cukup hanya berdasarkan penggunaan akal atau teks semata-mata tapi mereka harus menyelami samudra isi dan lautan makna teks yang bisa terealisasi dengan takwil al-nash.

Dari sini kita akan mengetahui perbedaan seoarang faqih -dari disiplin keilmuan fiqh- dan seorang sufi -dari disiplin keilmuan tashawuf- pada tataran penggunaan syari’at. Syari’at yang diaktivasikan oleh seorang faqih adalah syariat yang bersifat vertikal, sementara syari’at yang diprokalimirkan seorang sufi adalah syari’at yang bersifat horizontal.

Jika telah berhasil pada prinsip wilayah, maka manusia dituntut untuk menyelesaikan misinya pada level berikutnya yaitu prinsip imamah. Prinsip imamah merupakan kelanjutan dari prinsip wilayah, yakni sebuah usaha intensif untuk sampai kepada eksistensi Tuhan. Biasanya, manusia yang sudah ada pada level ini, mereka mulai menemukan apa yang disebut sebagai nur ilahiy atau cahaya ketuhanan. Oleh karena itu perangkat yang dipakai pada prinsip imamah bukanlah inderawi logis atau syari’at tekstualis tetapi al-qolbu atau hati.

Perangkat hati ini sudah menjadi konsesus mutlak di kalangan ahli tashawuf. Karena pengetahuan hati adalah sesuatu yang lembut yang bersifat ketuhanan yang bisa menerawang langsung sebuah eksistensi tertentu meskipun tidak tampak. Sementara pengetahuan akal masih terbatas pada sisi-sisi eksistensi tersebut. Dengan demikian, pengetahuan hati lebih bisa cepat memahami eksistensi kesucian Tuhan dan penghambaan manusia yang hanya kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang bisa disebut sufi jika ia mengerti dan memahami benar sifat kefana’annya berbanding dengan sifat kekekalan Tuhan. Jadi, tidak sepantasnya perasaan itu dilogikakan, sangat berbahaya bagi manusia yang merasionalkan emosinya.

Relasi Tuhan dan Manusia

Sebenarnya pada zaman pra-Islam masyarakat jahiliyyah sudah mengenal Tuhan. Di kalangan masyarakat tipe ini, hierarki politeisme posisi tertinggi tampaknya diberikan pada Allah yaitu dalam kapasitas sebagai Tuhan Ka’bah di Makkah. Hanya bedanya mereka juga menyembah tuhan-tuhan yang lain dengan dalih menjadikan tuhan-tuhan yang lain tersebut sebagai mediasi untuk sampai kepada Tuhan Ka’bah. Konsepsi ini sangat jelas tercermin dalam al-Qur’an surah al-Zumar ayat 3, kita tahu sejumlah orang musyrik berkata…” Kami tidak menyembah mereka (tuhan-tuhan) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”.

Sistem nilai religius kuno ini benar-benar terancam dengan pernyataan Nabi Islam bahwa Tuhan tertingi tidak hanya tertinggi secara relatif dalam hierarki ketuhanan tetapi tertinggi secara mutlak, unik dan esa. Dengan demikian pernyataan ini menurunkan martabat semua tuhan-tuhan ke dalam posisi batil. Jika orang-orang Arab pra-Islam menerima ajaran baru ini, situasi umum akan mengalami perubahan total dan akibat-akibatnya tidak hanya mereka rasakan secara relatif dalam batas-batas wilayah religius, tetapi secara praktis dalam semua bidang kehidupan, baik sosial maupun individual. Maka tidak mengherankan bila bentuk perlawanan terhadap gerakan yang dipimpin Muhammad ini dengan sendirinya segera muncul dan berkembang.

Berangkat dari sejarah di atas, maka ajaran agama Muhammad harus mempunyai sebuah konsep relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi ini tidak sederhana dan juga tidak unilateral namun bersifat ganda dan bilateral, dalam pengertian relasi yang timbal balik. Relasi antara Tuhan dan manusia dibagi menjadi empat strata hierarki bagian;

1. Relasi Ontologis; antara Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi dunia wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Dengan istilah yang lebih teologis, hubungan pencipta-makhluk antara Tuhan dan manusia.

2. Relasi Komunikatif; di sini, Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama lain melalui komunikasi timbal balik. Relasi komunikatif dibedakan menjadi dua tipe; tipe linguistik dan non-linguistik. Tipe komunikasi linguistik dari Tuhan ke manusia adalah wahyu/ayat-ayat qur’aniyah dan dari manusia ke Tuhan adalah doa. Sedangkan tipe komunikasi non-linguistik dari Tuhan ke manusia adalah ayat-ayat kauniyah/kosmologi dan dari manusia ke Tuhan adalah ritual ibadah atau yang lebih umum disebut sebagai praktek-praktek penyembahan.

3. Relasi Tuan-Hamba; relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuan (Rabb), semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-Nya dan lain sebagainya, sedangkan di pihak lain manusia sebagai hamba-Nya, seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak dan sifat-sifat lainnya yang selalu dituntut pada diri seorang hamba.

4. Relasi Etik; relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri, Tuhan yang kebaikannya tak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi, Tuhan yang murka, kejam, dan sangat keras hukumannya, di sisi lain. Demikian pula, dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa “syukur” dengan antonim negatifnya “kufur” di pihak lain.

Respon positif terhadap relas-relasi antara Tuhan dan manusia akan melahirkan beberapa nilai; pertama, respon positif dari relasi ontologis akan didapati pengakuan manusia terhadap Tuhan sebagai Pencipta, yakni Dia yang telah menganugerahkan manusia dengan karunia eksistensi dan wujud yang istimewa dan telah memberikan kehidupan dan menjaganya. Kedua, respon positif dari relasi komunikasi meliputi respon manusia secara suka-rela dan sepenuh hati terhadap seruan ilahi dan mengikuti bimbingan-Nya menuju jalan keselamatan. Ketiga, respon positif kepada relasi Tuan-hamba artinya manusia akan meninggalkan semua sisa-sisa jahiliyyah dan berbuat kepada Tuhan, Penguasanya, sebagaimana mestinya perbuatan seorang hamba. Dan terakhir, respon positif terhadap relasi etik akan membidani lahirnya rasa syukur secara kontinuitas dan mengeksekusi rasa kufur.

Berdasarkan dari relasi-relasi antara Tuhan dan manusia di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia sangat harmonis di satu sisi dan sangat anarkis di sisi yang lain. Kita sebagai pemegang ajaran agama Tuhan hendaknya bisa menentukan, mengambil dan menetapkan sikap positif kepada Tuhan yang berangkat dari sifat positif Tuhan kepada kita.

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.

By; Hijrian,- Orang Sisa-Sisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar