Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Jumat, 03 Desember 2010

Berusaha Mengenal Tuhan


“Fenomena Relasi antara Kholiq dan Makhluq

Apa yang diharapkan dari sebuah kitab wahyu yang besar bukanlah konsistensi logis yang mutlak, namun konsistensi terhadap dominannya gagasan. Para Nabi tidak menawarkan filsafat, mereka menawarkan kebijkasanaan/hikmah dari bentuk tersebut yakni sebuah hikmah yang beridentitas kesucian dominan.

Profit Eksistensi Dzohir- Batin dan Syari’at- Hakikat

Membincang tashawuf -sebuah eksistensi disiplin ilmu yang berbicara tentang kesucian multi dimensi baik dimensi kesucian Tuhan, dimensi kesucian alam terlebih khusus dimensi kesucian manusia- tidak bisa lepas dari koridor ajaran agama Tuhan yang dibawa oleh manusia. Adalah Nabi Muhammad dalam hal ini. Sebelum lebih menelisik ke dalam substansi ilmu tashawuf, hendaknya kita bisa memulai dari diri Nabi Muhammad yang notabene adalah seorang manusia suci utusan Tuhan Yang Maha Suci.

Tidak bisa dipungkiri, meskipun Nabi Muhammad adalah merupakan nabi/utusan yang terkahir, namun pada kenyataannya limit akhir pengutusan nabi-nabi Tuhan ini hanyalah bersifat dzohir semata. Artinya ada eksistensi wujud yang lebih penting yaitu sifat kebatinan Nabi. Pada akhirnya sifat kebatinan ini lah yang sebenarnya menjadi penutup pengutusan nabi-nabi Tuhan.

Sudah jelas, berani berbicara tentang tashawauf maka kita akan dihadapkan dengan dua dimensi eksistensi; limited dan unlimited. Dimensi limited merupakan sebuah eksistensi yang bisa diindera, dinalar dan dilogikakan adalah dzohir yang dimaksud dalam hal ini. Sementara dimensi unlimited adalah sebuah eksistensi yang bersifat rasa, emosi tidak bisa diindera dan tidak bisa dilogikakan. Profit dimensi limited berfungsi hanya menjadi sebagai quantum untuk sampai pada dimensi unlimited.

Karena kita sedang membincang tashawuf, maka yang menjadi titik tolak adalah dimensi unlimited. Ini dikarenakan tujuan dari tashawuf adalah memproduk kesucian manusia agar bisa sampai, mengerti dan memahami eksistensi kesucian Tuhan.

Dimensi unlimited –sebuah konsep untuk sampai pada pemahaman eksistensi Tuhan melalui pencarian jati diri manusia- terbagi menjadi dua prinsip; pertama adalah prinsip Wilayah dan yang kedua adalah prinsip Imamah. Mengenal dan mengerti prinsip pertama adalah jalan untuk sampai dan memahami prinsip yang kedua.

Prinsip Wilayah merupakan metodologi pencarian hakikat/substansi sebuah eksistensi tertentu, dalam hal ini adalah sebuah gerakan ekspedisi mencari kesucian jati diri manusia agar bisa sampai pada eksistensi kesucian Tuhan. Perangkat yang dipakai adalah batin al-nash dan bukan dzohir al-nash. Artinya manusia tidak cukup hanya berdasarkan penggunaan akal atau teks semata-mata tapi mereka harus menyelami samudra isi dan lautan makna teks yang bisa terealisasi dengan takwil al-nash.

Dari sini kita akan mengetahui perbedaan seoarang faqih -dari disiplin keilmuan fiqh- dan seorang sufi -dari disiplin keilmuan tashawuf- pada tataran penggunaan syari’at. Syari’at yang diaktivasikan oleh seorang faqih adalah syariat yang bersifat vertikal, sementara syari’at yang diprokalimirkan seorang sufi adalah syari’at yang bersifat horizontal.

Jika telah berhasil pada prinsip wilayah, maka manusia dituntut untuk menyelesaikan misinya pada level berikutnya yaitu prinsip imamah. Prinsip imamah merupakan kelanjutan dari prinsip wilayah, yakni sebuah usaha intensif untuk sampai kepada eksistensi Tuhan. Biasanya, manusia yang sudah ada pada level ini, mereka mulai menemukan apa yang disebut sebagai nur ilahiy atau cahaya ketuhanan. Oleh karena itu perangkat yang dipakai pada prinsip imamah bukanlah inderawi logis atau syari’at tekstualis tetapi al-qolbu atau hati.

Perangkat hati ini sudah menjadi konsesus mutlak di kalangan ahli tashawuf. Karena pengetahuan hati adalah sesuatu yang lembut yang bersifat ketuhanan yang bisa menerawang langsung sebuah eksistensi tertentu meskipun tidak tampak. Sementara pengetahuan akal masih terbatas pada sisi-sisi eksistensi tersebut. Dengan demikian, pengetahuan hati lebih bisa cepat memahami eksistensi kesucian Tuhan dan penghambaan manusia yang hanya kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang bisa disebut sufi jika ia mengerti dan memahami benar sifat kefana’annya berbanding dengan sifat kekekalan Tuhan. Jadi, tidak sepantasnya perasaan itu dilogikakan, sangat berbahaya bagi manusia yang merasionalkan emosinya.

Relasi Tuhan dan Manusia

Sebenarnya pada zaman pra-Islam masyarakat jahiliyyah sudah mengenal Tuhan. Di kalangan masyarakat tipe ini, hierarki politeisme posisi tertinggi tampaknya diberikan pada Allah yaitu dalam kapasitas sebagai Tuhan Ka’bah di Makkah. Hanya bedanya mereka juga menyembah tuhan-tuhan yang lain dengan dalih menjadikan tuhan-tuhan yang lain tersebut sebagai mediasi untuk sampai kepada Tuhan Ka’bah. Konsepsi ini sangat jelas tercermin dalam al-Qur’an surah al-Zumar ayat 3, kita tahu sejumlah orang musyrik berkata…” Kami tidak menyembah mereka (tuhan-tuhan) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”.

Sistem nilai religius kuno ini benar-benar terancam dengan pernyataan Nabi Islam bahwa Tuhan tertingi tidak hanya tertinggi secara relatif dalam hierarki ketuhanan tetapi tertinggi secara mutlak, unik dan esa. Dengan demikian pernyataan ini menurunkan martabat semua tuhan-tuhan ke dalam posisi batil. Jika orang-orang Arab pra-Islam menerima ajaran baru ini, situasi umum akan mengalami perubahan total dan akibat-akibatnya tidak hanya mereka rasakan secara relatif dalam batas-batas wilayah religius, tetapi secara praktis dalam semua bidang kehidupan, baik sosial maupun individual. Maka tidak mengherankan bila bentuk perlawanan terhadap gerakan yang dipimpin Muhammad ini dengan sendirinya segera muncul dan berkembang.

Berangkat dari sejarah di atas, maka ajaran agama Muhammad harus mempunyai sebuah konsep relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi ini tidak sederhana dan juga tidak unilateral namun bersifat ganda dan bilateral, dalam pengertian relasi yang timbal balik. Relasi antara Tuhan dan manusia dibagi menjadi empat strata hierarki bagian;

1. Relasi Ontologis; antara Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia yang utama dan manusia sebagai representasi dunia wujud yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Dengan istilah yang lebih teologis, hubungan pencipta-makhluk antara Tuhan dan manusia.

2. Relasi Komunikatif; di sini, Tuhan dan manusia dibawa ke dalam korelasi yang dekat satu sama lain melalui komunikasi timbal balik. Relasi komunikatif dibedakan menjadi dua tipe; tipe linguistik dan non-linguistik. Tipe komunikasi linguistik dari Tuhan ke manusia adalah wahyu/ayat-ayat qur’aniyah dan dari manusia ke Tuhan adalah doa. Sedangkan tipe komunikasi non-linguistik dari Tuhan ke manusia adalah ayat-ayat kauniyah/kosmologi dan dari manusia ke Tuhan adalah ritual ibadah atau yang lebih umum disebut sebagai praktek-praktek penyembahan.

3. Relasi Tuan-Hamba; relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuan (Rabb), semua konsep yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-Nya dan lain sebagainya, sedangkan di pihak lain manusia sebagai hamba-Nya, seluruh konsep yang menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak dan sifat-sifat lainnya yang selalu dituntut pada diri seorang hamba.

4. Relasi Etik; relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri, Tuhan yang kebaikannya tak terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi, Tuhan yang murka, kejam, dan sangat keras hukumannya, di sisi lain. Demikian pula, dari sisi manusia terdapat perbedaan dasar antara rasa “syukur” dengan antonim negatifnya “kufur” di pihak lain.

Respon positif terhadap relas-relasi antara Tuhan dan manusia akan melahirkan beberapa nilai; pertama, respon positif dari relasi ontologis akan didapati pengakuan manusia terhadap Tuhan sebagai Pencipta, yakni Dia yang telah menganugerahkan manusia dengan karunia eksistensi dan wujud yang istimewa dan telah memberikan kehidupan dan menjaganya. Kedua, respon positif dari relasi komunikasi meliputi respon manusia secara suka-rela dan sepenuh hati terhadap seruan ilahi dan mengikuti bimbingan-Nya menuju jalan keselamatan. Ketiga, respon positif kepada relasi Tuan-hamba artinya manusia akan meninggalkan semua sisa-sisa jahiliyyah dan berbuat kepada Tuhan, Penguasanya, sebagaimana mestinya perbuatan seorang hamba. Dan terakhir, respon positif terhadap relasi etik akan membidani lahirnya rasa syukur secara kontinuitas dan mengeksekusi rasa kufur.

Berdasarkan dari relasi-relasi antara Tuhan dan manusia di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia sangat harmonis di satu sisi dan sangat anarkis di sisi yang lain. Kita sebagai pemegang ajaran agama Tuhan hendaknya bisa menentukan, mengambil dan menetapkan sikap positif kepada Tuhan yang berangkat dari sifat positif Tuhan kepada kita.

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.

By; Hijrian,- Orang Sisa-Sisa

Rabu, 10 November 2010

Identitas Syari’at dalam Sunah Nabi



"Pemetaan Syari’at Berdasarkan Kapasitas Nabi Melalui Ilmu Ushul Fiqh"

Sudah menjadi sebuah konsesus mutlak bahwasannya apa saja yang bersumber dari Nabi Muhamad baik itu merupakan ucapan, laku atau ketetapannya adalah sebuah sunah. Tiga spesifikasi sunah ini merupakan produk asli dari Nabi Muhammad selama beliau hidup.

Sayangnya kita seringkali beranggapan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad adalah merupakan syari’at yang harus pula diaplikasikan pada tatanan kehidupan beragama. Namun sejatinya tidaklah demikian karena ada pemetaan yang spesifik menyangkut perihal syari’at itu sendiri jika ditilik dari kapasitas Nabi Muhamad yang notabene sebagai manusia dan rosul.

Prinsip pengklasifikasian sunah terbagi menjadi dua bagian; yang pertama adalah sunah aplikatif (baca; syari’at) dan yang kedua adalah sunah non aplikatif (baca; bukan syari’at). Pemetaan syari’at ini bisa ditengarai dari dua sisi dimensi sifat yang ada pada diri Nabi Muhammad; dimensi sifat kenabian Muhammad dan dimensi sifat kemanusiaan Muhammad.

1. Sunah Aplikatif

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa sunah aplikatif adalah sebuah ucapan atau pun laku Nabi Muhammad yang lahir dari kapasitas sifat kenabiannya. Artinya, sunah dalam hal ini adalah syari’at kerana ia merupakan hasil ekslusif pembuahan dari wahyu Tuhan. Sunah di sini yang dimaksud adalah hasil interpretasi Nabi Muhammad dari teks suci al-Qur’an yang nantinya ia berfungsi untuk mengatur, membimbing dan mengarahkan manusia saat berpegangan dengan tiang agama. Dengan demikian aktivasi sunah dalam status ini menjadikannya sebagai sebuah syari’at yang harus diimplementasikan pada tatanan kehidupan keberagamaan.

Sebagian contoh sunah aplikatif adalah hasil interpretasi Nabi Muhammad yang berdasarkan wahyu Tuhan terhadap teks suci al-Qur’an yang masih bersifat global, universal dan belum terjelaskan. Misalnya tata cara beribadah, pembagian zakat, pelaksanaan puasa dan haji bahkan sampe bagaimana bergaul dengan sesama makhluk.

Berangkat dari asas wahyu Tuhan yang bersifat bahasa langit lalu kemudian diterjemahkan oleh Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa bumi, maka manusia yang berkeyakinan diharapkan mampu untuk menjalin relasi interaksi multi dimensi. Sebuah jalinan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

2. Sunah Non Aplikatif

Pemetaan sunah menjadi non aplikatif muncul dari sifat kemanusiaan Nabi Muhammad. Dalam hal ini kapasitas sunah hanya berlaku pada strata suri tauladan saja dan bukan merupakan syari’at. Jadi, segala hal yang merupakan produk dari sifat kemanusiaan Nabi Muhammad tidak bisa disebut sebagai produk sya’riat,ini karena faktor-faktor yang membidani lahirnya tidak berdasarkan wahyu.

Untuk mengetahui lebih spesifik klasifikasi sunah non aplikatif, Abdul Wahab Kholaf memberikan sebuah media karakter sifat kemanusiaan Nabi Muhammad melalui tiga hal;

a. Aktifitas kemanusiaan Nabi Muhammad sehari-sehari; seperti duduk, berdiri, berjalan, makan dan tidur. Ini tidak bisa diproklamirkan sebagai syari’at karena semuanya lahir tidak berasaskan wahyu atau interpretasi teks suci Tuhan tapi sunah di sini lebih diposisikan sebagai suri tauladan.

b. Perilaku Nabi Muhammad yang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman beliau sebagai manusia dalam berbagai urusan dunia. Misalnya kasus pencangkokan pohon kurma atau saat beliau memilih lokasi dalam sebuah peperangan. Maka posisi sunah dalam hal ini juga tidak bisa diberlakukan sebagai produk syari’at karena tidak muncul dari kapasitas sifat beliau sebagai rosul yang berasaskan wahyu atau interpretasi teks suci Tuhan.

c. Sifat pereogratif Nabi Muhammad sebagai manusia. Yang berarti pemberian hak istimewa langsung dari Tuhan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus bagai beliau, bukan untuk diikuti seperti menikahi istri lebih dari empat. Dari sini jelas bahwa posisi sunah pada tangga eksklusif di sini tidak bisa disebut sebagai produk syari’at yang eksklusif pula. Artinya sifat pengistimewaan beliau kali ini tidak bisa ditetapkan sebagai syari’at yang menuntut sebuah impelemantasi atau suri tauladan yang harus diikuti.

Hasil pemetaan posisi sunah di atas tidaklah ngawur, asal-asalan, serta-merta atau wujud begitu saja, semuanya masih berjalan pada koridor otoritas teks suci Tuhan yaitu al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri sebenarnya telah membuat rumus pemetaan ini, hanya saja masih bersifat universal. Dalam teks suci Tuhan didapati dua ayat yang membincang mengenai hal ini. Adalah surat al-Hasyr ayat 7 “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan surat al-Ahzab ayat 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”

Berdasarkan dari apa yang telah dijelaskan membuktikan bahwasannya dengan adanya pemetaan sunah Nabi Muhammad, diasakan tidak ada lagi kefanatikan yang over yang darinya akan membidani lahirnya tindakan radikal dan anarkis atau kejumudan dan stagnasi berfikir progresif. Dan dengan ini pula mengindikasikan bahwa agama Islam bisa menerima perubahan zaman tanpa harus kehilangan identitas ideologinya. Artinya, apa yang berhubungan dengan perilaku Nabi Muhammad - yang notabene sebagai utusan Tuhan- yang lahir dari dimensi sifat kemanusiaan adalah sebuah laku yang tidak bisa lepas dari ruang dan waktu pada saat itu. Jika pada saat ini masih relevan maka patut pula dipertahankan pun sebaliknya jika tidak relevan dengan fase kontemporer kekinian maka dibutuhkan sebuah kajian pembaharuan dengan tetap bersandar pada otoritas teks suci Tuhan yang darinya diharapkan bisa membuahkan hasil yang positif dan tetap islami.

Sekali lagi ini mengindikasikan bahwa Islam tidak kolot, kaku, konservatif dan fundamental apalagi sampai disebut anti reovolusi/perubahan.Karena ajaran yang ditawarkan kepada manusia adalah ajaran kebenaran, kebijaksanaan dan akan selalu tetap harmonis disandingkan dalam ruang dan waktu di manapun dan kapanpun.

Dengan demikian kita bisa membedakan dari sunah Nabi Muhammad mana yang disebut syari’at dan mana yang bukan. Dengan pengertian bahwa syari’at adalah bersifat permanen, transenden dan statis sementara yang bersifat suri tauladan adalah parsial, temporal dan dinamis. Mari bergerak bersama menuju islam progresif yang beridentitas dan berorientasi ketuhanan.

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.

By; Hijrian,- Orang Sisa-Sisa


Rabu, 06 Oktober 2010

Kritik Mawas Diri


"Klise Proteksi Ideologi dan Tradisi"

Problematika klasik seputar hukum, pola pikir dan gaya hidup di kalangan umat Islam masih saja akan terus muncul. Ini disebabkan oleh arus globalisasi dan modernisasi gaya hidup tanpa batas yang jauh dari peradaban Islam klasik. Berkenaan dengan fenomena kontemporer yang seakan wajib untuk mengenakan baju modern, maka baju klasik yang telah lama dijaga tak segan-segan pula untuk ditanggalkan.

Barat telah sukses mempenitrasikan gaya hidup mereka ke dunia Timur melalui berbagai aspek; mulai dari sistem pola pikir, metodologi dan teori ilmu pengetahuan, episteme-epistema disiplin keilmuan sampai bagaimana cara pandang gaya hidup di zaman yang seakan tak mengenal kata sabar lagi, yang artinya siapa yang cepat dia yang dapat dan selamat. Disadari atau tidak, gaya hidup seperti ini berimbas negatif untuk dunia Timur yang notabene peradaban dan kebudayaannya berbeda dengan dunia Barat. Sebagai efek sampingnya, ketimpangan kondisi dan kecemburuan sosial akan lahir dan berserakan di mana-mana.

Jika tidak ada filter dari dalam yang memberikan proteksi, maka bukan tidak mungkin kita [baca: orang Timur] akan terkontaminasi dan over toleran dengan peradaban Barat tersebut. Dan yang lebih mengerikan lagi jika kita sampai kehilangan identitas, baik yang berkaitan dengan ideologi maupun tradisi.

Oleh karena itu, tidaklah mustahil jika komunitas manusia yang hidup pada abad modern kekinian seperti sekarang ini, masih akan terus mencari penjelasan mengenai sesuatu yang klasik dari ideologi dan tradisinya sendiri. Meskipun pada dasarnya ke-klasik-kan yang mereka cari hanya untuk menutupi kebutuhan atau sekedar hanya ingin tahu saja. Sungguh ironi jika keadaan seperti ini terus berlangsung tanpa ada pihak-pihak yang berusaha mengetengahi antara dua dimensi peradaban ini.

Barat terbukti sukses mengeksekusi fase klasik Islam yang padahal -jika kita mau mengakui, berekspedisi, meneliti dan membanggakannya- kita akan menemukan betapa Islam adalah besar dan bijaksana. Oleh kerena itulah, Barat masih akan terus menginjeksikan pola pikir dan gaya hidup mereka ke dalam tatanan pola pikir dan gaya hidup orang Timur dengan menggunakan kedok baju humanisme, liberalisme, egalitarianisme dan modernisme. Yang gosipnya melalui itu semua akan tercipta sebuah kehidupan bermasyarakat yang berperikemanusiaan, merdeka, bebas, sejajar tak pandang bulu dan berkembang untuk maju.

Menurut mereka, perang saat ini yaitu gaya ekspansi dan imperealisme tidaklah menggunakan senjata dan kekuatan fisik belaka tetapi lebih mengedepankan sebuah sistem yang dengannya peradaban musuh akan runtuh oleh anak sejarahnya sendiri. Sementara mereka (orang Barat) dengan santai menikmati kopi dan menyantap roti sambil ongkang-ongkang kaki seraya tertawa menonton realita yang sedang terjadi.

Meminjam prakata Ali Syari’ari yang menyatakan bahwa para penguasa kolonial, pertama-tama dalam tahap-tahap awal mereka, dengan kedok memerangi fanatisme lalu menyerang agama dengan mengatasnamakan serangan atas reaksionisme lalu menyerang sejarah dan dengan dalih melenyapkan ketakhayulan dan kepercayaan kuno lalu menyerang tradisi untuk melahirkan rakyat yang tidak mempunyai sejarah, tradisi, budaya, agama, dan rakyat yang tak memiliki identitas apa pun.

Dalam menghadapi kolonialisme seperti ini, rakyat telah menjadi seperti monyet. Mereka merasa bangga bila mempraktekkan modernisme ekstrim dalam bentuk konsumerisme baru dan menyangkal tradisi budaya mereka sendiri dengan memamerkan peniruan berlebihan dan asimilasi (telah menyesuaikan diri).

Akibatnya, dengan senang hati mereka akan tunduk kepada nasib yang telah ditentukan oleh pihak-pihak lain untuk mereka. Dalam zaman barbarisme modern seperti saat ini, mereka akan membuka lebar-lebar pintu untuk musuh-musuh mereka, secara tiba-tiba menjadi masyarakat tanpa senjata dan pertahanan, menjadi korban-korban teknologi, tipu-daya sains, sihir kesenian, kelicikan filsafat, dan kemunafikan demokrasi dan humanisme yang kesemuanya telah menjadi antek-antek agama uang dan filsafat konsumerisme.

Kaum Barat kolonialis ingin megadu Islam dengan Islam karena sejak lahirnya sejarah Islam telah membuktikan bahwa setiap kali ia berhadapan dengan musuh-musuhnya –bahkan ketika Islam berada pada titik bawah kekuatannya dan musuh-musuhnya berada pada titik tertingginya– Islam selalu keluar sebagai pemenang. Tetapi, jika musuh membungkusnya dengan pakaian seorang teman dan jika politeisme (kemusyrikan) dan korupsi tertutup oleh kedok-kedok kebajikan dan kesalehan, maka meskipun sedang berada di puncak kejayaannya, Islam akan terkikis dari dalam dan runtuh.

Pada akhirnya, mereka (selain Barat) yang gengsi dengan fase hukum klasik agama [baca; hukum Tuhan] dengan bangga dan tidak akan sungkan lagi untuk mendeklarasikan komodernitasan mereka dengan gaya hukum -pola pikir dan tatanan hidup- liberal, sekuler, imperial, kolonial wa ‘ala alih wa shobibatih wa banih. Sungguh nista kan?

Puji syukur teruntuk Tuhan. Pada masa genting bak perang yang mempertaruhkan ideologi dan tradisi peradaban seperti yang terjadi dari masa skolastik sampai sekarang ini, masih banyak kita jumpai para pemikir ulung dari agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang mencoba menerima modernitas yang bersifat positif dengan tetap bangga mengenakan baju ideologi dan tradisi klasiknya. Singkat kata, mereka mencoba mengaliansikan antara yang klasik dan yang modern demi berlangsungnya sebuah komunitas Islam agar tidak ketinggalan zaman. Tentunya mengambil yang positif dari apa yang eksis pada masa modern seperti sekarang ini dan menjaga serta merasionalitaskan dari apa yang telah eksis pada masa klasik.

Di kalangan akademis, untuk mengenali sosok mereka mungkin bukanlah hal yang sulit serumit seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Karena eksistensi mereka bisa kita kenali lewat karya-karya spektekuler mereka yang telah mampu bisa menembus batas-batas teritorial Negara. Artinya, buah pikiran yang mereka hasilkan berhasil ditransformasikan ke pelbagai penjuru dunia lewat jalur penerjemahan karya-karya mereka. Ini mengindikasikan bahwa karya-karya mereka bisa diterima. Sebagian dari mereka adalah;

Muhammad Imarah; menghimbau umat Islam demi kejayaan Islam kembali dengan tetap berpegang teguh pada turats yang bersifat statis (non-imanensi) dan selektif terhadap turats yang bersifat relatif (non-permanensi), untuk kemudian agar umat Islam bisa beradaptasi pada fase kontemporer kekinian dengan tidak kehilangan identitas ideologinya.

Muhammad Ghazali; keperihatinannya terhadap kondisi keterbelakangan umat Islam memaksa ia untuk menuntut agar umat Islam kembali berinteraksi dengan turats, dengan tidak menolak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang positif.

Muhammad Abid al-Jabiri; menghadiahkan tipologi epistemologi pendidikan Islam sebagai rujukan untuk mengkaji kritik nalar Arab yang mana diatasnya dibangun disiplin-disiplin keilmuan Islam. Sebuah indikasi bahwa pengenalan turats Islam adalah urgen adanya, agar kita dalam menyikapi fenomena yang ada bisa mencapai sebuah kongklusi yang Islami.

Hasan Hanafi; menawarkan pembaharuan demi bangkitnya kejayaan Islam kembali dengan metodologi fenomenologi aliansi periode klasik dengan realitas kontemporer kekinian malalui rasionalitas. Bahkan dalam pola pikirnya yang mengedepankan rasiaonalitas teks-teks turats -demi lahirnya kejayaan Islam kembali khususnya dalam bidang keilmuan- maka ia berani mengambil sebuah konsekuensi bahwasannya teks-teks turats yang tidak rasional dan tidak relevan dengan fase kontemporer kekinian tak mengapa untuk ditinggalkan. Ini semua bertujuan agar kita tidak jatuh ke dalam jurang pensakralan tradisi.

Ali Jum’ah; mengasakan keberlangsungan hidup umat Islam yang dinamis pada fase kontemporer seperti saat ini agar bisa merekontruksi dan meraih kembali kejayaan Islam dengan revitalisasi turats melalui Ushul Fiqh sebagai pilar utamanya. Sebuah disiplin keilmuan Islam yang membumikan hukum-hukum Tuhan.

Jamal Sulthan; mengajak umat Islam untuk waspada terhadap agresi-agresi modern Barat yang mencoba menghancurkan Islam dari dalam melalui intervensi epistema pemikiran barat lewat turats Islam. Jika tidak, maka pada akhirnya orang Islam akan kehilangan identitas sejati dan bermertamorfosa menjadi identitas baru dan asing.

Dan Yusuf al-Qaradhawi; memperjuangkan sebuah cita-cita keislaman umat menggunakan pola pikir moderat demi terciptanya masyarakat yang toleran dengan tetap memegang teguh asas-asas yang absolut [ baca: nash agama, al-Qur’an dan al-Hadis] juga selektif pada hal-hal baru yang temporal agar umat Islam dapat terus maju menuju masa depan yang gemilang dengan tetap tidak menanggalkan baju ideologinya.

Melihat dari apa yang dicita-citakan oleh para pemikir di atas, jelas kita harus kembali pada diri sendiri. Ini bukan berarti bahwa kita menolak masa kini, membelakangi masa depan atau secara fanatik mengembargo segala hal yang baru dan dengan gelisah berpaling ke masa lampau. Justru yang kita inginkan adalah kita harus kembali kepada diri kita sendiri yang manusiawi, berbudi dan berideologi.

Ini bukanlah pemuntahan masa lampau, melainkan suatu gerakan progresif untuk menyelamatkan diri kita sendiri dari keterasingan diri melalui penghapusan hal-hal asing dalam kondisi manusiawi kita, dalam esensi budaya dan spiritual kita. Ini adalah tindakan untuk menemukan kebenaran yang hilang dan nilai-nilai yang terampas. Ini adalah seruan untuk berinjak pada akar-akar kita sendiri. Dan ini adalah gerakan untuk mencegah pembicaraan dengan menggunakan lidah orang lain, berpikir dengan menggunakan akal orang lain dan melangkah maju dengan kaki orang lain.

Dengan tidak menafikan perbedaan, barangkali mereka inilah yang disebut manusia-manusia intelek yang tercerahkan. Mereka yang bisa mengubah stagnasi peradaban kuno menuju modernitas positif sekaligus menjaga peradaban tersebut dari ultimatum agresi modernitas negatif.

Sekian tulisan singkat yang ada. Semuanya berpulang kepada masing-masing individu sang pembaca. Sebagai asa bersama, semoga Tuhan selalu menjaga kita dari apa yang telah kita punya.

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.

By : Hijrian,- Orang Sisa-Sisa.