Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Kamis, 03 November 2011

Eksistensi dan Waktu dalam Diskursus Sufistik Perspekstif Ibn Arabi


Eksistensi dan Waktu dalam Diskursus Sufistik Perspekstif Ibn Arabi

(الوجود و الزمان في الخطاب الصوفي عند ابن عربي)

Mohammad Yunus Masrukhin M.A.


Reportase Sidang Tesis Pasca Sarjana

Rabu, 11 Mei 2011

Universitas Al-Azhar, District 6, Nasr City, Cairo-Egypt

Hari yang cerah tiada berawan seakan ikut mengiringi sekaligus menjadi saksi bisu atas suksesnya pergelaran sidang akbar terkait tesis yang juga luar biasa. Ya, hari Rabu tepat pukul 10:30 waktu Kairo barangkali akan menjadi hari paling bersejarah dalam kehidupan saudara kita tercinta Mohammad Yunus Masrukhin. Bagaimana tidak, jika pada kenyatannya hari itu adalah memang hari paling bermakna atas semua yang telah ada. Semua ada pada waktu yang sama; guru, keluarga, sahabat, tak terkecuali penjaga kampus, bahkan mataharipun ikut terseyum manis penuh mesra untuknya.

Sesaat setelah panitia merampungkan persiapan sidang dan para tamu undangan pun telah penuh mengisi ruangan, tibalah sdr. Mohammad Yunus Masrukhin yang kali ini tampil beda dan agak nyentrik. Bagaimana tidak, kehadirannya dengan busana ala para syaikh Azhar dengan khas topi merah dan jubahnya itu disambut teriakan histeris dan juga tepuk tangan dari semua elemen yang ada pada saat itu. Sedikit jaga gengsi, saudara kita yang saben harinya ini bergaya santai alias simple, tetapi pada kesempatan kali ini justru terlihat berbeda dan mencoba berjalan dengan penuh wibawa dan kharisma, barangkali ia sadar kalau sedang didampingi langsung oleh para doktor pembimbing tesis sekaligus doktor pengujinya.

I

Tepat pukul 10:35, Dr. Abdul Madjid Ali Izz Al-Arab selaku pembimbing tesis pertama membuka sidang pada siang itu dengan memperkenalkan biografi masing-masing doktor penguji. Tak lupa ia juga menjelaskan mengenai proses pemilihan judul dan penulisan tesis ini yang telah dilakoni oleh sdr. Mohammad Yunus Masrukhin dengan ciamik. Dengan sedikit memberikan abstraksi mengenai eksistensi ilmu tasawuf dalam perspekstifnya, beliau berujar bahwa tak jarang ilmu tasawuf ini masih dianggap tabu untuk dijamah karena memang bukanlah perkara yang mudah untuk bisa dipahami apalagi menggunakan pemahaman dalam bentuk penalaran. Sebagai konsekwensinya, para sufi termasuk juga Ibn Arabi di sini, pada satu kesempatan dipuji, dan di kesempatan yang lain tak luput juga menerima caci.

Setelah selama kurang lebih 15 menit Dr. Abdul Madjid Izz Al-Arab membuka dan memberikan sambutan awal sidang, kini tibalah bagi sdr. Mohammad Yunus Masrukhin untuk mempresentasikan tesisnya dengan singkat, cermat, padat dan berisi sebagai bukti tanggungjawab intelektual atas apa yang telah ditulisnya. Berawal dari pembawaan mukadimah yang indah, dedikasi tulisan, dan latar belakang pemilihan tema terkait, sdr. Mohammad Yunus Masrukhin langsung masuk menusuk ke jantung isi. Dengan menyadari lingkup pengalaman yang dinisbatkan kepada diskursus sufistik, maka kita akan dihadapkan pada relasi-relasi ilmu, teks dan konteks yang spesifik, yang tentu saja berbeda alurnya ketika ia dinisbatkan kepada diskursus filsafat-terutama karena ruang dan waktu master sufi kita, yang terbuang sejak tahun 560 H. Sampai pada tahun 638 H. Itu, adalah masa yang mempunyai kepekaan ketat atas konsekwensi pembakuan sebuah disiplin sebagai ilmu. Dan ketika Ibn Khaldun, seorang bapak sosiologi penulis “Prolegomena” yang mashur itu, mengatakan bahwa tasawuf merupakan salah satu ilmu-ilmu Islam, tentunya ia sadar bahwa ilmu yang berkonsentrasi dalam bidang esoterisme Islam itu merupakan sebuah disiplin yang mempunyai konsekwensi logisnya-yang dapat ditemukan dalam disiplin ilmu mantik yang berfungsi sebagai relasi teks dan kesadaran ilmu tasawuf dalam tema tesis ini, yang menjadi bingkai epistemologis ide besar yang diangkat.

Sembari mengehela nafas, sdr. Mohammad Yunus Masrukhin kembali melanjutkan bahwa pengrucutan pemikiran master sufi kita pada diskursus itu pula yang membuat rumusan tentang eksistensi dan waktu tetap merupakan sesuatu yang kontekstual dengan tuntutan kekinian pemikiran Islam. Hal yang demikian itu berpulang pada sebuah kenyataan bahwa sejumlah rumusan yang dbawa oleh master sufi kita-meski ketika dipatok hanya dalam tema—tema esksitensi dan waktu- yang bukanlah sebuah rumusan filsafat, bukan sebuah renungan akal-budi. Kesadaran yang ditampilkan olehnya dalam sejumlah teks yang sampa pada kita itu merupakan sebuah “tetilasan” yang ia titipkan kepada sejarah sebagai bukti perengkuhan pengalaman hidup yanh mencangkup dualisme lingkup eksoteris-esoteris; sebuah “peninggalan” yang tak gampang diletakkan dalam bentuk kata yang tembusa-pandang, sehingga dalam sejumlah kesempatan mengharuskannya untuk menjadikannya sebagai sebuah “pasemon”, atau bahkan simbol.

Kenyataan itu merupakan sebuah bukti bahwa teks Ibn Arabi mustahil ditaklukan hanya dengan disiplin ilmu yang tunggal, atau dengan strategi pembacaan yang lugu. Karena itu, membongkar harta karun tersembunyi (al-kanz al-makhfiy) yang dimiliki oleh sang master membutuhkan rumusan yang bersifat instertekstual dan metatekstual dalam diskursus sufistik secara tertutup, sebelum akhirnya kita dituntut untuk melihat kesinambungan kesadaran esoteris yang dihadirkan oleh teks-teksnya itu dalam kesadaran eksoteris sebagai pembuktian bahwa kesadaran pengalama spiritual itu bukanlah kesadaran yang timpang, yang malah memunggungi lingkup luarannya- atau sebelum, akhirnya, kita dituntut untuk menghadirkan kesimpulan pembacaan itu kepada kesadaran “transenden” sang master sebagai usaha pencarian “maksud fenomenologis” (phenomenological intention) dalam kesadaran sufistik itu.

Dalam “lanskap epsitemologis” itulah, tema ini mengetengahkan rumusan eksistensi dan waktu, dengan menjadikan kesadaran manusia sufistik, dalam madzhab Ibn Arabi, sebagai titik sentral kesadaran, dan titik sentral relasi ontik-ontologis, ontologis, antroposentris, atau linguistik. Oleh karenya, tema besar yang diangakat ini merupakan sebuah upaya akademis untuk membuktikan bahwa diskursus sufistik ortodoks mengharuskan adanya keharmonisan antara pengalaman yang eksoteris dan yang esoteris.

Dengan bermodalkan usaha naturifikasi konsep eksitensialis-sufistik ini, maka sejumlah rumusan yang dihadirkan oleh teks-teks Ibn Arabi, pada kahirnya, merupakan konsep yang sah dan integral dalam doktrin dan peradaban Islam; merupakan sebuah pandangan keagamaan yang memnuhi semua standar kesalehan yang dibakaukan Islam itu sendiri dalam sejumlah disiplin ilmunya sampai sekarang, sehingga bisa dijadikan sebagai prototipe-alternatif dalam kesalehan Islam kontemporer.

II

Tepat pukul 11:15, sdr. Mohammad Yunus Masrukhin menyelesaikan presentasi pertanggungjawaban atas tulisannya. Lalu kemudian, kendali laju sidang diambil oleh Dr. Mohammad Abdul Ghofar Ahmad Badawi yang notabenne juga sebagai doktor pembimbing tesis. Dengan wajah yang terkesan kagum, beliau berkata bahwa sdr. Mohammad Yunus Masrukhin yang baru saja menyelesaikan presentasinya tadi adalah seoarang al-bâhist al-mutamayyiz (pengkaji yang luar biasa istimewa). Beliau juga menyatakan bahwa tema yang diangkat adalah bukan tema yang enteng, karena memang di dalamnya dibutuhkan upaya penjelasan pemahaman yang harus sangat rinci, mendalam dan juga aktual. Artinya, proses penulisan dan pemahaman ketika mengkaji tema adalah sebuah proses yang sangat patut dan layak untuk mendapatkan apresiasi positif, khususnya dalam kajian ilmu tasawuf itu sendiri. Serentak semua yang waktu itu berada di dalam ruang sidang pun langsung memberikan applous yang luar biasa serunya. Dan selanjutnya, Dr. Mohammad Abdul Ghofar Ahmad Badawi membuka sesi kritik isi tesis. Yang pada kesempatan pertama beliau berikan kepada Dr. Mahmud Mohammad Salamah yang statusnya sebagai penguji dari pihak luar universitas.

Pada pukul 11:20 waktu Kairo, Dr. Mahmud Mohammad Salamah sebagai penguji awal langsung memberikan berjibun apresiasi kepada sdr. Mohammad Yunus Masrukhin atas tesisnya itu. Dengan menggunakan tasybîh, Sang Doktor memberikan ibarat padanan atas diri dari seorang sdr. Yunus sebagai matahari yang dengan sinar setianya selalu menerangi alam semesta. Dan dengan tegas beliau juga memberikan gelar kapada sdr. Yunus dengan “al-syaikh” tidak pada sisi umurnya, tetapi terlebih dari faktor intelektualitasnya. Bahkan beliau juga barasumsi bahwa analisa kajian yang dilakukan oleh sdr. Yunus terkait dengan tema di atas melebihi daripada Ibn Arabi itu sendiri, sehingga sampailah beliau pada kesimpulan an al-bâhits ka annahu ibn ‘arabiy fî al-‘ashr al-hadîts (sdr. Yunus adalah ibarat sesosok Ibn Arabi di era kontemporer saat ini).

Setelah pesona apresiasi ia tebarkan, sebelum masuk pada kritik isi tesis, beliau berkata bahwa lahu ra’yuhu wa liy ra’yiy wa lâ khatha’a fî naqd al-ra’y, wa al-risâlah min hadzhi al-jihah risâlah mumtâzah lakin hadzâ shâni’ al-basyar, wa al-basyar dâiman lâ ya’tashimûn ‘an al-naqsh. Berangkat dari perspektifnya itu, kritik pertama yang beliau hadirkan adalah seputar posisi/struktur susuan urutan kata pada judul besar; al-wujûd dan al-zamân. Menurut Dr. Mahmud Mohammad Salamah seharusnya kata al-zamân didahulukan, lalu kemudian diikuti oleh kata al-wujûd. Ia berasumsi bahwa karena entitas waktu memiki porsi yang cukup besar dalam teks suci Al-Qur’an. Terbutki banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang membincang tentang pencipataan atau perihal kondisi sebuah entitas tertentu yang terikat dengan waktu tertentu pula. Dan dari sana jualah kita bisa memetakan al-zamân al-ilâhiy dan al-zamân al-ardhiy/al-kawniy. Ini berdasarkan atas asumsi bahwa anna ibn ‘arabiy lâ yûha ilaih wa lakin al-qu’ân huwa al-mûha ‘inda Allah. Sebagai tanggungjawab analisa, sdr. Yunus dengan tegas menjawab bahwa entitas al-wujûd adalah merupakan eksistensi primer, sementara al-zamân adalah sebentuk epistemologi fenomenologis yang darinya tidak menutup kemungkinan untuk bisa memahami bahkan melakukan sebuah penalaran terhadap entitas al-wujûd itu sendiri. Sambil mengangguk-anggukan kepalanya sehabis mendengar jawaban sdr. Yunus tadi, ia melanjutkan kritiknya dengan mencoba mempreteli diri Ibn Arabi itu sendiri. Baginya, Ibn Arabi hanyalah seorang manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Sebagai bukti pembenaran atas asumsinya itu, sang Doktor memunculkan fakta sejarah bahwa Andalusia dimana ia adalah masa Ibn Arabi hidup, pada saat itu mengalami krisis yang luar biasa. Dan ketika jihad adalah kunci satu-satunya untuk melepaskan dari belenggu krisis tersebut, Ibn Arabi justru meninggalkan jihad. Sementara kita tahu bahwa anna al-jihâd huwa afdhal al-‘ibâdah ba’da al-syahâdah. Belum tuntas beliau atas kritknya itu, tiba-tiba Dr. Abdul Madjid Ali Izz Al-Arab (doktor pembimbing satu) memotong dan menjawab dengan tegas seraya tersenyum bahwa jihad yang dilakukan oleh Ibn Arabi pada saat itu adalah berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Spontan semua yang ada dalam ruangan saat itu tertawa dengan menyertakan tepuk tangan yang cukup kompak dan ramai ketika mendengar jawaban tersebut.

Ketika sedang asyik membincang metode filsafat eksistensialis, beliau menanyakan peran dan fungsi apa yang bisa kita baca atas hadirnya seorang Ibn Arabi itu, khususnya ketika mencoba menyingkap tabir eksistensi Tuhan (al-ru’yah). Nah, di sinilah terjadi adu pendapat yang cukup sengit dan sangat menarik. Bagaimana tidak, suasana ala debat itu dipraktikan oleh Dr. Mahmud Mohammad Salamah dan Dr. Solah Mahmud Al Adliy yang notabenne sama-sama berstatus sebagai penguji. Mereka berdua terlihat sangat antusias ketika mencoba memecahkan problema terkait. Dan lagi-lagi, karena saking serunya, seisi ruangan kembali bertepuk tangan dan kali ini terdengar lebih keras. Situasi seperti ini kembali terjadi ketika para doktor membincang tentang terma al-tafsîr al-isyâriy al-shufiy dan al-tafsÎr al-syi’iy, dan kali ini justru terlihat lebih sengit, karenag sdr. Yunus juga ikut meneriakkan apa yang telah ia pahami seputar terma terkait. Seakan puas dengan suasana, Dr. Mahmud Mohammad Salamah kembali melayangkan kritiknya terkait hak-hak prerogratif sufi (al-khashâish al-shufiyyah). Adalah al-karâmah yang ia pilih sebagai sample atas kritiknya itu. Baginya konsep al-karâmah justru hanya akan membidani lahirnya sifat al-al-riya’ (ingin dikenal) dan al-sum’ah (proteksi reputasi) belaka. Sekali lagi, sebagai pejuang sufi, sdr. Yunus dengan tegas menjawab bahwa al-karâmah adalah sebentuk sifat manifestasi atas nikmat bisa mengenal sekaligus melacak eksistensi Tuhan (al-tahadduts bi al-ni’mah li al-ma’rifah bi LLah)I dengan demikian hadits man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu (barang siapa yang mengenal/mengetahui dirinya dengan intens, maka ia bisa mengenal/mengetahui Tuhannya) benarlah adanya.

Setelah kurang lebih selama satu jam Dr. Mahmud Mohammad Salamah melayangkan kritik dengan sesekali memberikan masukan terhadap isi tesis, akhirnya sebagai penutup, sekali lagi beliau memberikan pujian dan apresiasi dengan menyatakan bahwa tesis ini adalah tesis pertama yang menulis tentang tasawuf dengan kacamata pendekatan perspektif Ibn Arabi. Diakhiri dengan salam dan diikuti tepuk tangan dari semua yang hadir, Dr. Mohammad Abdul Ghofar Ahmad Badawi kembali mengambil alih laju sidang siang itu. Kesempatan selanjutnya beliau berikan kepada doktor penguji dua, Dr. Sholah Mahmud Al-Adliy.

Dr. Sholah Mahmud Al-Adliy yang statusnya sebagai doktor penguji dua dari pihak universitas mencoba untuk tidak memperpanjang bahasan isi. Beliau hanya ingin mengkritik dari sisi editing, meskipun pada babakan selanjutnya juga menyinggung soal isi tesis. Sama seperti Dr. Mahmud Mohammad Salamah yang sebelumnya telah memberikan apresiasi kepada penulis, Dr. Sholah pun tak lupa memberikan hal serupa. Sebuah asa baru yang menyatakan bahwa kelak sdr. Yunus akan menjadi seorang guru besar, insyallah, ujar Dr. Sholah dengan logat santunnya. Sesaat setelah memberikan kesan pengantar awal seputar tesis, Dr. Sholah langsung menanyakan apakah profit yang bisa dipetik dari hadirnya tesis ini untuk khalayak umum? Sementara kita tahu bahwa universitas -apapun itu, khususnya Al-Azhar adalah merupakan manifestasi laku positif untuk khalayak majmuk (khidzmah al-mujtama’). Sekali lagi beliau menekankan, nilai profit apa yang bisa kita pelajari dengan lahirnya tulisan ini? Dengan santainya sdr. Yunus menjawab dengan nada penekanan bahwa ini merupakan salah satu sample dari disiplin keilmuan Islam yang sekaligus berfungsi sebagai penjelas bahwa Islam adalah agama etika, sebuah laku positif yang selalu diasakan dalam setiap masyrakat yang ada. Sehingga Islam sebagai rahmat untuk alam semesta bukanlah hanya sekedar isapan jempol belaka.

Melanjutkan kritiknya, menurut Dr. Sholah ada bebarapa paragraf yang mungkin seharusnya bisa dilanjut tapi justru tidak (tawaqqaf al-kalâm), belum selesai beliau berkata, tiba-tiba Dr. Abdul Madjid Ali Izz Al-Arab yang statusnya sebagai pembimbing menyela seraya berujar al-hamdu lillâh al-ladziy tawaqqaf al-kalâm. Tak ayal, para hadirin pun kembali bertepuk tangan. Gaya kritik ala Dr. Sholah cukup menarik, beliau mencoba mengawali kritiknya seputar isi prolog, struktur kerangka/badan tesis, sampai akhirnya masuk pada sub-sub bahasan di dalamnya. Beberapa kritiknya yang menarik untuk dicatat adalah salah satunya ketika beliau menanyakan fungsi konkrit dari kata al-ta’tsîr wa al-taatstsur terkait dari pribadi Ibn Arabi itu sendiri terhadap sistem tatanan kehidupan. Selanjutnya adalah mengenai pemahaman makna dari kata al-nûr al-basîth, yang akhirnya dijawab oleh sdr. Yunus bahwa maksud dari kata tersebut menurut perspektif Ibn Arabi adalah al-haqîqah al-muhammadiyyah. Setelah melewati hutan kritik, sampailah beliau pada al-mabhats al-sâbi’, menurut Dr. Sholah pembahasan ke tujuh merupakan kajian analisa yang sangat komprehensif, mengena dan cerdik, dalam terjemah bahasa Mesir “râi’ giddan giddan giddan”. Setelah merasa cukup atas kritik-kritiknya itu, beliau mencoba menerka logika tesis dengan memetakan al-iqrâr bi al-dalil dan al-naqd bi al-rad, sehingga sampailah beliau pada kesimpulan bahwa logika yang dibangun dalam tesis ini adalah tanâwal al-muqir laisa tanâwal al-rad aw al-naqd. Dan selama kurang lebih satu jam beliau memberikan wejangan, tepat pukul 13:55 beliau akhiri dengan salam yang serentak dijawab seraya diiringi suara tepuk tangan.

III

Kendali laju sidang diambil alih oleh Dr. Mohammad Abdul Ghofar Ahmad Badawi yang sekaligus meminta waktu sejenak untuk mendiskusikan hasil (natîjah) selama sidang terkait tesis. Selang beberape menit kemudian para doktor, baik dewan pembimbing dan penguji berdiri, berikut semua hadirin, sebagai reaksi atas dibacakannya hasil keputusan sidang. Keputusan sidang tersebut berbunyi:

“Beradasarkan sidang tesis “Eksistensi dan Waktu dalam Diskursus Sufistik Perspektif Ibn Arabi, jurusan akidah dan filsafat yang ditulis oleh sdr. Mohammad Yunus Masrukhin yang dimulai dari pukul 10:30 wk dan selesai pada pukul 14:00 wk, bertempat di ruangan .... Universitas Al-Azhar daerah distrik 6, wilayah kota Al-Nasr, Kairo-Mesir, maka dewan pembimbing dan penguji menyatakan dengan ini sekaligus memutuskan bahwa hasil sidang terkait tesis tersebut adalah “mumtâz (cumlaude)”. Selamat atas hasil kerja keras dan jerih payah anda, semoga kelak bisa bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa, amin”.

Atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, segala puji hanya bagi-Nya, dan dengan didiorong oleh keinginan luhur dari semua elemen, akhirnya sidang siang itu bisa berjalan dengan sukses dan lancar tanpa ada kendala dan halangan apapaun. Demikianlah reportase cuplikan isi dan suasana sidang.

Reporter: Hijr Ryanûuuuuuh w coco