Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Minggu, 29 Mei 2011

Sejarah Perkelahian Pemaknaan


"Teks dan Konteks"

Mebincang eksistensi agama sudah pasti akan menarik benang merah untuk menceburkan diri pada teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Sunah). Majmuk dimaklumi bahwasannya al-Qur’an adalah bukti real agama Islam, berikut juga al-Sunah yang diplot sebagai interpreter atas teks suci al-Qur’an.

Agama turun atas kehendak Tuhan, tetapi memahami dan berupaya merealisasikan agama terserah kepada obyek agama itu sendiri [baca; manusia]. Pada titik inilah ilmu agama lahir, yang bersifat sepenuhnya manusiawi dan bergantung pada penguasaan pengetahuan manusia. Memang benar bahwa kitab suci agama –menurut peniliain para pengikutnya- tidak bercacat; namun, sama benarnya juga mengatakan bahwa pemahaman manusia akan agama itu bercacat. Agama itu suci dan ukhrowi, tetapi pemahaman tentang agama adalah manusiawi dan duniawi. Yang konstan adalah agama (al-dîn), sedangkan yang temporal atau mengalami perubahan adalah ilmu atau pemahaman mengenai agama (al-ma’rifah al-dînîyah.)[1]

Teks-teks keagamaan tersebut tidak akan terasa ‘manis’ tanpa ada usaha nyata untuk meng-kontekstualisasi-kannya atau mengejawantahkan teks-teks tersebut untuk berbaur dengan realita. Sejatinya –sependek pembacaan saya- dunia teks akan hampa jika tanpa disertai dunia konteks. Logika sederhananya seperti dua muka mata uang, teks ada di satu sisi dan konteks ada di sisi yang lainnya. Yang artinya ada hubungan timbal balik untuk saling memposisikan wujud fungsinya masing-masing dan saling melengkapi.

Aktualisasi teks terhadap kontesk tidak sepenuhnya dan selalu berjalan mulus seperti yang diasakan. Pada satu kesempatan, teks suci keagamaan ditumbalkan sebagai basis keberlangsungan otoritas politik[2], dan pada kesempatan yang lainnya justru mengekang dunia konteks untuk tidak keluar dari wilayah teks. Akibatnya dialektika antara dunia teks (world of the text), dunia pengarang (world of the author) dan dunia konteks (world of the reader) malah terkaburkan.[3]

Pendekatan pemahaman teks melalui metodologi ilmu Ushul Fikih –yang notabene ilmu Islam murni, lahir dari teks induk Islam dan berkembang seraya mengikuti perkembangan dunia Islam- bisa dipetakan ke dalam dua bagian; pertama, mengikuti pergerakan sejarah lahirnya teori-teori ushûliyyah berikut kodifikasinya yang terdapat pada madzbah-madzhab fikih. Dan membandingkan keistimewaan metodologi yang digunakan dalam berhujah sekaligus melakukan pengkoreksian, apakah pemahaman seputar teks dengan menggunakan ilmu Ushul Fikih berbeda pada setiap zamannya. Tak ayal, nampaklah apa yang disebut dengan sekat-sekat sektesentris. Sudut pandang yang digunakan tak lagi kolektif, tapi lebih bersifat ke-madzhaban- terhadap entitas ilmu, menggiringnya kepada ranah bermadzhab yang statis, mengorbankan ushûliyât hanya karena furû’iyât, memarginalkan nilai murni ilmu sebab dogma madzhab, sehingga tidak heran justru cenderung mensakralkan madzhab tertentu dengan ‘melambaikan tangan’ sebagai hubungan ‘terlarang’ kepada madzhab yang lain.[4]

Kedua, mengikuti perkembangan ilmu Ushul Fikih dengan melepaskan dari jeratan belenggu madzhab sekaligus sistem berhukum ‘khusus’ yang melekat pada madzhab-madzhab tertentu. Misalnya, pendapat al-imâm al-ma’ashûm (orang yang terjaga dari kesalahan) dan ijmâ’ ahl al-‘itrah (sebuah kongklusi yang disepakati oleh silsilah/garis keturunan) yang dipatenkan dalam metode berhukum Syi’ah. Juga perilaku masyarakat Madinah –yang darinya lahir ijmâ’ ahl al-madînah- yang tertuang dalam wadah berhukum Maliki. Sementara ijmâ’ ahl al-‘itrah pada madzhab Syi’ah sama halnya dengan al-ijmâ’ al-khâsh di dalam tubuh hukum madzhab Ibn Hazm. Bukankah seharusnya ilmu Ushul Fikih diposisikan sebagai sebuah ilmu independen yang tidak terikat oleh sekte manapun? Kerena sejatinya, perbedaan yang terdapat antara satu madzhab dengan madzhab yang lain adalah bias dari furû’iyât dan bukan ushûliyât.[5]

Terekam dari perjalanan sejarah, penanaman doktrin politik ‘kepatuhan mutlak’ terhadap penguasa pada dinasti Abbasiyah yang digaungkan oleh Ibnu Muqaffa’ dalam Risâlah al-Shâbah-nya adalah bukti nyata bahwa teks keagamaan –dengan sifat otoritas sakralnya- memainkan peranan penting untuk mencapai goal yang diinginkan penguasa saat itu.[6] Pun pergelutan antara dua saudara kandung (Ahl al-Ra’yi dan Ahl al-Hadist) atas interpretasi pemahaman makna teks. Dan parahnya, perbedaan sudut pandang seputar pemaknaan teks seakan dijadikan ‘canda’ untuk menafikan entitas sekte lain.[7]

Dialektika teks dan konteks selalu saja melahirkan dinamika baru. Pendekatan terhadapap teks pun beraneka ragam. Sebut saja Abu Hanifah (80 H/699 M – 150 H/767 M), metodologi yang dipakai oleh Abu Hanifah dalam melakukan sebuah interpretasi terhadap teks adalah sepenuhnya bersifat logikawi. Artinya logika menempati strata tertinggi untuk memahami pesan teks. Bukti dari pernyataan tersebut tergambar dari bagaimana Abu Hanifah banyak memainkan peran logika atas teks yang ada, sehingga malah terkesan mempermainkan teks. Pada akhirnya –berangkat dari prespektif yang diusung olehnya ini- madzhab fikih Hanafiah mendapat justifikasi bahwasannya mereka sepadan dengan madzhab Muktazilah dari ranah teologi.[8] Sistem permainan logika dalam berhukum yang ditelurkan oleh Abu Hanifah tersebut adalah betapa akal merupakan sebuah keniscayaan yang dapat melacak makna dan pesan teks. Sekalipun didapati komparasi antara teks dan konteks, akal-lah yang berbicara untuk menyelesaikannya. Logika berhukum ini disebut al-Istihsân.

Berbeda dengan Abu Hanifah yang berkediaman di Irak, masyarakat Madinah pun memiliki perangkat hukum yang juga berbeda. Untuk mengetahui perangkat apa yang dipakai oleh masyarakat Madinah tidaklah susah. Ini bisa ditengarai bahwa Madinah adalah kota di mana al-Sunah menunjukkan tajinya dalam mengatur sekaligus menyelesaikan problema yang ada di sekitar masyarakat Madinah saat itu. Logika yang diagung-agungkan oleh masyarakat Irak sama sekali tidak mendapat porsi cukup di kalangan masyarakat Madinah. Malik Bin Anas (93 H/712 M - 179 H/795 M) sebagai jendral tertinggi dalam bidang strategi hukum di kalangan masyarakat Madinah kala itu, menjadikan al-Sunah sebagai patokan mutlak untuk memahami teks al-Qur’an. Kefanitakannya terhadap al-Sunah kerap kali tak bisa menjawab perihal problema masyarakat yang selalu terus bertambah komplek.[9] Terlepas dari itu, ia melahirkan sistem berhukum baru sebagai bentuk simpati terhadap problema umatnya. Adalah al-Maslahat al-Mursalah status identitas yang menjadi program unggulannya tersebut. Teori al-Maslahat al-Mursalah ini ia jadikan sebagai senjata terakhir dalam menghadapi problem umat kala itu, sebagai tindak lanjut dari program berhukum lainnya, yaitu Ijmâ’ Ahl al-Madînah.

Memahami kondisi dan situasi sosio-politik yang ‘morat-marit’ di eranya, Muhammad Bin Idris Al-Syafi’i (150 H/767 M – 204 H/820 M) –sebagai ‘putra’ agama sekaligus murid Abu Hanifah dan Malik Bin Anas- jelas merasa terpanggil untuk ikut terjun ke ‘medan peperangan’ sekaligus dengan membawa bendera baru. Perangkat pemahaman seputar teks yang diusung olehnya adalah mencoba melakukan pembasisan ulang terhadap otoritas teks. Sehingga, semua fenomena realita; mulai dari problematika sosial, politik, ekonomi dan budaya harus kembali ke dalam ruang lingkup teks. Jika didapati sebuah entitas –baik laku individu atau sosial- yang keluar dari lahiriyah teks, maka sudah barang tentu ia ‘keliru’.

Pemahaman baru seputar teks dan konteks yang ditawarkan oleh Syafi’i adalah berupa konsep yang beroperasi memutar-balikkan dunia konteks –dengan sifatnya yang unlimited- ke dalam ruang kuasa teks. Konsep ini lalu dikenal dengan al-‘Aql al-Qiyâsiy atau logika analogi. Bentuk kerja nyata logika qiyas adalah menjembatani setiap tragedi baru –yang belum didapati pada tubuh teks secara tersurat- untuk sampai kembali kepada teks dengan menggunakan perangkat persamaan ‘ilat yang terdapat di antara keduanya. Dari sini Syafi’i ingin menjadikan qiyas sebagai logika perantara dalam menghukumi sebuah problema agar tidak keluar dari jalur teks.[10]

Usaha perdamaian metodologi seputar interpretasi teks yang dilakukan oleh Syafi’i terhadap dua entitas sebelumnya –Ahl al-Hadist dan Ahl Ra’yi- mendapat sorak-sorai dan sambutan tepuk tangan yang luar biasa. Sebuah usaha penetral keadaan sekaligus bentuk kepedulian. Tak ayal, ini pun merubah status sosial dan menjadikannya sebagai penggagas pertama paham moderatisme berhukum. Tidak berhenti pada hal itu saja, gelar Nâshir al-Sunah pun disandangnya. Sudah barang tentu, bagaimana ia tidak mendapat Nâshir al-Sunah jika pada kenyataannya Ahl al-Hadîst selalu bisu ketika mencoba mendialogkan teks dan konteks di panggung pentas kehidupan.

Meskipun Syafi’i tidak menafikan fungsi akal tetapi juga sekaligus mengikatnya agar tidak membabi buta dalam area interpretasi teks, Syafi’i menaikkan derajat al-Sunah sejajar dengan al-Qur’an. Entah apa tujuannya, yang jelas ia menilai –berdasarkan strategi teologi dan epistemologi nilai bahasa Arab- bahwa pemahaman mengenai al-Sunah oleh Ahl al-Fiqh adalah sama halnya pemahaman bahasa Arab oleh orang Arab[11]. Lalu siapakah yang berhak berbicara atas otoritas al-Sunah? Bukankah al-Sunah berbahasa Arab? Dengan bahasa Arab sajakah al-Sunah itu dapat dipahami? Jika demikian kenyataanya, bagaimana dengan validitas pemahaman orang Non-Arab? Akan selalu kurang tepatkah? Sebuah indikasi bahwasannya Syafi’i tidak hanya mensakralkan teks semata, tetapi juga bahasa Arab.

Penisbatan dimensi teks al-Sunah kepada dimensi bahasa sejatinya malah mengurangi nilai sakral al-Sunah itu sendiri. Karena bahasa –Arab atau Non-Arab- , -luas atau sempit cakupan maknanya-, -banyak atau sedikit lafadznya- adalah merupakan entitas yang akan terus selalu baru. Artinya, bahasa akan terus selalu berkembang dan terperbaharui mengikuti perjalanan manusia –sebagai yang berbicara menggunakan bahasa- yang juga terus mengalami pembaharuan. Sementara apa yang dikatakan ‘al-Sunah’ adalah produk asli dan memang hanya dari satu orang, yaitu Rasul S.A.W.[12] Padahal merupakan aklamasi mutlak bahwasannya tidak akan pernah ada rasul setelah Muhammad. Eksistensi bahasa di luar teks seakan ‘terkungkung’ dalam ruang teks. Ia tidak boleh keluar apalagi lari menjauh. Dengan demikian, benarlah kiranya jika Qiyas dibentuk dengan fungsinya sebagai perantara dunia konteks untuk kembali ke dunia teks. Lalu benarkah logika Qiyas Syafi’i adalah wujud penyetaraan fungsi akal ketika melihat konteks dan memahami teks? Benarkah ini merupakan sebuah ilmu pengetahuan baru? Lalu apakah yang sebenarnya terjadi?

Jelaslah bahwa teori ini tidak memberikan nilai terhadap sirkulasi waktu dan perubahan tempat terhadap tubuh sejarah dan fenomena-fenomenanya dalam tatanan produksi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, perspektif Syafi’i –jika ditinjau dari pengetahuan- tidaklah memproduk sebuah pengetahuan baru, tetapi sebaliknya ia mengembalikan –dengan kalimat lain- ke produksi pengetahuan lama. Jadi, apa yang telah dihasilkan oleh Syafi’i adalah sebatas penjelasan, interpretasi, pencabangan, subsidiaritas atau diservikasi terhadap apa yang telah ada, dan bukan merupakan pengetahuan baru.[13] Tapi jika ditilik dari sisi nilai kesadaran dan kesalehan, Syafi’i merupakan contoh paling ideal, ia adalah sesosok pembaharu-konseptor hukum. Sebagai sifat sadar yang terberi, ia melihat bahwa harus ada teori-teori konkrit perihal interpretasi teks dan sebagai sifat solehnya, ia sebagai ilmuwan-agamawan pada akhirnya bisa memposisikan sekaligus memetakan area pemahaman teks sebagai jawaban atas bias kondisi sosio-politik pada masanya.

Selanjutnya Ahmad Bin Hanbal (164 H/780 M – 241 H/855 M) yang notabene murid dari Imam al-Syafi’i, tak heran jika tata cara berhukum dalam madzhabnya memadukan dua entitas madzhab sebelumnya, yakni madzhab Syafi’iyah dan Hanafiyah.[14] Meskipun madzhabnya hasil pertautan dari dua madzhab sebelumnya, tetapi corak berhukumnya berbeda. Perangkat yang digunakan dalam menetaskan hukum adalah logika teks –al-Qur’an dan al-Sunah- sehingga jika tersurat dalam tubuh teks tuntunan cara berhukum, maka dipatenkanlah hukum tersebut sebagai jawaban atas konteks. Sementara logika Qiyas menempati posisi terendah dalam madzhabnya. Itu pun setelah melewati beberapa fase berhukum yang lainnya.[15] Sehingga sekilas madzhab Hanabilah ini tidak hanya terkesan seperti titisan Ahl al-Hadˆist semata tetapi juga Ahl al-Dzâhir.[16]

Berbeda dengan pendahulunya yang masih memberikan porsi kepada akal untuk bermain di lapangan logika, Ibn hHHHHazm (384 H/994 M – 456 H/1064 M) justru mematikan peran dan fungsi akal. Ia sama sekali tidak memberikan ruang kerja kepada akal. Akhirnya, teks [baca; ayat] yang berbicara tentang akal dan fungsi berfikir sama sekali tak digubrisnya. Tak heran ‘individu tekstualis’ pun bertengger di pundaknya. Hasil olah pikir Ibn Hazm justru memasung perangkat pikirannya sendiri. Tak disangsikan jika ia memposisikan teks sama halnya dengan menyembah sang pembuat teks. Ajaran ‘pemberhalaan teks’ dan ‘irasional teks’ ala Ibn Hazm ini akhirnya membuat kongklusi baru bahwa ‘putih’ menurut teks ‘putih’ juga menurutnya, ‘hitam’ yang tersurat pada tubuh teks ‘hitam’ pula tubuhnya.

Sehingga seandainya Tuhan –dengan otoritas mutlaknya- memerintahkan apa yang telah dilarangnya dan melarang apa yang telah diperintahkannya, maka itu merupakan sebuah keputusan yang harus dipatuhi. Tuhan mungkin saja untuk tidak memerintahkan membasuh tangan dan tidak melarang untuk mongkonsumsi daging babi, bahkan jika Tuhan memerintahkan untuk berbuat syirik dan melarang tauhid, maka wajib bagi manusia menjadi Musyrikîn dan bukan Muwahhidîn. Karena Tuhan bisa saja mengeliminasi tauhid, lalu memerintahkan kita untuk men-duakan-Nya, men-tiga-kan-Nya atau bahkan memerintahkan kita untuk menyembah berhala sekalipun. Dan jika Tuhan memang menghendaki demikian, maka di sanalah (ateis, politeis dan paganisme) akan kita dapati hikmah, keadilan dan kebenaran. Sementara ketauhidan adalah merupakan bentuk kekufuran dan laku yang sia-sia.[17]

Dari pernyataan di atas terlihat Ibn Hazm menggunakan logika ‘tawur’, itu pun kalau masih bisa disebut logika. Patokan berfikir ‘pasrah total’ yang dijadikan standar adalah ‘perintah dan larangan’ Tuhan. Logika sederhananya; perintah Tuhan rasional dan larangan-Nya irrasional. Tapi apa gunanya berbicara rasional dan irrasional jika tidak menyertakan logika di sana? Karena teks –dalam hal ini- menjadi awal dan akhir, tidak menutup kemungkinan yang awalnya larangan-irrasional bisa menjadi perintah-rasional begitupun sebaliknya. Teks bisa beralih menjadi konteks dan konteks bisa menjelma menjadi teks

Disadari atau tidak, teks suci keagaaman yang seharusnya dipahami berdasarakan tema sosial dan humanitarian pada saat itu –dan bahkan saat ini- tak terbaca. Artinya, dimensi ruang plural teks - sebagai rahmat li al-‘âlamîn- malah menjadi terpetakan dan seakan hanya sebagai ‘kosumsi’ oleh sekte-sekte tertentu. Pada akhirnya, dunia teks dirasa tak lagi asri oleh sebab ‘tindakan kepemilikan’ tersebut. Aksiomatis bahwa pemikiran manusia, termasuk di dalamnya pemikiran agama, merupakan produk alamiah dari sejumlah situasi historis dan fakta-fakta sosial pada masanya. Pemikiran agama, dengan demikian, tidak terlepas dari hukum-hukum yang menentukan gerak manusia pada umumnya. Itu karena pemikiran agama tidak mendapatkan sakralitas dan kemutlakannya hanya karena obyeknya adalah agama.[18]

Aktifitas pemakanaan teks seperti yang telah disebutkan adalah merupakan bagian usaha kerja nyata yang dilakukan oleh individu-individu kreatif pada zamannya. Pemahaman terhadap teks adalah bentuk dari pemikiran terhadap teks itu sendiri. Jika dikatakan teks adalah agama maka pemahaman terhadap teks adalah pemikiran agama. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa pemikiran agama bersifat temporal dan berhak menerima perubahan, rekontruksi dan dapat dikritisi. Dengan adanya pemetaan antara teks (agama) dan pemahaman seputar makna teks (pemikiran agama) diharapkan tidak terdapat fanatisme kebenaran di dunia konteks yang hanya bersifat sektesentris. Dengan demikian, ini bisa merangsang untuk berfikir progresif dan lebih aktif tanpa ada bayang-bayang hegemoni hasil pemikiran klasik.

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.

By: Hijrian,- Orang Sisa-Sisa

[1] Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, dialihbahasakan Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama oleh Abdullah Ali, Mizan, Bandung, cet. I, 2002, hlm. 42-43

[2] Abdul Majid Shaghir, Al-Ma’rifah wa al-Sulthah fî al-Tajribah al-Islâmiyyah Qirôah fî Nasyati ‘Ilmi al-Ushûl wa Maqâshid al-Syarî’ah, Ru’yah, Kairo, cet. I, 2010, hlm. 97

[3] Ilyas Supena, Epistemologi Hukum Islam dalam Pandangan Hermeunitka Fazlurrahman, Jurnal Al-Syir’ah, Vol. 42 No. II, UIN pers Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2009, hlm. 237

[4] Hasan Hanafi, Min al-Nash ilâ al-wâqi’, Juz I, lok. cit., hlm. 24-25

[5] Ibid.,

[6] Abdul Majid Shagir, op. cit., hlm. 127

[7] Sebuah catatan sejarah yang menarik ketika Abdul Aziz al-Bukhori bertanya kepada seorang Ahl al-Hadîst perihal dua orang anak yang sama-sama meminum susu dari satu kambing, apakah bagi mereka ditetapkan hukum haram radhâ’ah? Spontan ia yang dari pihak Ahl al-Hadîst menjawab “ Iya, mereka diharamkan untuk melangsungkan akad pernikahan, atas dasar sabda Nabi “ Kullu Shobbiyaini Ijtama’â ‘ala Tsadyin Wahidin Haroma Ahaduhumâ ‘ala al-Âkhor”. Tak heran, sang penanya Ahl al-Ra’yi tadipun tersenyum sinis seraya berkata “ Sobat, ketahuilah bahwasannnya hukum memiliki hubungan erat dengan sifat al-Juziyyah dan al-Ba’diyyah. Jadi, hukum haram radhâ’ah hanya diperuntukkan sesama anak-cucu Adam (manusia) sebab hubungan darah dan bukan antara manusia dan seekor kambing”. Muhammad Abdul Raziq, Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah, al-Haiah al-Mishriyah al-‘Âmah li al-Kitâb, Kairo, 2007, hlm. 225. Lihat dan bandingkan: Abdul Majid Shagir, op. cit., hlm. 157

[8] Suatu ketika Abu Hanifah didatangi oleh seorang pria yang dilemma karena sumpahnya. Ia bersumpah untuk melakukan hubungan biologis dengan istrinya di siang hari yang bertepatan saat itu sedang dalam bulan Ramadan. Di satu sisi ia harus membayar kafârat al-yamîn sebagai ganti karena ia tidak melaksanakan sumpahnya, dan di sisi yang lain, jika ia melaksanakan sumpahnya otomatis puasanya akan batal sebab hubungan biologis tersebut sekaligus menanggung segala konsekuensi bentuk hukumnya. Dengan santainya Abu Hanifah menjawab “ Bepergianlah dengan istrimu karena dengan itu kalian diperbolehkan untuk tidak berpuasa secara syar’î, dan dengan demikian kalian juga diperbolehkan untuk melakukan hubungan biologis di siang hari”. Muhamad Abid Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabiy, Markaz Dirâsât al-Wahdah al-‘Arabiyah, Beirut, cet. X, 2009, hlm. 106

[9] Terbukti saat Anas Bin Malik ditanya 48 masalah ternyata ia hanya bisa menjawab 16 pertanyaan saja. Jadi, sebanyak 32 masalah lainnya tak bisa ia jawab. Lihat Muhammad Abdul Raziq, op. cit., hlm. 224

[10] Muhammad Abid Al-Jabiri, op. cit., hlm. 104

[11] George Tarabishi, Min Islâm al-Qur’ân ilâ Islâm al-Hadîst, Dar el-Sâqî, Beirut-Lebanon, cet. I, 2010, hlm. 248

[12] Ibid., hlm. 250

[13] Adonis, Al-Tsâbit wa al-Mutahawwil Bahs fî al-Ibdâ’ wa al-Itbâ’ ‘inda al-‘Ârab, Dar el-Sâqî, Beirut-Lebanon, cet. IX, Juz II, 2009, hlm. 24-25. Lihat dan bandingkan: George Tarabishi, Min Islâm al-Qur’ân ilâ Islâm al-Hadîst, op. cit., hlm. 254

[14] Hasan Hanafi, lok. cit., hlm. 53

[15] Strata hujah berhukum dalam madzhab Hanabilah adalah; pertama, Al-Qur’an dan Al-Sunah, kedua Fatwa Sahabat, ketiga jika ada selisih pendapat antara Sahabat maka diambillah yang paling dekat dengan teks secara tersurat, keempat al-hadîst al-mursal dan terakhir barulah al-Qiyas. Lihat lebih jauh: Sya’ban Muhammad Isma’il, lok. cit., hlm. 116-117

[16] Hasan Hanafi, lok. cit., hlm. 127

[17] Nash Ibn Hazm. Lihat lebih jauh: George Tarabishi, lok. cit., hlm. 304-305

[18] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khithâb al-Dîniy, dialih bahasakan Kritik Wacana Agama oleh Khoiron Nahdiyyin, LKiS, Yogyakarta, cet. I, 2003, hlm. 201