
"Sebuah Pelacakan Identitas Epistemologi"
Perjalanan manusia sebagai makhluk yang berakal akan terus menyajikan sebuah fenomena yang akan selalu menarik untuk dikaji. Baik beragama karena berakal maupun berakal karena beragama. Di samping itu, interpretasi seputar teks-teks keagamaan pun bercorak seiring mengikuti perangkat metodologi penalaran yang digunakan; nalar eksplikasi teks (bayâniy) dan nalr logika konteks. Tema kali ini sangat menarik, karena nalar bayâniy teks merupakan bangunan epistemologi ilmu ushul fikih, sebuah ilmu yang notabenne sebagai ilmu Islam murni. Nalar bayâniy ini begitu nampak digdaya setelah adanya sistematisasi rancang bangun di tangan Syafi’i. Seseorang yang diklaim dengan label ‘maha guru ilmu ushul fikih’.
Dalam kesempatan kali ini, saya ingin sedikit membincang mengenai diservikasi perangkat nalar dalam perjalanannya sebagai interpreter teks. Metodologi pendekatan yang akan saya pakai adalah bersifat perbandingan (comparation) antara nalar eksplikasi teks (‘aql al-nash al-bayâniy) dan nalar logika konteks (manthiq al-‘aql al-wâqi’iy). Struktur pembahasan kali ini akan saya buat sesederhana mungkin, karena di sini saya hanya ingin melacak sekaligus melakukan pengidentifikasian antara nalar satu dan nalar yang lain. Maka untuk memudahkan kajian kali ini, saya berangkat dari beberapa titik tolak; (1) melacak akar nalar, (2) mengidentifikasi area/ruang kerja nalar, (3) pemetaan fungsi masing-masing nalar, dan (4) kongklusi sekaligus peleburan antara nalar-nalar tersebut.
Seperti struktur yang telah saya sebutkan di atas, maka pertama adalah melacak akar nalar. Sebelum pada akhirnya nanti melakukan sebuah upaya relevansi antar keduanya. Nalar bayâniy –selanjutnya akan disebut nalar eksplikasi- adalah merupakan cara bernalar yang berangkat dari teks dan kembali ke teks. Syafi’i sebagai pengkonsep pertama ilmu ushul fikih berasumsi bahwa semua problematika konteks akan selalu terjawab oleh teks. Permainan logika ini berpijak pada bunyi teks wa nazzalnâ ‘alaika al-kitâba tibyânan likulli sya’in, yang artinya kami telah menurunkan al-Qur’an sebagai penjelas (hukum) semua perkara. Berangkat dari teks tersebut, maka tidak heran jika Syafi’i dalam kitab Al-Bayan-nya yang kemudian berubah nama menjadi Al-Risalah terbukti mengikat dunia konteks -yang bebas nilai dan cenderung liar- ke dalam ruang kuasa teks. Ini terbukti ketika al-Qiyâs –yang notabenne sebagai perangkat sekaligus pelacak sebuah problematika baru- terikat dengan bermacam-macam petanda teks (‘illah). Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa nalar eksplikasi adalah sebuah perangkat logika berhukum yang berkutat di area seputar teks, artinya berangkat dari teks dan kembali ke teks (min al-nash ilâ al-nash).
Berbeda dengan nalar eksplikasi teks, nalar logika konteks masih murni. Artinya nalar logika konteks –pada awalnya- bebas nilai dan justru cenderung ‘liar’. Ini karena nalar logika konteks sama sekali belum terintervensi dari faktor-faktor eksternal. Ia bisa berdiri sendiri tanpa butuh teks sebagai pendamping. Ia tidak memiliki standarisasi barometer kebenaran mutlak kecuali hanya dari realita dan itu pun yang masuk akal (dapat diterima oleh akal/rasional). Maka tidak heran jika titik pijak nalar logika konteks berangkat dari realita dan kembali ke realita (min al-wâqi’ ilâ al-wâqi’).
Setelah kita mengetahui akar masing-masing nalar, maka selanjutnya adalah memetakan ruang kerja nalar-nalar tersebut. Nalar eksplikasi (al-bayâniy) memiliki area khusus dalam lapangan berhukumnya, adalah teks itu sendiri. Dengan artian bahwa kerja nalar eksplikasi hanya berkutat dalam tubuh teks. Maka bukan sesuatu yang absurd, jika pada babakan selanjutnya muncul terma-terma baru sebagai perangkat interpretasi terhadap teks itu sendiri. Misal, ‘âm-khâsh (universal-partikular), muthlaq-muqayyad (unlimited-limited), nâsikh-mansûkh (eksistensi-eliminasi hukum) dan lain sebagainya. Maka, dari sini kita bisa memberikan sebuah predikat atas kerja nalar teks dan teks itu sendiri, sebut saja ‘entitas murni’ (al-syai’ fî dzâtihi).
Sebagai pembanding, nalar logika konteks yang pada awalnya adalah berangkat dari realita maka jelas bahwa area kerjanya adalah seputar pernik-pernik di dunia reailta itu sendiri. Dari sini nalar logika konteks –semacam- mengalami sebuah intervensi faktor luar, sebut saja ‘sang pemikir’ yang pada dasarnya memiliki sebuah identitas ideologi dan ciri khas tersendiri. Maka dari titik pijak ini, kita bisa memberikan predikat atas kerja nyata nalar logika konteks sebagai ‘asimilasi dua entitas terma’-konteks dan pemikir di dunia konteks- (al-syai’ li dzâtinâ).
Selanjutnya adalah melakukan sebuah pemetaan fungsi masing-masing nalar. Dari pemaparan di atas, kita bisa memposisikan nalar eksplikasi teks (bayâniy) sebagai ‘nalar internal’ teks. Sementara nalar logika konteks adalah ‘nalar eksternal’. Nalar eksplikasi bisa ditengarai dari dua terma cakupannya yang berbeda. Ini berpijak dari asumsi para mujtahid dalam memahami teks; pertama, dalam teori normatif ada sebagain yang berpendapat bahwa nalar eksplikasi ini membincang seputar problema ushûl dan aqîdah, atau furû’ dan fiqh. Kedua, sementara di lain tempat, sebagian ada yang berasumsi bahwa nalar eksplikasi adalah sebuah upanya interpretasi yang hanya mengulas problematika seputar area furû’ saja. Sementara dunia ushûl adalah merupakan lahan kerja akal/logika. Nah, berangkat dari statement di atas, maka nalar eksplikasi ini memiliki dua corak yang berbeda ketika diaplikasikan pada tatanan kehidupan bermadzhab; (1) nalar eksplikasi universal adalah sebuah upaya interpretasi yang lahannya mencakup semua lini ajaran agama (min al-ushûl wa al-furû’ kulliha). Dari sini lahirlah sekte yang mengkritik ilmu kalam yang hanya berperangkat logika semata bahkan cenderung mangharamkannya, seperti ulama’ salaf dan al-ikhbâriyyah. (2) nalar eksplikasi yang lebih bersifat khusus, sebuah pemahaman terhadap teks yang lahan di dalamnya hanya mencakup masalah-masalah partikular (al-masâil al-furû’iyyah). Pemahaman ini justru membidani lahirnya sekte-sekte dari ranah fikih dan ranah teologi. Dengan demikian, tidak heran -ketika didapati pada tubuh teks perihal paradoks maknanya- nalar eksplikasi mencoba menyelesaikannya lewat jalur dalam. Artinya, ia mencoba meramu dua entitas yang kontra tersebut dengan melihat wilayah konteks turunnya teks (asbâb al-nuzûl), nâsikh dan mansûkh atau pun melakukan semacam legalitas nilai tambah antara satu dengan yang lainnya, seperti yang terjadi ketika dua hadis Nabi yang saling bertentangan. Berbeda jika penyelesaiannya menggunakan logika konteks (nalar eksternal) yang hanya bertendensi dengan akal semata. Sudah barang tentu, jika perangkat yang dipakai adalah rasio murni, maka ia hanya akan menerima teks yang masuk akal atau berusaha men-ta’wîl-kannya sebisa mungkin agar relevan. Artinya, ia lebih memilih teks yang sesuai dengan latar belakang pemikirannya di dunia konteks.
Periode berikutnya adalah tingkat keistimewaan antar kedua nalar. Strata nalar eksplikasi –jika ditilik dari sisi ideologi- jelas sedikit lebih tinggi dibanding dengan nalar logika konteks. Nalar logika konteks –baik yang bersangkutan dengan problema al-ushûl maupun al-furû’- tidak mendapatkan porsi yang strategis dalam pemahaman teks. Dalam problema al-ushûl jelas tidak dibenarkan jika nalar logika konteks lebih valid daripada nalar eksplikasi yang langsung bertendensi kepada nash. Karena hasil pemahaman yang menggunakan nalar rasio murni –dianggap- tidak bisa memberikan ‘kedamaian’ yang absolut. Tak peduli nalar rasio murni ini ‘patuh’ pada kuasa nalar eksplikasi maupun hanya sebagai pendamping saja. Dengan demikian, para eksplikasis (al-bayâniyyûn) menundukkan nalar rasio murni (nalar logika konteks) agar tidak terbebas dari nalar eksplikasi teks (nash). Karena sejatinya, nalar rasio murni –seperti yang telah disebutkan di awal- memang bebas nilai dan malah cenderung liar. Berangkat dari legalitas dua nalar yang berbeda tersebut, tak ayal jika sekte-sekte teolog masih saja berperang opini seputar keadaan Tuhan dan beragama. Sekte Muktazilah misalnya, menjadikan nalar rasio murni sebagai perangkat utama dalam menguak eksistensi Tuhan sekaligus mamahami agama. Sigkatnya kita berakal maka kita beragama. Berbeda dengan Ahl al-Sunnah yang menyatakan bahwa akal hanyalah sebagai perangkat skunder dalam beragama setelah iman yang menempati posisi primer. Artinya, kita beragama maka kita berakal. Lain halnya jika diterapkan dalam praktik hukum, sebut saja ushul fikih dan fikih. Lagi-lagi nalar rasio murni harus mengekor dengan menjadikan nalar eksplikasi sebagai kepala hukum. Ini dikarenakan para eksplikasis (al-bayâniyyûn) menilai bahwa nalar rasio murni yang bebas nilai jelas tidak bisa lepas dari keinginan-keinginan pribadinya yang tidak menutup kemungkinan justru akan melakukan pengeliminasian terhadap sebuah hukum syari’at tertentu atau bahkan mengaburkan dan cuek atas eksistensinya. Dengan demikian –masih menurut al-bayâniyyûn- berangkat dari teks dan kembali ke teks adalah jalan bernalar yang ‘aman’. Sehinga, tak satu tragedi pun di dunia konteks yang bebas hukum dari kuasa teks. Ini sama persis yang dipetenkan oleh Syafi’i dalam teori logika analoginya (al-qiyâs).
Tapi pada kenyatannya, belakangan ini banyak yang mulai unjuk gigi mengkritik nalar eksplikasi teks ketika bersinggungan langsung dengan konteks kekinian yang notabenne jelas sudah jauh berbeda dengan fase periode risâlah al-rasûl kala itu. Dalam fase yang sudah mengalami banyak akulturasi, kali ini nalar eksplikasi teks dirasa sudah mulai kering. Seruan kembali ke nalar logika konteks pun dianggap merupakan sebuah kebutuhan. Artinya ia merupakan sebuah upaya untuk lebih mengelaborasikan teks dan konteks kekinian dengan titik tolak humanisme, budaya lokal dan kultur, dimana ia merupakan area aplikasi baru untuk teks. Upaya menggabungkan antara kedua nalar adalah merupakan keniscayaan sebagai jawaban kongkrit atas problematika-problematika baru yang masih akan terus selalu berkembang. Jika pada awalnya nalar eksplikasi merupakan perangkat berhukum dari teks kembali ke teks (min al-nash ilâ al-nash) dan nalar logika konteks yang berakses kerja nyata dari realita dan kembali ke realita (min al-wâqi’ ilâ al-wâqi’), maka pada tataran selanjutnya adalah melakukan rekontruksi pemahaman yang bisa mendinamiskan antara nalar ekspilakasi teks dan nalar logika konteks. Sehingga antara teks dan konteks bisa saling mengisi agar kehidupan ini bisa terus selalu bergerak elegan, elastis, dinamis dan tidak statis (min al-nash ilâ al-wâqi’).
Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.
By: Hijrian,- Orang Sisa-Sisa
Referensi:
(1) Hasan Hanafi, Min Al-Nash Ilâ Al-Wâqi’, II Juz, Markaz Al-Kitab, Cet. I, 2004, Kairo
(2) Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah Al-‘Aql Al-‘Arabiy, Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-‘Arabiyyah, Cet. X, 2010, Beirut
(3) Yahya Muhammad, Al-‘Aql Wa Al-Bayân Wa Al-Isykâliyât Al-Dîniyyah, Al-Intisyar Al-‘Arabiy, Cet. I, 2010, Beirut