
"Klise Proteksi Ideologi dan Tradisi"
Problematika klasik seputar hukum, pola pikir dan gaya hidup di kalangan umat Islam masih saja akan terus muncul. Ini disebabkan oleh arus globalisasi dan modernisasi gaya hidup tanpa batas yang jauh dari peradaban Islam klasik. Berkenaan dengan fenomena kontemporer yang seakan wajib untuk mengenakan baju modern, maka baju klasik yang telah lama dijaga tak segan-segan pula untuk ditanggalkan.
Barat telah sukses mempenitrasikan gaya hidup mereka ke dunia Timur melalui berbagai aspek; mulai dari sistem pola pikir, metodologi dan teori ilmu pengetahuan, episteme-epistema disiplin keilmuan sampai bagaimana cara pandang gaya hidup di zaman yang seakan tak mengenal kata sabar lagi, yang artinya siapa yang cepat dia yang dapat dan selamat. Disadari atau tidak, gaya hidup seperti ini berimbas negatif untuk dunia Timur yang notabene peradaban dan kebudayaannya berbeda dengan dunia Barat. Sebagai efek sampingnya, ketimpangan kondisi dan kecemburuan sosial akan lahir dan berserakan di mana-mana.
Jika tidak ada filter dari dalam yang memberikan proteksi, maka bukan tidak mungkin kita [baca: orang Timur] akan terkontaminasi dan over toleran dengan peradaban Barat tersebut. Dan yang lebih mengerikan lagi jika kita sampai kehilangan identitas, baik yang berkaitan dengan ideologi maupun tradisi.
Oleh karena itu, tidaklah mustahil jika komunitas manusia yang hidup pada abad modern kekinian seperti sekarang ini, masih akan terus mencari penjelasan mengenai sesuatu yang klasik dari ideologi dan tradisinya sendiri. Meskipun pada dasarnya ke-klasik-kan yang mereka cari hanya untuk menutupi kebutuhan atau sekedar hanya ingin tahu saja. Sungguh ironi jika keadaan seperti ini terus berlangsung tanpa ada pihak-pihak yang berusaha mengetengahi antara dua dimensi peradaban ini.
Barat terbukti sukses mengeksekusi fase klasik Islam yang padahal -jika kita mau mengakui, berekspedisi, meneliti dan membanggakannya- kita akan menemukan betapa Islam adalah besar dan bijaksana. Oleh kerena itulah, Barat masih akan terus menginjeksikan pola pikir dan gaya hidup mereka ke dalam tatanan pola pikir dan gaya hidup orang Timur dengan menggunakan kedok baju humanisme, liberalisme, egalitarianisme dan modernisme. Yang gosipnya melalui itu semua akan tercipta sebuah kehidupan bermasyarakat yang berperikemanusiaan, merdeka, bebas, sejajar tak pandang bulu dan berkembang untuk maju.
Menurut mereka, perang saat ini yaitu gaya ekspansi dan imperealisme tidaklah menggunakan senjata dan kekuatan fisik belaka tetapi lebih mengedepankan sebuah sistem yang dengannya peradaban musuh akan runtuh oleh anak sejarahnya sendiri. Sementara mereka (orang Barat) dengan santai menikmati kopi dan menyantap roti sambil ongkang-ongkang kaki seraya tertawa menonton realita yang sedang terjadi.
Meminjam prakata Ali Syari’ari yang menyatakan bahwa para penguasa kolonial, pertama-tama dalam tahap-tahap awal mereka, dengan kedok memerangi fanatisme lalu menyerang agama dengan mengatasnamakan serangan atas reaksionisme lalu menyerang sejarah dan dengan dalih melenyapkan ketakhayulan dan kepercayaan kuno lalu menyerang tradisi untuk melahirkan rakyat yang tidak mempunyai sejarah, tradisi, budaya, agama, dan rakyat yang tak memiliki identitas apa pun.
Dalam menghadapi kolonialisme seperti ini, rakyat telah menjadi seperti monyet. Mereka merasa bangga bila mempraktekkan modernisme ekstrim dalam bentuk konsumerisme baru dan menyangkal tradisi budaya mereka sendiri dengan memamerkan peniruan berlebihan dan asimilasi (telah menyesuaikan diri).
Akibatnya, dengan senang hati mereka akan tunduk kepada nasib yang telah ditentukan oleh pihak-pihak lain untuk mereka. Dalam zaman barbarisme modern seperti saat ini, mereka akan membuka lebar-lebar pintu untuk musuh-musuh mereka, secara tiba-tiba menjadi masyarakat tanpa senjata dan pertahanan, menjadi korban-korban teknologi, tipu-daya sains, sihir kesenian, kelicikan filsafat, dan kemunafikan demokrasi dan humanisme yang kesemuanya telah menjadi antek-antek agama uang dan filsafat konsumerisme.
Kaum Barat kolonialis ingin megadu Islam dengan Islam karena sejak lahirnya sejarah Islam telah membuktikan bahwa setiap kali ia berhadapan dengan musuh-musuhnya –bahkan ketika Islam berada pada titik bawah kekuatannya dan musuh-musuhnya berada pada titik tertingginya– Islam selalu keluar sebagai pemenang. Tetapi, jika musuh membungkusnya dengan pakaian seorang teman dan jika politeisme (kemusyrikan) dan korupsi tertutup oleh kedok-kedok kebajikan dan kesalehan, maka meskipun sedang berada di puncak kejayaannya, Islam akan terkikis dari dalam dan runtuh.
Pada akhirnya, mereka (selain Barat) yang gengsi dengan fase hukum klasik agama [baca; hukum Tuhan] dengan bangga dan tidak akan sungkan lagi untuk mendeklarasikan komodernitasan mereka dengan gaya hukum -pola pikir dan tatanan hidup- liberal, sekuler, imperial, kolonial wa ‘ala alih wa shobibatih wa banih. Sungguh nista kan?
Puji syukur teruntuk Tuhan. Pada masa genting bak perang yang mempertaruhkan ideologi dan tradisi peradaban seperti yang terjadi dari masa skolastik sampai sekarang ini, masih banyak kita jumpai para pemikir ulung dari agama Islam. Mereka adalah orang-orang yang mencoba menerima modernitas yang bersifat positif dengan tetap bangga mengenakan baju ideologi dan tradisi klasiknya. Singkat kata, mereka mencoba mengaliansikan antara yang klasik dan yang modern demi berlangsungnya sebuah komunitas Islam agar tidak ketinggalan zaman. Tentunya mengambil yang positif dari apa yang eksis pada masa modern seperti sekarang ini dan menjaga serta merasionalitaskan dari apa yang telah eksis pada masa klasik.
Di kalangan akademis, untuk mengenali sosok mereka mungkin bukanlah hal yang sulit serumit seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Karena eksistensi mereka bisa kita kenali lewat karya-karya spektekuler mereka yang telah mampu bisa menembus batas-batas teritorial Negara. Artinya, buah pikiran yang mereka hasilkan berhasil ditransformasikan ke pelbagai penjuru dunia lewat jalur penerjemahan karya-karya mereka. Ini mengindikasikan bahwa karya-karya mereka bisa diterima. Sebagian dari mereka adalah;
Muhammad Imarah; menghimbau umat Islam demi kejayaan Islam kembali dengan tetap berpegang teguh pada turats yang bersifat statis (non-imanensi) dan selektif terhadap turats yang bersifat relatif (non-permanensi), untuk kemudian agar umat Islam bisa beradaptasi pada fase kontemporer kekinian dengan tidak kehilangan identitas ideologinya.
Muhammad Ghazali; keperihatinannya terhadap kondisi keterbelakangan umat Islam memaksa ia untuk menuntut agar umat Islam kembali berinteraksi dengan turats, dengan tidak menolak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang positif.
Muhammad Abid al-Jabiri; menghadiahkan tipologi epistemologi pendidikan Islam sebagai rujukan untuk mengkaji kritik nalar Arab yang mana diatasnya dibangun disiplin-disiplin keilmuan Islam. Sebuah indikasi bahwa pengenalan turats Islam adalah urgen adanya, agar kita dalam menyikapi fenomena yang ada bisa mencapai sebuah kongklusi yang Islami.
Hasan Hanafi; menawarkan pembaharuan demi bangkitnya kejayaan Islam kembali dengan metodologi fenomenologi aliansi periode klasik dengan realitas kontemporer kekinian malalui rasionalitas. Bahkan dalam pola pikirnya yang mengedepankan rasiaonalitas teks-teks turats -demi lahirnya kejayaan Islam kembali khususnya dalam bidang keilmuan- maka ia berani mengambil sebuah konsekuensi bahwasannya teks-teks turats yang tidak rasional dan tidak relevan dengan fase kontemporer kekinian tak mengapa untuk ditinggalkan. Ini semua bertujuan agar kita tidak jatuh ke dalam jurang pensakralan tradisi.
Ali Jum’ah; mengasakan keberlangsungan hidup umat Islam yang dinamis pada fase kontemporer seperti saat ini agar bisa merekontruksi dan meraih kembali kejayaan Islam dengan revitalisasi turats melalui Ushul Fiqh sebagai pilar utamanya. Sebuah disiplin keilmuan Islam yang membumikan hukum-hukum Tuhan.
Jamal Sulthan; mengajak umat Islam untuk waspada terhadap agresi-agresi modern Barat yang mencoba menghancurkan Islam dari dalam melalui intervensi epistema pemikiran barat lewat turats Islam. Jika tidak, maka pada akhirnya orang Islam akan kehilangan identitas sejati dan bermertamorfosa menjadi identitas baru dan asing.
Dan Yusuf al-Qaradhawi; memperjuangkan sebuah cita-cita keislaman umat menggunakan pola pikir moderat demi terciptanya masyarakat yang toleran dengan tetap memegang teguh asas-asas yang absolut [ baca: nash agama, al-Qur’an dan al-Hadis] juga selektif pada hal-hal baru yang temporal agar umat Islam dapat terus maju menuju masa depan yang gemilang dengan tetap tidak menanggalkan baju ideologinya.
Melihat dari apa yang dicita-citakan oleh para pemikir di atas, jelas kita harus kembali pada diri sendiri. Ini bukan berarti bahwa kita menolak masa kini, membelakangi masa depan atau secara fanatik mengembargo segala hal yang baru dan dengan gelisah berpaling ke masa lampau. Justru yang kita inginkan adalah kita harus kembali kepada diri kita sendiri yang manusiawi, berbudi dan berideologi.
Ini bukanlah pemuntahan masa lampau, melainkan suatu gerakan progresif untuk menyelamatkan diri kita sendiri dari keterasingan diri melalui penghapusan hal-hal asing dalam kondisi manusiawi kita, dalam esensi budaya dan spiritual kita. Ini adalah tindakan untuk menemukan kebenaran yang hilang dan nilai-nilai yang terampas. Ini adalah seruan untuk berinjak pada akar-akar kita sendiri. Dan ini adalah gerakan untuk mencegah pembicaraan dengan menggunakan lidah orang lain, berpikir dengan menggunakan akal orang lain dan melangkah maju dengan kaki orang lain.
Dengan tidak menafikan perbedaan, barangkali mereka inilah yang disebut manusia-manusia intelek yang tercerahkan. Mereka yang bisa mengubah stagnasi peradaban kuno menuju modernitas positif sekaligus menjaga peradaban tersebut dari ultimatum agresi modernitas negatif.
Sekian tulisan singkat yang ada. Semuanya berpulang kepada masing-masing individu sang pembaca. Sebagai asa bersama, semoga Tuhan selalu menjaga kita dari apa yang telah kita punya.
Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.
By : Hijrian,- Orang Sisa-Sisa.