Selamat Datang dan Bergabung

Religious Myspace Comments

The Blues

The Blues
Republik Biru "The Blues" Chelsea FC

Sabtu, 04 September 2010

Identitas Pola Pikir Liberal




“Pemahaman Menggunakan Barometer Nash

Liberal seringkali menjadi gelar yang seakan-akan pantas untuk disematkan kepada orang-orang yang berpola pikir “keras” atau sekedar berbeda dengan tradisi sebuah masyarakat tertentu atau bahkan hanya berbeda cara pandang dengan individu lain.

Dalam kesempatan kali ini, penulis tidak ingin membahas akar bahasa liberal atau diservikasinya. Tetapi penulis hanya ingin sedikit urun rembuk sebagai sebuah reaksi atas realita komparatif yang akhir-akhir ini sering kita jumpai pada tubuh masyarakat, khususnya Indonesia. Ironinya, mereka yang berbeda cara pandang saling menyerang dan menjatuhkan musuh-musuhnya -mereka yang tak sependapat dengan sekte yang pertama- dengan melemparkan kata liberal sebagai senjata pamungkas agar lawan main rasionya bisa kalah dan teriintimidasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, masyarakatnyalah yang akan menjustifikasi keberlangsungan kehidupannya dan memutuskan berhak atau tidaknya mereka untuk tetap tinggal di area kediamannya.

Liberal yang sliweran akhir-akhir ini merupakan sebuah bentuk kata negatif paling mujarab yang berfungsi untuk disematkan kepada mereka yang jika saat menanggapi sebuah fenomena sedikit berbeda dengan apa yang telah ada. Parahnya, fenomena itu hanya sebatas tradisi belaka dan jauh dari pola pikir rosionalitas.

Jika keadaan seperti ini terus dibiarkan berlangsung, dikhawatirkan akan terus terjadi sifat saling tuduh-menuduh, mencari kambing hitam sampai lahirnya sifat pengecut yang biasa digemakan dengan lempar batu sembunyi tangan. Lebih mengerikan lagi jika komunitas yang dimanupulasi oleh realita tidak tahu bahwa dirinya sedang dipermainkan atau dijadikan alat pemusnah eksistensi komunitas lain.

Peperangan dengan kepentingan pribadi demi mengegoalkan tujuan yang diinginkan oleh entitas kelompok tertentu model seperti ini dilaqobkan oleh Ali Syari’ati adalah sebagai "kelompok individu-individu yang tidak mengenal satu sama lainnya tetapi saling bertempur demi orang-orang yang mengenal satu sama lainnya tetapi tidak saling bertempur".

Jadi, menurut hemat penulis pola pikir liberal adalah sebuah pola pikir rasional yang berseberangan dengan nash. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa dkatakan liberal jikalau pola pikir rasionalnya hanya berseberangan dengan mainstream tradisi masyarakat tertentu saja. Karena barometer kebenaran pola pikir yang seharusnya dipakai adalah nash yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah bukan tradisi masyarakat.

Sebagaimana metodelogi Hasan Hanafi mengenai teori fenomenologi pembaharuannya yang mengedepankan rasiaonalitas teks-teks turats demi lahirnya kejayaan Islam kembali khususnya di bidang keilmuan, maka ia berani mengambil sebuah konsekuensi bahwasannya teks-teks turats yang tidak rasional dan tidak relevan dengan fase kontemporer kekinian tak mengapa untuk ditinggalkan. Ini semua bertujuan agar kita tidak jatuh ke dalam jurang pensakralan tradisi. Dari sini kita bisa mengambil sebuah pengalaman pengetahuan yang bisa dijadikakan acuan untuk memberikan batasan liberal itu sendiri.

Sebagai orang Indonesia kita hendaknya bersyukur karena di negeri kita yang kaya akan budaya dan tradisi masyarakatnya itu bisa memudahkan kita dalam mengambil sample pengetahuan. Tata letaknya yang jauh dari peradaban Islam klasik pun bisa kita manfaatkan sebagai ruang pembeda dengan sosio-kultur masyarakat Arab. Kita ambil contoh apa yang telah menjadi tradisi kita di Indonesia tetapi tidak tidak ada dasar nashnya pun di masyarakat Arab Islami sendiri. Adalah “bedug” dalam hal ini, sesuatu yang dipukul yang darinya menghasilkan bunyi yang biasanya berfungsi untuk menunjukkan waktu masuk sahalat sebelum kemudian dikumandangkannya adzan merupakan tradisi kita yang tidak kita jumpai di Negara-negara Arab Islam.

Kita contohkan seandainya ada seseorang yang mencoba berpikir rasional yang kemudian dia sampai pada hasil pelarangan pemukulan bedug, maka bisa saja ia dianggap sebagai orang liberal karena keberaniannya melawan tradisi mainstream masyarakat yang telah mengakar. Tetapi menurut hemat saya tidaklah tepat memberikan cap liberal kepada seseorang yang pola pikir rasionalnya hanya berseberangan dengan tradisi masyarakat. Karena dalam beristidlalpun terdapat strata kapabilitasnya, tradisi masyarakat yang dalam hal ini disebut sebagai dalil ‘urf masih kalah jauh kapasitas kualitatifnya dibandingkan dengan dalil ‘aql (rasio).

Jangankan yang berhubungan dengan masalah tradisi, yang berhubungan dengan masalah furu’iyyah pun -yang sudah barang tentu ada ushul nashnya- kita hendaknya tidak menyematkan kata liberal jikalau ada perbedaan pendapat di sana. Contoh kongkritnya pada tubuh ormas di Indonesa mengenai doa kunut saat shalat subuh, Nahdlotul Ulama’ menggunakan sementara Muhammadiyah tidak. Tidak sepantasnya kita saling melempar batu liberal karena ketidakpadaan pendapat tersebut. Karena perbedaan dalam masalah furu’iyyah selama tidak merubah ushul al-aqidah itu tidaklah mengapa. Sebagaimana pondasi berpendapat Ulama’ Fikih “ الإختلاف فى الفروع لا يوجب الخروج من الملة”.

Jadi, identitas liberal yang sebenarnya -sekali lagi menurut hemat penulis- adalah pola pikir rasional yang berseberangan dengan nash. Singkatnya, selama pola pikir rasional seseorang tidak bersebarangan dengan aqidah, ibadah dan muamalah sebagaimana yang termaktub dalam nash, maka tidak pantas liberal disematkan padanya.

Contoh kongkritnya mengenai masalah aqidah adalah jikalau ada pemikir teologi rasio kemudian ia sampai pada hasil bahwa tatanan alam semesta tercipta dengan sendirinya atau Tuhan itu tidak ada, maka barulah pantas ia disebut liberal. Pada tataran ibadah misalnya sebuah pola pikir rasional yang kemudian sampai pada hasil bahwasannya shalat dan puasa tidaklah wajib, maka pola pikir inipun berhak mengenakan baju liberal. Dan pada kelas muammalah misalnya ditemukan sebuah pola pikir rasional yang kemudian sampai pada hasil penghalalan riba atau monopoli perdagangan, maka sekali lagi pola pikir yang berseberangan dengan nash seperti ini berhak mendapatkan piala liberal.

Maka dari itu, jika kita dapati entitas eksistensi sebuah komunitas berpola pikir rasional yang tanpa sengaja menghasilkan sebuah kongklusi yang berseberangan dengan tradisi masyarakat, hendaknya kita bisa menyikapi secara arif dan bijaksana. Dan jika hasil pola pikir rasionya itu hanya bersebarangan dengan tradisi masyarakat yang mana tradisi tersebut tidak menyalahi nash atau bahkan sebagai mediasi pemahaman nash menurut masyarakat majmuk, maka menurut penulis cukuplah ia diberi gelar ngawur saja.

Ini berkenaan dengan tidak terbatasnya dimensi nash itu sendiri. Artinya, eksistensi kapasitas positif nash tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sementara akal -sebagaiamana yang telah kita ketahui- ia terbatas pada dimensi ruang dan waktu. Keterbatasan akal inilah yang mengindikasikan bahwa sesuatu yang masuk akal adalah ia yang bisa ditangkap oleh panca indera.

Sebenarnya jika kita berani mengakui keterbatasan alam akal pikiran kita dan menjadikan nash sebagai barometer kebenaran absolut, tentulah kita akan terjaga dari fenomena-fenomena kontradiktif antara rasio dan agama.

Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui apa-apa yang ada di dalam kandungan nash –tersurat maupun tersirat- kita sebagai khoirul ummat dituntut untuk bisa menyelami dalamnya samudera nash tersebut. Untuk kemudian membawa hasil penyelaman tadi ke permukaan agar bisa dinikmati oleh semua penduduk bumi secara kolektif dan bisa dijadikan bukti bagaimana nash mampu memberikan yang terbaik.

Dengan menitikberatkan angin kebebasan yang ditekankan pada awal mula agama Islam diukir dan dengan penuh rasa cinta kasih, identitas dan ciri khas Islam itu terbentuk, maka sudah seharusnya masa depan hukum Tuhan [baca: agama] juga harus dibentuk dan diwarnai dengan lukisan cinta dalam kanvas-kanvas kebebasan berekspresi bukan dengan paksaan, aniaya, radikal dan anarkis. Sehingga ide-ide yang konstruktif berlian dapat berfungsi sebagai upaya give and take to live and let live.

Akhirnya, pengertian sebagai hasil diskusi adalah dasar dari toleransi.

By: Hijrian.- Orang Sisa-Sisa.