
"Membumikan Kebijaksanaan Hukum Tuhan"
I. Prolog
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan YME dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan yang lainnya. Keistimewaan ini dipaparkan oleh al-Qur’an pada surat at-Tin ayat ke 4 “ لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقويم ” yang artinya “ sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk sebaik-baiknya “. Selain keistimewaan di atas, manusia juga diberi label oleh Tuhan YME sebagai mandataris-Nya di muka bumi ini. Sebagai mandataris Tuhan YME, manusia dalam melakukan segala aktifitasnya baik yang berupa fisik (muamalat) maupun yang metafisik (ibadat) sudah barang tentu akan membutuhkan sebuah metode yang bisa memenej laju kehidupannya -dengan segala aktifitasnya tersebut- agar manusia tetap berada di jalan yang diridloi oleh Tuhan YME dan berhukum dengan hukum-Nya serta menjadikan-Nya pelindung dan penolong kapanpun dan dimanapun “ و كفى بالله وليا و كفى بالله نصيرا ”. Secara apriori manusia sebagai mandataris Tuhan YME harus mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jadi, dengan demikian keistimewaan manusia tidak akan pernah bisa menyamai keistimewaan Tuhan YME karena derajat Tuhan YME jauh lebih tinggi dan mulia dari pada manusia itu sendiri.
Karena derajat manusia jauh di bawah Tuhan YME maka manusia tidak akan pernah bisa memahami apalagi berbicara dengan bahasa suci Tuhan YME. Oleh karena itu, Tuhan YME dengan sifat perogratif dan otoritas-Nya yang tanpa batas, Ia berhak memilih seorang hamba dari setiap umat untuk dijadikannya mediator penjelas hukum. Karena hukum Tuhan YME selalu ada di setiap umat “ لكل جعلنا منكم شرعة و منهاجا ”. Mediator pilihan Tuhan YME tersebut adalah Nabi. Sebagai seorang Nabi pilihan Tuhan YME, ia harus menyampaikan kepada umatnya atas apa yang diinginkan Tuhan YME kepada mereka. Sekaligus memberikan bimbingan arah dan tujuan hidup –dalam hal apapun- seperti yang dikehendaki oleh Tuhan YME “ و لتكن منكم أمة يدعون إلى الخير و يأمرون بالمعروف و ينهون عن المنكر و أو لئك هم المفلحون ” yang artinya “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung“. Dari ayat di atas, sekali lagi, manusia membutuhkan sesosok orang suci yang bisa menginterpretasikan ayat-ayat suci Tuhan YME pun pembeda antara yang hak dan yang batil yang secara konjungsi akan bisa merealisasikan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sudah sangat jelas bagi kita bahwa seorang Nabi pilihan memiliki peranan penting untuk memberikan penjelasan dan pemahaman kepada umatnya perihal hukum Tuhan YME.
Berangkat dari ulasan di atas, penulis akan berusaha memberikan sedikit pengantar tentang fungsi dan peran Sunnah Nabi dalam membumikan hukum-hukum suci Tuhan YME. Nabi yang mulia di sini tersebut adalah Nabi Muhammad SAW. Karena ia adalah Nabi pilihan terakhir yang artinya tidak akan pernah ada Nabi lagi setelahnya dan karena ia diutus untuk semua umat “ و ما أرسلناك إلا رحمة للعالمين ” serta dengan syari’atnya pula lah ia telah menyempurnakan syari’at-syari’at umat yang telah lewat, sebagaimana firman Tuhan YME “ اليوم أكملت لكم دينكم و أتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلام دينا”.
Sunnah Nabi adalah merupakan hujjah yang bisa digunakan untuk menghukumi perkara-perkara yang berkaitan dengan perintah dan larangan dari Tuhan YME. Keeksisan hujjah sunnah sudah diabadikan dalam firman Tuhan YME pada banyak ayat dalam al-Qur’an, misalnya surat an-Nisa ayat 80 “ من يطع الرسول فقد أطاع الله ”, surat al-Achzab ayat 36 “ و من يعص الله و رسوله فقد ضل ضلا لا بعيدا ”, surat al-Hasyr ayat 7 “ وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهى كم عنه فانتهوا ” dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang menunjukkan kemuliaan Nabi SAW, kemaksumannya dan kehujjahan Sunnahnya. Kewajiban beramal dengan Sunnah sama dengan kewajiban beramal dengan al-Quran dalam hal pengambilan dalil, maka siapaun yang beramal dengan al-Qur’an wajib juga beramal menggunakan Sunnah.
II. Definisi Sunah
A. Definisi Etimologi
Makna as-Sunnah secara etimologi adalah الطريقة (metode atau jalan) atau السيرة (perjalanan).
Maka tidak heran kalo sunnah disebut sebagai metode untuk menggali hukum dari ayat-ayat al-Qur’an sekaligus penjelasnya, pun benar juga dinamakan sebagai perjalanan hidup Nabi. Dengan makna ini akan ada relasi dengan makna terminologi sunnah.
B. Definisi Terminologi
Makna as-Sunnah secara terminologi sendiri terbagi menjadi dua :
1. Definisi yang pertama as-Sunnah sebagai variasi hukum-hukum taklifiy adalah sesuatu yang disarankan oleh Syaari’ (sang pembuat hukum adalah Tuhan YME) tapi tidak wajib mengimplementasiakannya. Dengan artian sesuatu yang jika dilakukan mendapat pahala dari Syaari’ tapi tidak juga mendapat dosa sebab meninggalkannya.
2. Sedangkan definisi yang kedua as-Sunnah sebagai dalil syar’i yang kolektif adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapannya (dengan diamnya).
III. Diservikasi Sunnah
Dari definisi sunnah di atas maka sunnah terbagi menjadi tiga macam :
1. As-Sunnah al-Qouliyyah adalah ucapan-ucapan Nabi SAW yang menunjukkan/menjelasakan terhadap hukum syar’i tertentu.
Misalnya sabda Nabi SAW perihal tata cara shalat “ صلوا كما رأيتمونى أصلى ” yang artinya “shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat (shalatlah seperti shalatku) “ juga sabda beliau perihal adab jual beli “ لا يبيع الرجول على بيع أخيه ” yang artinya “tidak diperkenankan bagi seseorang menjual sesuatu yang sudah dijual kepada orang lain”. Misalnya lagi sabda Nabi SAW perihal warisan “ لا وصية لوارث ” yang artinya “bahwa ahli waris (yang mendapatkan warisan) tidak diperkenankan lagi mendapatkan wasiat”.
2. As-Sunnah al-Fi’liyyah adalah segala perbuatan Nabi SAW yang dengan itu menunjukkan terhadap berlakunya hukum-hukum syar’i.
Misalnya sholatnya Nabi SAW, haji dan puasanya begitu pun saat beliau memotong tangan pencuri di bagian .
3. As-Sunnah al-Taqririyyah adalah ketetapan Nabi SAW dengan diamnya atas apa saja yang terjadi di hadapannya.
Misalnya ketetapan beliau saat sahabat Mu’adz Ibnu Jabal menghukumi sesuatu dengan menggunakan sumpah.
Dapat dipahami dari macam-macam sunnah di atas bahwa apa saja yang bersumber dari Nabi SAW adalah merupakan hujjah sekaligus penjelas suatu hukum. Dari as-Sunnah al-Qouliyyah dan as-Sunnah al-Fi’liyyah kita dapat memahami bahwa sholat yang dikehendaki Tuhan YME sebagai wujud pengabdian hambanya adalah shalat seperti apa yang telah dilakukan oleh Nabi SAW yaitu gerakan-gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam dengan bacaan-bacaan yang tertentu pula. Dari sini saja melalui sunnah Nabi SAW kita sudah mendapat kejelasan maksud Tuhan YME dengan perintahnya untuk mendirikan shalat pada firman-Nya “ أقيموا الصلاة ”, karena makna awal dari shalat adalah doa dan yang diharapakan Tuhan YME bukanlah hanya sekedar doa melainkan seperti apa yang telah dikerjakan oleh Nabi-Nya. Akan muncul pertanyaan perihal as-Sunnah al-Taqririyyah, bagaimana dengan kapasitas as-Sunnah at-Taqririyyah? Apakah ia relevan untuk dijadikan sebuah hujjah? Jawabannya jelas bisa dan relevan karena tidak mungkin Nabi SAW membiarkan sesuatu kemungkaran terjadi dan diam atau lepas tangan dengan kejadian tersebut. Sekali lagi ini tidak mungkin dan sebagai seorang Nabi, ia tidak diperkenankan untuk berdiam diri ongkang-ongkang kaki dari kemungkaran dan kebatilan karena Nabi adalah juri yang membedakan antara yang benar dan yang salah, ia adalah juru selamat, utusan Tuhan YME dan maksum pula sifatnya.
IV. Melahirkan Hukum Baru
Al-Qur’an al-Kariem dengan energiy super-powernya, ia tidak akan pernah musnah ditelan zaman ataupun dikekang tempat sebaliknya ia akan dapat selalu eksis. Berkenaan karena ia adalah kalam ilahiy yang jelas pula kekekalannya. Tersurat dalam firman-Nya pada surat al-Hijr ayat 9 “ إنا نحن نزلنا الذكر و إنا له لحافظون ” yang artinya “ sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya “. Dan dalam tafsirannya mengenai pemeliharaan dan penjagaan langsung dari Tuhan YME adalah bahwa ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Sedangkan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum, banyak Tuhan YME jelaskan dalam ayat-ayat suci-Nya, misalnya pada surat al-An’aam ayat 155 “ و هذا كتاب أنزلناه مبارك فاتبعوه لعلكم ترحمون ” yang artinya “dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat ”, surat as-Syu’araa’ ayat 2 “ تلك أيات الكتاب المبين ” yang artinya “inilah ayat-ayat Al Quran yang menerangkan”, dan lain sebagainya dari ayat-ayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum. Sebagai sumber hukum yang suci yang keeksistensiannya langsung dari Tuhan YME, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dibutuhkan manusia yang juga suci pula untuk menstransfer nilai-nilai hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Karena manusia pada umumnya tidaklah bisa untuk langsung memahami isi serta nilai yang terdapat di dalam al-Qur’an secara keseluruhan. Ini karena lafadz-lafadz di dalam al-Qura’n tidak semuanya bersifat jelas yang dapat langsung dipahami maknanya. Problematika kejelasan lafadz untuk menentukan sebuah hukum dalam al-Qur’an, Ilmu Ushul Fiqh dalam kontribusinya sebagai suatu disiplin ilmu telah memberikan bermacam-macam istilah perihal masalah ini. Termasuk dari istilah-istilah tersebut misalnya adalah Mutlaq, Muqoyyad, ‘Aam, Khosh, Mujmal dan Mubayyan.
Dari urain di atas, penulis akan mencoba memaparkan sedikit penjelasan mengenai istilah-istilah tersebut dengan memberikan definisi sekaligus contohnya dengan menggunakan sunnah sebagai penjelas hukumnya.
1. Al-Mutlaq ( المطلق )
Mutlaq adalah sebuah lafadz yang menunjukkan arti tanpa batas (tanpa ada ikatan-ikatan tertentu). Misalnya firman Tuhan YME pada surat al-Baqarah ayat 185 “ و من كان مريضا او على سفر فعدة من أيام أخر ” yang artinya “dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain ”. Adapun lafadz “ أيام ” adalah termasuk lafadz mutlaq karena ia hanya menunjukkan sebuah hukum untuk mengganti puasa yang ditinggalkan tanpa ada ikatan-ikatan tertentu. Misalnya puasa yang akan diganti tersebut harus secara beruntun/berturut-turut atau tidak. Dari ayat di atas Ulama’ Ushul Fiqh memberikan sebuah teori bahwa jika ada sebuah lafadz mutlaq yang tidak dijumpai lafadz muqayyad atasnya maka lafadz tersebut diamalkan hukumnya berdasarkan kemutlaqakannya. Oleh karena itu, para Fuqoha’ yakni Ulama’ Fiqh berkonsesus bahwasannya boleh mengqadha’ atau mengganti puasa yang ditinggalkan pada hari apa saja baik secara beruntun yakni berturut-turut maupun tidak.
2. Al-Muqoyyad ( المقيّد )
Muqoyyad adalah lafadz yang menunjukkan arti tertentu (ada batas-batas/ikatan-ikatan tertentu). Lafadz muqayyad di sini berfungsi untuk memberikan batasan-batasan tertentu terhadap lafadz mutlaq yang tanpa batas seperti yang telah disebutkan di atas. Maka dari itu, Ulama’ Ushul Fiqh mempersembahkan teori lain bahwasannya jika terdapat sebuah lafadz mutlaq dan dijumpai di sana lafadz yang memuqoyyadkannya maka yang diamalkan adalah lafadz muqoyyad dengan tidak menafikan kemutlaqkannya. Misalnya dari lafadz mutlaq seperti contoh di atas terdapat lafadz muqayyad yang memberi ikatan terhadap kemutlaqkannya yaitu sunnah nabi yang menjelaskan hukum haram berpuasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudariy RA “ أن رسول الله عليه الصلاة و السلام نهي عن صوم يومين يوم عيد الفطر و يوم النحر ” bahwasannya Rosulullulloh SAW melarang berpuasa di dua hari yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha. Sunnah nabi yang lain yang mengikat kemutlaqkan lafadz “ أيام ” di atas adalah sabdanya tentang larangan berpuasa di hari Tasyriq yakni hari ke - 11, 12 dan 13 dari bulan Dzulhijah. Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwasannya Nabi SAW bersabda “ أيام التشريق أيام أكل و شرب و ذكر لله تعالى ” bahwasannya hari Tasyriq adalah hari untuk makan dan minum juga untuk berdzikir kepada Allah SWT. Begitu halnya sunah nabi yang menghukumi larangan berpuasa atas wanita yang haid atau sedang dalam keadaan nifas.
Dari urain di atas dapat kita pahami bahwa sunah nabi mengikat dan memberikan batasan-batasan tertentu terhadap lafadz ayyaam yang mutlaq di atas. Jadi, hukum yang bisa diekspose ke permukaan adalah bahwasannya wajib mengqadha’/mengganti puasa yang ditinggalkan di hari apa saja baik secara beruntun/berturut-turut maupun tidak/terpisah kecuali pada hari-hari yang diharamkan melakukan ibadah puasa yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari Tasyriq pun oleh wanita yang sedang dalam keadaan nifas atau haid.
3. Al-‘Aam ( العام )
Lafadz ‘Aam adalah lafadz yang menunjukkan arti umum. Contoh kongkritnya Firman Tuhan YME dalam kitab sucinya pada surat Ali Imran ayat 185 “ كل نفس ذائقة الموت ” yang artinya “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati “. Adapaun lafadz “كل نفس ” pada ayat tersebut adalah bersifat umum jadi hukum yang bisa dicuatkan adalah bahwa setiap makhluk yang memiliki nyawa pasti akan merasakan kematian tanpa terkecuali. Contoh lain yang berkenaan dengan lafadz ‘aam, misalnya Firman Allah SWT pada surat al-A’raaf ayat 158 “ قل يأيّها الناس إنّى رسو ل الله إليكم جميعا ” yang artinya “Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua ”. Dari ayat ini bisa diambil hukum bahwa pengutusan Nabi Muhammad SAW adalah bersifat umum yakni untuk semua umat manusia.
4. Al-Khosh ( الخاص )
Lafadz Khosh adalah lafadz yang langsung menunjukkan arti tertentu. Misalnya Firman Allah SWT pada surat al-‘Ashr ayat 2-3 “ إنّ الإنسان لفى خسر [2] إلاّ الّذين ءامنوا و عملوا الصالحات و تواصوا بالحق و تواصوا بالصبر [3] ” yang artinya “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati ”, dari ayat suci Tuhan YME di atas dapat kita pahami bahwa pengklaiman sifat rugi di akhirat kelak hanya dikhususkan untuk mereka yang tidak beriman. Contoh yang lain, misalnya Firman Tuhan YME pada surat an-Nisa’ ayat 11 “ للذّكر مثل حظّ الأنثيين ” yang artinya “bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan ”. Sedang dari ayat ini dapat kita ambil hukum bahwa Alllah SWT telah mensyariatkan kekhususan dalam pembagian hak waris untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagiannya untuk dua anak perempuan.
Contoh lain yang melibatkan sunnah nabi untuk menentukan sebuah hukum, misalnya lafadz umum dalam al-Qur’an pada surat al-Maidah ayat 3 “ حرّمت عليكم الميتة ” yang artinya “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai “ pemberlakuan hukum haram dari mafhum ayat di atas adalah bersifat umum yakni bahwa semua bangkai hukumnya haram untuk dimakan. Kemudian datanglah sunnah nabi yang memberi pengkhususan terhadap hukum tersebut, nabi bersabda “ أحلت لنا ميتتان السمك و الجراد ” yang artinya “ dihalalkan bagi kita (memakan) dua bangkai yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang”. Pada problema kali ini, lagi Ulama Ushul Fiqh mengeluarkan sebuah teori implementasi hukum yaitu pabila lafadz ‘aam disertai lafadz khos (yang memberikan pengkhususan baginya) maka hukum yang diamalkan adalah pemberlakuan lafadz khos. Jadi, dari ayat dan sunnah di atas kita dapat memberlakukan sebuah hukum yakni bahwa semua bangkai haram hukumnya untuk dikonsumsi kecuali bangkai ikan dan bangaki belalang.
Untuk lebih meyakinkan bahwa sunnah nabi berperan penting dalam menentukan sebuah hukum pun fungsinya sebagai interpresator hukum-hukum dalam al-Qur’an, maka penulis akan mencoba memberikan contoh lain mengenai masalah ‘aam dan khosh.
Misalnya lafadz ‘aam pada surat an-Nisa’ ayat 11 “يوصيكم الله فى أولادكم ” yang artinya “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu ”, dapat kita pahami dari ayat ini bahwa Allah SWT telah mensyariatkan hukum waris untuk semua anak-anak tanpa terkecuali baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Kemudian hadirlah sunnah nabi yang memberikan hukum khusus terhadap makna umum pada ayat di atas, nabi bersabda “ ليس للقاتل شئ من الميراث ” yang artinya bahwa seorang pembunuh tidaklah berhak untuk mendapatkan harta warisan baik pembunuh tersebut laki-laki ataupun perempuan. Jadi, dari ayat mulia Tuhan YME dan sunnah suci nabi SAW di atas terdapat relasi hukum yang akhirnya membidani lahirnya sebuah hukum yakni bahwa semua anak-anak berhak mendapatkan warisan baik laki-laki maupun perempuan kecuali pembunuh, maka seoarang pembunuh tidaklah berhak dan haram hukumnya menerima harta warisan baik si pembunuh tadi laki-laki ataupun perempuan.
5. Al-Mujmal ( المجمل )
Mujmal adalah lafadz yang mengandung banyak ambiguitas dalam maknanya. Misalnya firman Allah SWT pada surat al-An’am ayat 141 “ وءاتوا حقه يوم حصاده ”yang artinya “tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ” ini adalah dalil wajib zakat untuk hasil tanaman yang mana harus ditunaikan kewajibannya pada saat masa panennya tiba. Pada lafadz hak (takaran wajib zakat) untuk hasil tanaman di atas mengandung banyak ambigu dalam maknanya mengenai takaran yang harus dikeluarkan, misalnya sepersepuluhkah, seperempatkah, seperdelapankah atau malah setengah. Kejelasan makna dan penentuan takarannya akan dijelaskan pada masalah mubayyan yang akan datang.
Contoh lain perihal mujmal adalah firman Allah SWT pada surat al-Baqarah ayat 43 yang mewajibkan hukum shalat “ وأقيموا الصلاة ” yang artinya “ dan dirikanlah shalat ” lafadz shalat dari ayat di atas masih ambigu dan belum jelas karena lafadz tersebut memiliki arti lain yang diingankan oleh Syari’ (sang pembuat hukum) dan hanya dapat dijelaskan serta dipahami melalui sunnah nabi. Contoh yang lainnya adalah firman Allah SWT pada surat al-Baqarah ayat 183-184 “ ياأيها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون (183) أيّاما معدودات...(184) ” yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu”. Pada kalimat أيّاما معدودات )ayyaaman ma’duwdaat( masih terjadi keambiguan makna mengenai hari-hari tersebut, apakah ia setiap hari, atau setiap bulan (karena terdiri dari hari-hari) sekali atau dua kali, atau hanya pada bulan Sya’ban, atau bulan Syawal atau bulan Ramadhan atau malah pada bulan Muharram. Semuanya ini masih bisa menerima kemungkinan-kemungkinan untuk diberlakukan hukum wajib puasa di dalamnya.
Oleh karena itu, semua contoh-contoh di atas masih membutuhkan perincian eksplanasi yang bisa memastikan sebuah hukum tertentu untuk kemudian dapat diimplementasikan oleh ehna khoiru ummah. Sedangkan untuk mengeliminasi keambiguan-keambiguan seperti contoh-contoh di atas, lagi-lagi Ulama’ Ushul Fiqh yang disebut juga Ushuliyyun, memberikan kaidah tantangan terhadap mujmal yaitu mubayyan.
6. Al-Mubayyan ( المبيّن )
Al-Mubayyan adalah lafadz yang berfungsi menjelaskan dan menerangkan lafadz yang mujmal. Untuk memberikan contoh kongkritnya, kita ambil sunnah-sunnah nabi sebagai penjelasan sekaligus penentu hukum yang dimaksud oleh Allah SWT pada lafadz-lafadz mujmal di atas. Misalnya Firman Allah SWT yang menyebutkan hukum wajib zakat mengenai hasil tanaman saat hari panennya tiba pada surat al-An’am ayat 141 seperti yang telah disebutkan di atas yang artinya tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (panen). Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa takaran wajib yang harus dizakati di sini masih memiliki maksud multi ambigu. Nabi SAW sebagai utusan Allah SWT dan penyebar ajaran-Nya maka sudah selayaknyalah ia memberikan keterangan sekaligus menentukan perihal kadar wajib zakat pada ayat ini. Beliau bersabda “ jika sebuah tanaman diairi saat dalam masa pemeliharaannya dengan air hujan maka sepersepuluhlah dari hasil tanaman tersebut yang wajib dikeluarkan zakatnya tapi jika ia (tanaman) selama masa pemeliharaannya menggunakan biaya maka setengah dari seperpuluhah kadar zakat yang wajib dikeluarkan”. Dari sunnah nabi ini, keambiguan makna dalam lafadz حقه di atas telah sirna. Kita akhirnya bisa mengetahui sebuah hukum secara pasti yang diinginkan oleh sang pembuat hukum yaitu Allah SWT. Jadi, sunnah nabi sangatlah berperan penting untuk menjelaskan dan menentukan hukum-hukum yang bersifat secara kasat mata/tersurat (tekstualitas) tidak jelas dan dengan sunnahnya pula kita sebagai manusia yang biasa-biasa saja akhirnya bisa mengetahui makna yang tersirat (kontekstualitas) dalam teks-teks al-Qur’an.
Kepastian hukum wajib perihal mendirikan shalat pada contoh surat al-Baqarah ayat 43 masih menyisakan keburaman mengenai pendirian shalat itu sendiri. Karena makna shalat secara harfiyyah adalah do’a. Tapi apakah do’a tersebut yang diinginkan oleh Syaari’ (sang pembuat hukum) ataukah ada maksud lain dari makna shalat tersebut. Lagi-lagi Nabi SAW dengan sunnah sucinya memastikan makna yang dimaksud oleh Syaari’ pun menjelaskan tata caranya melalui qaulnya “ صلوا كما رأيتموني أصلى ” yang artinya shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. Dengan makna simpelnya shalatlah seperti shalatku. Maka dari sunnah nabi kepastian hukum wajib pendirian shalat bukanlah hanya berdo’a saja melainkan melakukan gerakan-gerakan yang dimulai dari takbirotul ikram dan diakhiri dengan salam dengan bacaan-bacaan tertentu di dalamnya. Oleh karena itu, sekte yang hanya menerima al-Qur’an tapi tidak meyakini kebenaran al-Sunnah maka ia akan mengatakan bahwa mendirikan shalat cukuplah dengan hanya berdo’a saja. Padahal seperti dijelaskan di atas bahwa maksud/tujuan pewajiban hukum shalat bukanlah hanya sekedar do’a. Dalam hal menentukan hukum mereka akan selalu picik karena sebagaimana dalam penjelasan-penjelasan yang telah lalu bahwa fungsi al-Sunnah adalah sebagai penjelas sekaligus penyingkap tabir hukum. Perihal contoh yang semisal ini sama juga dengan hukum wajib dalam menunaikan ibadah haji bagi yang mampu “ و لله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ”. Serangkaian ibadah haji yang dilakukan oleh umat muslim saat ini adalah merupakan sumbangsih sunnah nabi SAW dalam menginterpretasikan kata haji pada ayat tersebut. Nabi SAW telah bersabda “ خذوا عنّي مناسككم ” yang artinya ambillah –contoh- dariku sebagai ibadah (haji) kalian.
Tiga contoh di atas telah membicarakan fungsi sunnah sekaligus peranannya dalam menjelaskan sebuah hukum. Jika pada contoh-contoh di atas menggunakan sunnah untuk memperjelas sebuah hukum maka saat ini -sebagai pelengkap- penulis ingin sedikit memberikan contoh tambahan perihal ayat al-Qur’an yang mujmal dengan menggunakan ayat al-Qur’an pula sebagai penjelasnya.
Pada surat al-Baqarah ayat 183-184 –sebagaimana yang telah disebutkan di atas mengenai contoh mujmal– Allah SWT mewajibkan kepada umat islam untuk melakukan ibadah puasa pada hari-hari yang telah ditentukan. Jikalau kita berhenti memahami dan merasa cukup dengan ayat di atas, maka kita akan selalu tetap bingung dan tidak akan pernah bisa keluar dari jurang ketidakpastian tersebut. Oleh sebab itu, dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah SWT menjelaskan secara langsung waktu wajib puasa –sebagai pengentas ketidakpastian pada hari-hari yang telah ditentukan– pada ayat setelahnya yang berbunyi “ شهر رمضان ” yang artinya (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan. Maka jelaslah sudah bagi kita kalau hari-hari yang ditentukan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah pada bulan Ramadhan. Dengan demikian waktu wajib puasa yang harus dilakukan oleh umat islam -sebagaimana adalah pada bulan Ramadhan.
V. Epilog
Al-Qur’an merupakan kitab suci Tuhan YME yang diturunkan secara berkala kepada nabiNya yang juga suci. Ini semata-mata karena ia adalah utusan Tuhan YME yang terakhir yang mempunyai tugas multidimensi, kolektif dan universal. Dimulai dari lahan dakwah yang hanya berkutat di sekitar tempat hidupnya dulu sampai sekarangpun ajarannya masih eksis, otentik dan relevan seiring perubahan zaman, kebudayaan dan peradaban manusia. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa ajaran yang beliau bawa adalah benar. Karena semakin jauh dari masa wafatnya beliau justru semakin bertambah banyak yang memeluk ajarannya yaitu al-diyn al-haq huwa al-islam. Ini membuktikan bahwa sejarah yang telah beliau ukir dalam ajarannya bisa masuk ke dalam semua lapisan kehidupan manusia dan tak terbatas oleh ruang dan waktu.
Berangkat dari diservikasi sunnah-sunnah nabi SAW, Ulama’ Ushul Fiqh berhasil membuat sebuah teori handal yang bisa menjembatani manusia untuk bisa sampai memahami bahasa suci Tuhan YME dalam menghukumi sesuatu dengan hukum Tuhan YME pula. Seperti yang telah penulis coba jelaskan di atas, maka dapat kita sandingkan bahwa al-Muthlaq dengan al-Muqayyad sebagai pembatasnya, al-‘Aam dengan al-Khosh sebagai pengkhususnya dan al-Mujmal dengan al-Mubayyan sebagi penjelasnya.
Dari urain di atas dapat kita simpulkan bahwa sunnah nabi SAW mempunyai fungi dan peran yang sangat signifikan dalam hal memahami sekaligus membidani lahirnya sebuah hukum. Jelas hukum yang dimaksud adalah hukum-hukum Tuhan YME yang bersumber dari al-Qur’an yang mulia. Telah kita ketahui bersama bahwa bahasa al-Qur’an tidak semuanya langsung serta-merta membeberkan hukum satu persatu melainkan ada beberapa ayat yang menggunakan bahasa yang singkat namun lugas dan memiliki arti bak lautan makna. Oleh karena itu, kita sebagai manusia biasa pada awalnya tidak akan pernah mampu menyelami dalamnya bahasa al-Qur’an jikalau tanpa nabi SAW sebagai nahkodanya.
Semoga semua ras manusia di muka bumi ini bisa menemukan kebenaran hakiki dalam agama ini. Sebuah agama yang merefleksikan hukum Tuhan yang bijak, merealisasikan jalan kebenaran dan mengkalaborasikan dua dimensi kehidupan yang bertujuan kemaslahatan umat dan keselamatan akhirat.