
Kesalehan dan Kesadaran dalam Diskursus Maqâshid Al-Syarî’ah; Sebuah Peleburan Teori dan Realitas
Reportase Kajian Al-Mizan Study Club
Sabtu, 23 April 2011
Gami’, Al-Hay Al-‘Asyir, Nasr City, Cairo, Egypt
“Secara teoritis, akumulasi realitas kehidupan yang terjadi dapat melahirkan berbagai macam bangunan disiplin ilmu pengetahuan, rovolusi pergerakan sosial dan lain sebagainya. Berangkat dari teori ini, kita bisa melacak eksistensi awal/embrio maqâshid al-syarî’ah dari aspek akulturasi sosio-politik dan ilmu pengetahuan dengan menampilkan data-fakta sejarah. Maka, jelas metodologi kajian yang dipakai –untuk mengetahui benih-benih ilmu maqâshid al-syarî’ah berikut perkembangannya nanti- adalah kajian yang bersifat sosio-histroris. Dengan demikian, sebuah entitas ilmu berkaitan erat dengan fenomena-fenomena kesejarahan, sehingga keduanya bisa diposisikan bak mata uang yang tidak bisa dipisahkan, dan justru saling melengkapi”. Papar rekanita Syifa Fauziah Makmun -pemakalah kita pada kesempatan kali ini- yang mempresentasikan buah karya tangannya dengan wajah yang ceria, mungkin karena cuacanya pun bersahabat, tidak panas dan tidak dingin.
I
Meskipun beberapa Mizanis tidak dapat hadir dikarenakan bebarapa alasan, dan yang hadirpun masih diselimuti dengan kondisi yang kurang fit (akeh seng awak’e lagi nggeregesi), kajian kali ini tetap seru dan menarik. Tepat pukul 14:45 waktu Kairo, semua rekan-rekanita Mizanis berkonsentrasi penuh dengan sesekali membuat banyolan ala ciri khasnya masing-masing. Kajian kali inipun melebarkan sayapnya untuk terus berlayar sampai akhirnya nanti.
Sebelum lebih jauh masuk ke dalam tataran isi makalah, rekanita Syifa -yang akrab dipanggil oleh sobat-sobat ceweknya dengan Ciplung- merasa perlu untuk memberikan alasan latar belakang tema yang ia kaji. Menurutnya, bahasan kali ini sangat istimewa karena maqâshid al-syarî’ah tidak hanya dikaji oleh kalangan intelektual muslim saja, tetapi juga memikat hati para ilmuwan Barat, khuhsusnya Sejarawan. Karena memang maqâshid al-syarî’ah merupakan nilai-nilai esensial dari ajaran Islam. Namun sayangnya mereka tidak menempatkan maqâshid al-syarî’ah pada wadah yang semestinya. Kecurigaan ini muncul karena -mungkin saja- mereka para pengkaji itu masih terikat dengan dimensi ideoliginya. Setelah membeberkan salah satu faktor yang melatarbelakangi tema yang ia angkat, rekanita Syifa juga mengekspose struktur rancang bangun makalahnya; pertama, titik mula kemunculan ilmu maqâshid. Untuk memudahkan analisa, ia membagi ke dalam dua faktor, eskternal dan internal. Kedua, maqâshid al-syarî’ah; proses identifikasi. Dan terakhir, telisik perkembangan ilmu maqâshid. Setelah meneguk secangkir air putih, rekanita Syifa melanjutkan presentasinya.
Pada era kenabian, otoritas politik dan otoritas ilmu pengetahuan berbaur menjadi satu, dimana nabi Muhammad Saw. selaian sebagai nabi yang mengatur urusan umatnya berdasarkan hukum agama, juga sebagai pemimpin yang mengatur rakyatnya dengan tidak memarginalkan aturan main undang-undang pribumi. Rasulullah Saw. menjadi tolak ukur dari berbagai problematika yang ada, baik dari aspek keduniawian maupun aspek keagamaan. Demikian pula pada era khulafa al-râsyidîn, sebuah sistem pemerintahan yang memiliki karakter hampir sama dengan masa sebelumnya, kenabian.
Seiring bergulirnya waktu, tampuk pemerintahan seakan diperebutkan dan lucunya area kekuasaannya tidak lagi membawa nama Islam an sich tetapi justru terlihat rasis, terbukti dengan lahirnya Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Maka tidak heran jika pada tatanan selanjutnya, politik dianggap sebagai area paling urgen untuk bisa bertahan hidup sekaligus mengembangkan paham ideologi madzhabnya. Misal, pada masa Bani Umayyah, penguasa cenderung sekehendak hati menggunakan ayat-ayat Tuhan demi membela kekuasaan/kepentingan sektenya. Seperti yang dilakukan Muawiyah yang menggunakan paham Jabbariyah dalam memerangi kaum muslimin, tepatnya pada peristiwa tahkîm dengan alasan bahwa pembunuhan itu atas kehendak Tuhan. Maka pada babakan selanjutnya, periode ini dikenal dengan ‘masa pemerintahan penguasa lalim’ (‘ahdu al-mulûk ‘udhûdh).
Sementara pada era kekuasaan Bani Abbasiyah, lahir sistem otoritas politik lain yakni kesultanan. Sebuah masa yang gencar menanamkan doktrin kepatuhan mutlak terhadap penguasa, juga sistem kuasa politik tangan Tuhan yang pada akhirnya membidani lahirnya dogma baru bahwa taat, patuh dan tunduk kepada penguasa adalah sama halnya taat, patuh dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, sang Sultan seakan diposisikan sebagai wakil Tuhan di muka Bumi dan berhak untuk memutuskan apa saja di segala bidang. Faktor-faktor inilah yang melatarbelakangi terjadinya perpecahan otoritas pada tatanan kehidupan sosial, otoritas politik (al-sulthah al-siyâsiyah) dan otoritas ilmu pengetahuan (al-sulthah al-ma’rifiyyah). Dimana dalam dimensi otoritas politik digandrungi oleh negarawan yang mendklarasikan bahwa mereka adalah makhluk politik (rijâl al-siyâsah), sementara pada wilayah lainnya diisi oleh agamawan (para ulama’) yang memang ingin melepaskan diri sekaligus mencabut entitas ilmu pengetahuan dari ranah perpolitikan. Independensi ilmu adalah asa konkrit mereka (rijâl al-ma’rifah).
Perbedaan dimensi otoritas politik dan ilmu pengetahuan akhirnya memasuki babak baru, yaitu perekrutan anggota dan kepercayaan dari masyarakat. Berbeda jika pada awalnya otoritas politik diagung-agungkan, kini justru terlihat melempem. Masyarakat lebih memberikan suaranya kepada para agamawan yang masih senantiasa menemani sekaligus membimbing perihal ilmu dan kondisi masyrakat. Sebagai pemegang kekuasaan nomor wahid –dari segi birokrasi-, akhirnya sultan dengan otoritas politiknya ingin menundukkan otoritas ilmu pengetahuan dengan membentuk lembaga ‘penggali hukum’ baru sebagai tandingan dari para agamawan tersebut, lembaga ini lalu disebut faqîh al-sulthân (para agamawan baru yang berpihak pada kuasa sultan). Dengan demikian, mereka para faqîh al-sulthân bekerja untuk membuat sistem undang-undang baru yang juga berlandaskan syari’ah, hanya saja kali ini tujuannya adalah untuk membenarkan semua laku dan tindak-tanduk sang sultan. Dan dengan tendensi otoritas politik kesultanan, para faqîh al-sulthân sangat leluasa untuk melayangkan kritk kepada rijâl al-ma’rifah.
Semakin berkecamuknya kondisi sosio-politik pada masa Bani Abbasiyah, Tuhan seakan tak rela jika ayat-ayat agama diperjual-belikan atas dasar kepentingan, maka muncullah sesosok Imam syafi’i yang datang dengan membawa ‘bendara baru’ pemahaman atas semua fenomena yang sedang berlangsung. Imam Syafi’i sadar benar bahwa otoritas politik lebih sering bermain ‘curang’, sehingga dengan nuansa kesadaran terberi, ia mencoba merekonseptualisasikan permainan-permaian hukum yang ada. Konsep al-bayân al-khamsah yang tertuang dalam karya masterpiece-nya, Al-Risalah memprioritaskan problematika seputar ketaatan, perintah dan larangan. Dengan demikian bahwa ketaatan hanya diperuntukan bagi siapa saja dan golongan apa saja, baik ia berada pada otoritas politik atau ilmu pengetahuan dengan syarat tidak ada perilaku maksiat kepada Tuhan dan ayat-ayat-Nya (lâ thâ’ata li makhlûq fî ma’siyat al-khâliq). Pada masa Syafi’i inilah, syari’at bak menemukan kembali identitas aslinya.
Melewati babakan waktu selanjutnya yakni pada abad 4 H., lagi-lagi syari’at di-anak tiri-kan. Ini terjadi pada masa dimana Islam mengalami stagnasi di segala bidang kehidupan, tepatnya setelah agresi besar-besaran oleh pasukan kerajaan Mongol. Tak hanya terjadi perpindahan kekuasaan, tetapi juga pemindahan loyalitas. Banyak dari umat Islam yang mulai kelihatan linglung perihal kondisi pribadinya juga aturan main agamanya. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan –khususnya syari’at- semakin jauh dari realitas kehidupan. Faktor inilah yang mendongkrak semangat agawaman untuk mencoba meramu teori-tori baru dengan konsep yang baru pula. Adalah Imam Juwaini yang tampil sebagai sosok awal untuk memberikan jawaban pasti atas identitas syari’at, embrio maqâshid al-syari’ah pada babakan ini mulai terlihat eksistensinya yang tertuang dalam karyanya, Ghiyats Al-Umam.
Sebelum masuk ke dalam pembahasan sub-tema maqâshid al-syarî’ah; proses identifikasi, rekanita Syifa dengan senyum khasnya itu mencoba flashback untuk mencari akar-akar ontologi bahasa (kata) maqâshid itu sendiri. Rekanita Syifa menjadikan ekspedisi terma ini masuk ke dalam faktor internal definitif. Pada periode awal Islam, kata maqâshid belum nampak dalam bentuk utuh eksistensinya, namun ulama’ kala itu menggunakan kata-kata lain yang artinya –sebenarnya- bisa mewakili dari kata maqâshid; pertama, karena belum ditemukan kata maqâshid pada era-era sebelumnya, sehingga lebih banyak menggunakan istilah lain, seperti hikmah, ‘ilal dan sebagainya. Kedua, asumsi kata-kata tersebut sejatinya merupakan istilah penjelas dari terma maqâshid. Sebab untuk mengungkapkan satu terma besar tidak cukup diwakilkan dengan menggunakan satu kata saja.
Selanjutnya adalah faktor internal metodologis. Untuk menyibak tabir analisanya, rekanita Syifa mencoba menelusuri jejak sejarah untuk kemudian dijadikan sebagai titik tolak perangkat pemahaman. Pada masa Rasulullah Saw. ilmu maqâshid belum terbentuk menjadi disiplin ilmu independen yang utuh, akan tetapi benih-benih diskursus ini sudah menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Arab. Sama halnya dengan periode al-khulafâ al-râsyidîn, tak ayal jika para sahabat dijuluki sebagai awwal al-fuqahâ, awwal al-mufassirîn, awwal al-ushûliyîn dan awwal al-maqâshidîn. Ini dikarenakan pemahaman ala sahabat adalah bentuk representasi paling komprehensif dari Rasulullah Saw. Sebagai bukti pembenaran atas perspektifnya, rekanita Syifa meminjam qoul Raisuni yang menyatakan bahwa para sahabat mengetahui entitas maqâshid al-syarî’ah dan sejatinya mereka telah memakainya, menyusun kaidah-kaidahnya dan meletakkan dasar-dasar pemahamannya. Pemikiran mereka beredar dalam orbit petanda-petanda maqâshid dan berupaya untuk bisa merealisasikan prinsip-prinsip dan tujuan hukum.
Bukti-bukti sejarah yang bisa mengindikasikan atas hasil olah pikir di atas adalah suksesnya kodofikasi kitab Al-Qur’an, dalil al-qiyâs (logika analogi) dan terkahir adalah konsep maslahah al-mursalah. Semua potret fenomena abad pertama hingga ke-3 ini masih hanya sebatas embrio-embrio yang pada akahirnya nanti berkembang menjadi ilmu maqâshid al-syarî’ah. Pada abad ke-4 H., para ulama sudah mulai memperhatikan ilmu maqâshid secara jelas dan termanifestasikan dalam buah karya tulisan yang ada kala itu. Sebagian mereka yang menggunakan istilah maqâshid al-syarî’ah adalah Imam Hakim Tirmidzi dalam bukunya al-shalâh wa maqâshiduhâ dan kitâb al-‘ilal, Abu Babawaih Qamhi dengan karnyanya ‘ilal al-syarâ’i dan Abu Bakar Syasyi dengan karyanya mahâsin al-syarî’ah. Pada abad ke-5 perhatian terhadap maqâshid mengalami pergeseran bahasan yang sebelumnya bersifat analisa menjadi ta’shîl (peletakan dasar) yang pada akhirnya membidani lahirnya konsep-konsep teori maqâshid secara umum, misal al-dharûriyât al-khomsah dan lain sebagainya. Ulama’ yang tampil pada periode ini adalah Imam Haramain, Al-Ghazali dan Izzudin Bin Abdussalam yang tampil sebagai sesosok tokoh pada abad ke-7 H. Dan pada abad ke-8 H., ilmu maqâshid al-syarî’ah mengalami kematangan baik secara keilmuan an sich maupun epistemologi pemahamannya. Cendikiawan yang berhasil mengkonsep sekaligus merapikan struktur bangunan ilmu maqâshid al-syarî’ah tersebut adalah Imam Syatibi yang terekam dari karya magnum-opusnya, Al-Muwafaqat.
Proses identifikasi syari’at selanjutnya masuk ke dalam metodologi bagaimana memahami teks-teks suci agama secara langsung. Meminjam klasifikasi Raisuni, rekanita Syifa menyatakan bahwa terma maqâshid al-syarî’ah yang bermuara pada teks bisa diapahami dengan: (1) Maqâshid al-kalâm atau maqâshid al-khithâb adalah area pemahaman yang berkutat pada maksud dan orientasi dari kalam Tuhan. (2) Maqâshid al-ahkâm adalah wilayah pemahaman seputar hikmah dan rahasi-rahasia Tuhan atas hukum-hukum/aturan main agama-Nya.
Seiring berputarnya waktu dan berkembangnya zaman, pola pemikiran manusia pun berwarna-warni, maka tidak heran jika istilag maqâshid al-syarî’ah mulai bervariasi. Yang sebelumnya diskursus ini banyak dikenal dengan nama fiqh al-fiqh, fiqh al-dîn, fiqh al-hayy dan asrâr al-syarî’ah, maka pada episode selanjutnya lahir istilah baru dengan nama falsafah al-tasyrî’.
Dalam sub-tema terkahirnya, telisik perkembangan ilmu maqâshid, rekanita Syifa lebih merincikan pada tataran konsep maqâshid al-syarî’ah berdasarkan kaidah-kaidah yang lahir dari konsep tersebut. Imam Juwaini sebagai ulama pertama dalam kategori al-aimmah al-arba’ah fî maqâshid al-syarî’ah telah melakukan konsolidasi dan pengamatan terhadap diskursus maqâshid al-syarî’ah yang bersifat universal. Oleh mayoritas, istilah maqâshid lebih dikenal sebagai buah hasil tanam pemikiran Imam Juawaini. Salah satu istilah yang digunakan oleh Imam Juwaini untuk menunjukkan makna golbal maqâshid al-syarî’ah adalah al-aghradh al-daf’iyyah wa al-naf’iyyah (esensi kewaspadaan dan kebermanfaatan). Pernyataan ini berfungsi sebagai ‘ibu’ yang pada akhirnya melahirkan kaidah-kaidah baru fikih, jalbu al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid yang berkembang menjadi kaidah dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih (menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada memancing kemaslahatan).
Selain dari pada itu, ia juga berhasil mensistematisasikan konsep kebutuhan manusia yang berangkat dari entitas maqâshid al-syarî’ah menjadi 3 konsep; kebutuhan primer (al-dharûriyât), kebutuhan sekunder (al-hâjiyât) dan terkahir kebutuhan tersier (al-tahsîniyât). Namun dari ketiga konsepnya itu, Imam Juwaini lebih menitik beratkan pada konsep kebutuhan sekunder (al-hâjiyât). Karena menurutnya kebutuhan sekunder inilah yang menempati posisi sentral dalam berbagai problematika fikih di masa yang akan datang. Sehingga dari konsep kebutuhan sekunder (al-hâjiyât) ini, ia berhasil menelurkan satu kaidah baru yaitu al-hâjah al-‘âmah tanzil mazilat al-dharûrah al-khâsah (kebutuhan sekunder universal menempati posisi setara dengan kebutuhan primer partikular).
Selanjutnya adalah Izzuddin Bin Abdussalam dengan karyanya qawâ’id al-ahkâm fî mashâlih al-anâm yang tampil sebagai penjelas antara konsep al-maslahah dan al-mafsadah. Karena baginya, dua konsep tersebut harus diposisikan sesuai dengan standar sebab-akibat yang disertai dengan pandangan dan pemahaman yang memadai. Meskipun bentuk dasar pemikiran yang ia bangun lebih cenderung teosentris dan bukan antroposentris.
Sebagai ulama’ yang terkahir, Imam Syatibi jelas lebih detail dan komprehensif ketika membincang terma maqâshid al-syarî’ah. Berangkat dari perjalanan ilmu maqâshid al-syarî’ah itu sendiri, Imam Syatibi mempelajari sekaligus menyempurnakan konsep-konsep para pendahulunya. Sebagai sebuah kesadaran dan kesalehan terberi, ia membuktikan bahwa peduli akan nilai-niali agama yang berorintasikan kemanusiaan adalah merupakan rahmat dari Tuhan. Sehingga dalam karyanya, Al-Muwafaqat, ia banyak membahas tentang maqâshid al-syarî’ah yang berlandaskan atas dasar teori ilmu ushul fikih yang pada eksistensinya adalah sebuah ilmu teori awal fikih yang pada babak selanjutnya nanti direalisasikan pada tatanan kehidupan umat. Keistimewaan eksistensinya bisa dilihat dari; pertama, ia adalah orang yang pertama kali membahas tentang terma maqâshid al-makallafîn yang pada selanjutnya ia letakkan pada satu bab khusus dalan Al-Muwafaqatnya. Kedua, ia adalah orang yang pertama kali membahas tentang thuruq ma’rifah al-maqâshid (metodologi/kiat-kiat memahami maqâshid). Keitga, ia juga yang berpandangan bahwa pemahaman terhadap maqâshid al-syarî’ah menjadi salah satu orientasi konkrit sebuah ijtihad.
Sekedar kembali mengingatkan para pembaca (rekan-rekanita Mizanis saat itu), pada bagian epilog rekanita Syifa mencoba untuk lebih mensistematiskan atas bahasan-bahasan sebelumnya. Karena menurutnya, epilog bukanlah sekedar ucapan terimaksih belaka. Berangkat dari data-fakta sejarah, akhirnya ilmu maqâshid al-syarî’ah ditangan para pemikir klasik bisa lahir dengan selamat dan tidak prematur pada tataran teori dan aplikasinya.
Nah, sekarang bagaimanakah kelanjutan eksistensi ilmu maqâshid al-syarî’ah ini di tangan kita ke depannya nanti? Mampukah ia di tangan kita untuk selalu bisa menjawab problematika umat yang selalu baru? Jika iya, mungkinkah kita melakukan rekonstruksi terhadapnya? Kita lihat saja nanti…!
II
Sudah menjadi tradisi Mizan, sesaat setelah pemakalah membeberkan isi makalahnya, maka sesi selanjutnya adalah kritik editing. Melanjutkan undang-undang yang mengatur mengenai keefektifan waktu seperti yang telah disepakati dan jika pada dua kajian sebelumnya hanya diberikan waktu 7 menit per-orang, maka rekan-rekanita Mizanis kali ini –karena ada beberapa rekan-rekanita Mizanis yang tidak hadir- mendapat waktu 10 menit untuk melayangkan kritiknya masing-masing menyangkut tata cara dan struktur isi makalah.
Kesempatan pertama saya berikan kepada rekan Rouf. Rekan kita dengan gaya simplenya ini memberikan apresiasi terlebih dahulu sebelumnya. Menurutnya, rekanita Syifa layak untuk mendapatkan apresiasi yang seharusnya karena bisa menyelesaikan makalahnya tepat waktu dengan jumlah sebanyak 13 halaman. Kritikan yang ia lempar kepada pemakalah adalah seputar kop Mizan, judul besar dan tata cara penulisan huruf besar (kapital) dan kecil. Selanjutnya rekan Andi (Bapak Pimpinan Tertinggi) yang menyoroti gaya tulisan, memberikan masukan mengenai induk dan anak kalimat dan tanda baca yang dipakai dalam badan makalah. Rekan Lutfi yang mendapat giliran ketiga untuk menyampaikan uneg-unegnya melayangkan beberapa pertanyaan kepada pemakalah. Karena menurutunya ada beberapa ide yang tidak sesui dengan pemahamannya. Misal, eksistensi Nabi sebagai khalifah serta memunculkan logika terbalik pada beberapa isi makalah dengan berperangkat pemahaman mafhûm mukhâlafah. Dilanjutkan oleh rekan Izzah, menurutnya pada tubuh makalah terlalu banyak pengulangan kata (repetitit), dan kurang menantang pembaca karena masih minim dalam hal penggunanan istilah kata-kata ilmiah.
Kesempatan selanjtunya adalah rekan Syafi’. Sebelum melayangkan kritik, ia menyebutkan beberapa hadis Nabi sebagai bukti pembenaran atas kritiknya nanti. Hadist Nabi tersebut adalah “barang siapa yang berijtihad dan ia benar, maka ia mendapatkan dua kebaikan (pahala). Dan jika salah, maka baginya satu kebaikan (pahala)”. Berangkat dari hadist tersebut, rekan Syafi’ merasa bingung dan bimbang, berapa pahalakah yang layak di dapat dari makalah ini? Dan selanjutnya ia mengupas habis seputar judul yang diangkat pemakalah dengan membandingkannya dengan tema besar Mizan. Melanjutkan apa yang telah disampaikan oleh rekan Syafi’, rekan kita Fahmi langsung mengkritik ke jantung makalah tanpa perlu memberikan apresiasi pada pemakalah saat itu. Karena katanya, apresiasi telah ia sampaikan sehari sebelumnya via telfon dan inbox Facebook. Beberapa point yang menjadikan kritiknya terlihat ‘bengis’ adalah kritik-kritik yang bersangkutan mengenai metodologi analisa yang dipakai dalam penulisan makalah. Selanjutnya adalah mengenai pemetaan sejarah yang menurutnya mengalami gradualitas dalam isi makalah, terjebak dalam dua referensi primer sehingga sangat ia sayangkan karena Syatibi yang seharusnya menjadi bidikan utama kurang mendapatkan porsi yang cukup.
Setelah menerima berjibun kritik, rekanita Lailatuz Zakiyyah sebagai seorang sahabat merasa perulu untuk kembali memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya sebelum pada kahirnya nanti ia pun harus memberikan kritik juga. Adalah tata cara penulisan nama Arab, keindahan gaya bahasa dan beberapa masalah seputar tata letak kalimat yang menjadi bidikan kritiknya. Menurutnya basih banyak ditemukan inkonsistensi penulisan dalam makalah. Selanjutnya adalah rekan Roni, dengan gaya khas rambut terurainya sambil tersenyum ia mencoba memetakan gaya penulisan dalam makalah antara isi dan prolog. Menurutnya gaya penulisan isi makalah mengikuti aliran Habiburrahman Al-Syirazi, yang menjadikan makalah bak air mengalir ketika membacanya. Menurutnya wajar, karena ini adalah proses penulisan pada endapan kesadaran sang pemakalah. Sementara pada epilog, masih menurut rekan Roni, menggunakan alunan tinta Gunawan Muhammad. Maka tidak heran jika pada epilog masih membincangkan tema besar, konklusi ide-ide makalah dengan memposisikan epilog tidak hanya sebagai ucapan terimaksih. Sehingga jika ditilik dari jenis gender tulisan, terlepasa dari diri seorang pemakalah, makalah ini bersifat feminim. Dan akhirnya ebagai ‘orang yang terpaksa’, saya juga terpakasa harus berbicara untuk ikut-ikutan mengkritik meskipiun ditodong menjadi moderator saat itu. Dengan mempertimbangkan semua kritikan yang telah dimuntahkan oleh rekan dan rekanita sejak awal, saya harus mencari celah baru yang memang belum dikritik. Kebetulan catatan kaki-lah yang lepas dari pengawasan, sehingga saya mulai dari tata cara penulisan footnote (catatan kaki) lalu kemudian membincang sedikit masuk ke isi makalah dengan mempersoalkan beberapa kata ilmiah yang dipakai.
Tak terasa karena saking asyiknya, waktu Ashar seakan cuek. Akhirnya sebelum melanjutkan pada sesi diskusi, saya selaku moderator yang terpaksa, memaksa rekan dan rekanita Mizanis untuk rehat sejenak dan menunaikan ibadah shalat. Karena panjangnya antrian wudhu dan masih ada beberapa oknum yang belum menghabiskan mesin pembakar uangnya (rokok), sekalian diskusi kita lanjutkan setelah menunaikan ibadah shalat Maghrib.
III
Pada sesi tanggapan dan diskusi mengenai tema, kesempatan pertama saya berikan kepada rekan Rouf. Menurutnya diskursus maqâshid al-syarî’ah sampai detik ini masih menjadi polemik. Oleh karena itu, utuk memudahkan kajian mengenai terma maqâshid al-syarî’ah, rekan Rouf menawarkan dua pendekatan; diakronik dan singkronik. Sehingga dalam analisa nanti kita bisa membidik pendekatan politik maqâshid al-syarî’ah secara apriori dan epistemik. Karena dalam mengkaji sebuah entitas terma apapun takkan bisa lepas dari kondisi sosio-kultur yang melatarbelakangi munculnya terma tersebut. Terbukti pada era Juwaini adalah masa-masa crash dalam kehidupan sosio-politik. Sehingga konsep yang ditelurkan oleh Juwaini –selain kesadaran dan kesalehan- adalah merupakan upaya pelipur lara sebagai jawaban untuk masyarakatnya di satu sisi, dan proteksi eksistensi agama di sisi yang lain. Maka tak heran jika pada titik pemahaman sentralnya, Juwaini menggunakan nalar ‘irfaniy dengan mengusung nilai-nilai transendental. Berbeda dengan Syatibi, menurut rekan Rouf, Syatibi sadar benar akan fenomena-fenomena problematika umat yang kian menjamur. Oleh karena itu, ia meracik satu konsep baru pembasisan terhadap al-khithâb al-qur’âniy. Karena menurut penilaian rekan Rouf, jika pemahaman seputar konteks berangkat dari eksistensi teks (min al-khithâb ilâ al-nash) yang hanya berdasarkan atas nalar ‘aql dan naql, ini jelas akan terasa kering. Oleh sebab itu, maqâshid al-syarî’ah harus bisa diposisikan sebagai independensi ilmu universal yang akan selalu terus bergerak dinamis di dunia konteks (min al-nash ilâ al-khithâb). Sebagai konklusinya, nilai-nilai Islam dalam tubuh teks yang berbahasa ‘langit’ itu akan bisa membumi dengan kondisi manusianya (min al-nash ilâ al-khithâb tsumma ilâ al-wâqi’).
Ketika sedang asyik berfikir mengenai rancangan struktur nalar yang akan dipakai, dengan otoritas yang saya pegang saat itu, saya menodong rekan Lutfi untuk berbicara pada kesempatan kedua. Dengan senyum dan hati yang legowo, rekan Lutfi berasumsi bahwa maqâshid al-syarî’ah berada pada titik matangnya di tangan Syatibi. Menurutnya, sebelum masuk ke dalam area epstemik maqâshid al-syarî’ah, seyogyanya kita memahami akan definisi kolektif maqâshid al-syarî’ah itu sendiri. Perangkat yang digunakan rekan Lutfi untuk mengetahui eksistensi maqâshid al-syarî’ah adalah dengan model pertanyaan 5 W dan 1 H. Apakah syari’at itu? Siapakah yang berhak untuk memproduk hukum-hukum syari’at itu? Mengapa hukum-hukum itu menuntut aplikasi? Kapan dan di mana? Lalu bagaimanakah cara memposisikan syari’at dalam aspek-aspek kehidupan? Secara tegas rekan Lutfi menjawab bahwa semua pemahaman syari’at kembali kepada manusia itu sendiri. Dengan demikian, jika pada realitanya terdapat sekte-sekte yang mengaku berbendera Islam namun pada tataran praktiknya justru mengkaburkan nilai-nilai humanis yang ada dalam aturan main Islam, maka tidak benar jika syari’at di-kambing hitam-kan. Sekali lagi, maqâshid al-syarî’ah dengan lima konsep dasarnya harus bisa diimplementasikan pada tatanan kehidupan dengan nilai kemanusiaan tanpa memandang suku dan etnis tertentu.
Maqâshid al-syarî’ah adalah merupakan upaya interpretasi tehadap teks-teks keagamaan, ujar BPT (Bapak Pimpinan Tertinggi) rekan Andi dengan tegas. Menurtnya, syari’at dalam teks Al-Qur’an hanya sebentuk kata yang bisa diinterpretasikan oleh siapa saja dan dalam keadaan apa saja. Sehingga tidak heran jika pada praktiknya nanti –antara area satu dan yang lain- banyak perbedaan, melihat kondisi sosio-kultur yang juga berbeda. Syari’at yang dalam definisi etimologi adalah jalan (al-tharîq) atau metode (al-manhâj) adalah serangkain cara untuk memahami sekaligus merealisasikan nilai kandungan agama. Meminjam perspektif Al-Zamakhsyari dalam karyanya Al-Kasyaf, rekan Andi mengamini bahwa syari’at hanyalah sebagai jalan, artinya jika seorang muslim melewati jalan itu, maka selamatlah ia sebagai seorang muslim. Karena setiap laku pasti ada hal yang melatarbelakanginya, begitupun juga dengan syari’at. Jika memang demikian, maka tidak menutup kemungkinan syari’at bisa dipikirkan ulang (rethingking) sehingga bisa melahirkan pemikiran agama (al-fikr al-dîniy) dengan menampilkan perwajahan baru dalam pewacanaan agama. Dan pada babakan selanjutnya, manusia dengan sifat kesadaran dan kesalehannya tertarik untuk melakukan hal-hal positif yang bisa beresonansi dan terefleksi kepada manusia yang lainnya. Terbukti karena agama dan aturan mainnya (syari’at) semuanya diperuntukkan khusus buat manusia semata. Sebagai bukti pembenaran asumsinnya itu, rekan Andi meminjam perspektif Al-Asymawiy bahwa semua bisa dilihat dari setiap syari’at yang ada. Misalnya, syari’at agama Musa a.s. adalah sebentuk agama kebenaran (al-haq al-dîniy), syari’at Isa a.s. adalah manifestasi agama cinta (al-hub al-dîniy) dan syari’at Muhammad Saw. adalah agama rahmat hasil peleburan kedua syari’at di atas (al-dîn li rahmat li ‘al-‘âlamîn). Sebagai konklusinya, maqâshid al-syarî’ah selalu bersifat aplikatif sementara teorisasinya berada di tangan para ushûliyyîn (‘ulamâ’ ushûl al-fiqh dan ‘ulamâ’ ushûl al-dîn).
Dengan memahami suasana yang semakin memanas dan terlihat memang butuh pendingin, lagi-lagi atas nama otoritas, saya meminta rekanita Laila Az-Zakiyyah untuk turut memberikan wejangan seputar pemahamannya. Dan dengan rasa semangat yang seakan membalikakan tantangan, rekanita TeZe mengangkat tema ‘politasasi agama’ sebagai tema dasar untuk memahami eksistensi maqâshid al-syarî’ah. Menurutnya, politisasi agama sangat pas untuk dikaitkan dengan isi makalah. Ini tidak lepas karena kajian dalam tubuh makalah adalah kajian yang menggunakan kacamata sosio-politik. Berangkat dari asumsi bahwa hakikat agama adalah merupakan kumpulan wahyu-wahyu Tuhan yang kemudian bermetamorfosa menjadi panduan moral dan etika, rekanita TeZe menjustifikasi bahwa kebenaran agama adalah mutlak dan bukan relatif. Tapi ia menyayangkan pada tatanan praktinya, menurutnya banyak manusia yang justru terjebak dalam jurang kefanaan (relativisme). Sebagi bukti pembenaran, ia membeberkan konflik antara otoritas politik (al-sulthah al-siyâsiyah) dan otoritas ilmu pengetahuan (al-sulthah al-ma’rifiyyah) di masa dinasti Umaiyyah dan Abbasiyah. Terbukti dengan otoritas yang masing-masing dimiliki, kedua kubu saling serang demi mempertahankan eksistensinya. Lebih diperparah dengan mengeksploitasi ayat-ayat Tuhan di satu kesempatan dan mengeksplor di kesempatan yang lain hanya untuk kepentingan keberlangsungan otoritas dan koleganya. Syari’at pada masa ini sama sekali tidak bisa diindera dengan jelas. Karena pada dasarnya, maqâshid al-syarî’ah seharusnya bisa berdiri di atas semua golongan dan etnis, kini justru terpetakan. Sehingga pada babakan selanjutnya tidak heran jika perangkat pencari kebenaran tidaklah berangkat dari otoritas politik ataupun otoritas ilmu pengetahuan. Mengamini perspektif Al-Ghazali mengenai ‘ulamâ’ al-sû’ dan ‘ulam al-khair, rekanita TeZe menilai bahwa perangkat nomer wahid untuk menemukan kebenaran dalam memainkan aturan main agama adalah kesadaran manusia (al-wa’yu al-insâniy) itu sendiri. Sebagai konklusinya, ia jugalah yang memegang tonggak nahkoda ketika berlayar membawa hukum-hukum agama di bahtera kehidupan manusia.
Sembari mengenakan jaket hitam kesayangannya -karena menyadari hawa yang semakin dingin-, rekan Fahmi yang selama seminggu menyebarkan doktrin ideologi SETAN merahnya, kali ini justru terlihat santun dan semangat untuk menjadi manusia yang saleh. Menurut analisanya, sebelum masuk ke dalam bahasan maqâshid al-syarî’ah, ia menyorot aksistensi ruang lingkup ilmu fikh terlebih dahulu. Ia berasumsi bahwa ruang lingkup fikih masih dalam tataran materi (mâdiah/eksoteris). Hal inilah yang pada akhirnya nanti menjadikan terma dan teori maqâshid al-syarî’ah hanya bersifat aplikatif, tidak bisa masuk pada tataran esoteris. Ini semua berpijak pada teori logika induktif (al-qiyâs al-itiqrâiy) dalam ilmu ushul fikih yang memang menjadikan dunia konteks-materialistik sebagai premis awal dalam proses analisa sebuah problematika. Maklum diketehaui bahwa maqâshid al-syarî’ah mengalami kemapanan di tangan Syatibi yang mana ia jualah sesosok ulama yang mengumandangkan teori analisa istiqrâ’ tersebut. Upaya ini pada abad ke-8 bisa disebut sebagai masa mâ ba’da al-bayân, sebuah titik tolak penetrasi nalar burhâniy dalam tubuh maqâshid al-syarî’ah. Jika ditilik dari sisi personal para pelopor ilmu maqâshid al-syarî’ah, menggunakan kacamata filsafat, maka Al-Juwaini adalah orang yang mengenalkan nalar burhâniy terhadap ilmu ushul fikih, Al-Ghazali adalah orang yang menggunakan logika (manthiq) filsafat Aristo ketika memfromulasikan hukum dan Al-Syatibi adalah orang yang membumikan hukum melalui filsafat moral-etiknya. Menurut rekan Fahmi, maqâshid al-syarî’ah cenderung dengan tema-tema moralitas dan hanya bersifat praktik (‘amaliy). Ini karena berdasarkan analisa rekan Fahmi bahwa filsafat Al-Syatibi mengusung nalar burhâniy-materialistik dan bukan metafisik. Sebagai terma penting dalam maqâshid al-syarî’ah, terma maslahat tak luput dari pengawasannya. Menurut rekan Fahmi, konsep Najmuddin Al-Thufi dalam teori maslahatnya berpedoman bahwa prinsip paling utama dalam melahirkan sebuah hukum adalah kemaslahatan bukan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam analisanya, rekan Fahmi melihat teori ini mengalami kecacatan paradigmatik, problematikanya adalah jika maslahat diposisikan pada tataran paling awal, dikhawatirkan dan tidak menutup kemungkinan bahwa orientasi yang akan menjadi tujuan sebuah hukum hanya berdasarkan hawa nnafsu (al-hawa) belaka. Beruntung lahir sesosok Al-Syatibi, ia mencoba untuk melengkapi konsep-konsep Al-Thufi dengan menghadirkan maqâshid al-syarî’ah termasuk di dalamnya konsep maslahat yang tetap berpegangan pada teks (al-nash + al-maslahah + al-wâqi’ = maqâshid al-syarî’ah ). Sehingga yang pada awalnya ushul fikih terlihat eksak dengan nalar bayâni, kini dengan hadrinya maqâshid al-syarî’ah justru terbaca lebih sistematis ketika ingin menghadirkan hukum yang juga dinamis. Pada akhirnya, sebagai wujud rasa nasionalisme dan prihatin atas situasi dan kondisi negaranya, rekan Fahmi dengan tegas menyatakan bahwa konsep maqâshid al-syarî’ah tertuang dalam filsafat Bhineka Tunggal Ika dengan Pancasila sebagai butir-butir nilainya.
Dengan menghadirkan beberapa kisah inspiratif, rekan Rony El-Zahro ketika membincang tema maqâshid al-syarî’ah mencoba menggunakan nalar pemakalah (rekanita Syifa) namun berdasarkan dengan analisanya sendiri. Menurut rekan kita yang terlihat anggun dengan uraian rambut panjang nan bergelombangnya itu, kesalehan dan kesadaran dalam berhukum tidaklah sama. Artinya, ciri khas hukum pada tataran praktiknya di realita akan berbeda meskipun pada konsep awalnya sama. Jika perspektif ini bisa dipahami secara arif, maka maqâshid al-syarî’ah bukanlah konsep berhukum yang sulit untuk direalisasikan pada tatanan kehidupan. Benar kiranya jika Nabi diposisikan sebagai agamawan dan negarawan. Berangkat dari mafhûm al-nash karya Nasr Hamid Abu Zaid, rekan Rony mencoba masuk ke dalam dimensi kepribadian Nabi. Menurutnya sifat Al-Amin yang melekat pada diri Nabi bisa dillihat dari dua aspek; pertama, secara pribadi dan kehidupan bermasyarakatnya dan kedua, dari darah keturunannya. Maka tidak heran jika hadits Nabi memiliki dimensi future yang meskipun pada tataran realitanya berseberangan dan berbeda dengan masanya, namun bisa ditarik akar permasalahannya. Mencoba masuk jauh ke dalam dimensi kepribadian Nabi, rekan Rony menyatakan bahwa kepribadian Nabi menurut orang Marxis adalah ambigu, artinya ia tak terbaca. Sementara menurut orang-orang psikologis (psikolog) Nabi memiliki kepribadian ganda; maskulin dan feminim. Artinya pada satu kesempatan Nabi terlihat tegas dan di kesempatan yang lain justru terlihat santun. Setelah mendedah dimensi kepribadian Nabi berikut sifat hukumnya, rekan Rony masuk dalam orde al-khulafâ’ al-râsyidîn. Ringkasnya, teori berhukum pada masa ini berbeda-beda. Abu Bakar r.a. dalam berhukumnya tidak jauh berbeda dengan Nabi, Umar Bin Khatab r.a. memahami akar permaslahan fikih (ushul fikih) dan maqâshid al-syari’ah, sementara Utsman Bin Affan r.a. dan Ali Bin Abi Thalib r.a. tidak terlacak dengan pasti, karena memang panggung politik saat itu sedang mamanas dan keadaan negarapun tidak stabil. Akhirnya menjaga keutuhan umat adalah upaya utama. Memasuki masa dinasti Umaiyyah, menurut rekan Rony, dinasti Umaiyyah adalah surga para polikus. Karena menurutnya, stabilitis politik pada masa Umaiyyah bisa terjaga dan menjaga semua elemen umat berdasarkan kuasa politik. Tetapi sebagai efek sampingnya adalah stabilitas ilmu pengetahuan tidak kondusif, artinya ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh penikmatnya saja. Sementara pada masa dinasti Abbasiyah, kesadaran politik terpecah dan terpetakan menjadi dua otoritas baru; otoritas keagamaan (al-sulthah al-dîniyyah) dengan memposisikan al-qhâdhi sebagai simbol tonggaknya, dan otoritas politik (al-sulthah al-siyâsiyah) dengan memposisikan sultan sebagai simbol kejayaannya. Sementara terma maqâshid al-syari’ah ini muncul sebagai bentuk apresiai antara realita dan teks-teks kegamaan. Terbaca dari bagaimana Imam Juwaini berani memisahkan antara otoritas politik dan otoritas ilmu pengetahuan: (1) Mengajarkan bagaimana kita menjadi percaya diri (pd); baik sebagai umat Islam maupun sebagai manusia. Sementara teori, menurut rekan Rony hanyalah sebatas kacang goreng, yang artinya siapa saja bisa membuatnya. (2) Memposisikan agama sebagai nilai spiritualitas dan bukan lembaga legislasi. Dengan demikian maqâshid al-syarî’ah bisa berjalan berdampingan dengan ilmu-ilmu humaniora tanpa harus kehilangan identitas ideologinya.
Mengasakan maqâshid al-syarî’ah sebagai disiplin keilmuan yang universal, rekan Syafi’ dengan gaya amburadul namun justru terlihat simple dan apa adanya, ia mendedah definisi awal syari’at itu sendiri. Baginya syari’at dalam definisi etimologi adalah jalan atau batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Tuhan dengan otoritas mutlak-Nya yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Dengan memposisikan maqâshid al-syarî’ah adalah maqâshid al-syâri’ (Dzat yang mensyari’atkan), maka apakah tujuan dan maksud Tuhan dengan syari’atnya itu? Baginya, jawabannya mudah yaitu bunyi ayat yang menyatakan bahwa agama adalah rahmat untuk universe (wa mâ arsalnâka illâ rahmat li al-‘âlamîn). Rekan Syafi’ berasumsi bahwa konsep al-kulliyyah al-khamsah dalam tubuh maqâshid al-syarî’ah adalah bentuk rincinan dari rahamat universal itu sendiri. Dengan sifat universalitasnya itu, apakah benar jika maqâshid al-syarî’ah hanya termasuk bagian bidang garap ilmu suhul fikih dan fikih? Menurutnya tidaklah demikan. Terma maqâshid al-syarî’ah bisa didekati dan dipahami dari semua disiplin fan keilmuan Islam yang ada. Misal, ia bisa didekati oleh ahli tafsir dengan kaidah ilmu-ilmu tafsir (‘ulûm al-qur’ân). Karena bagi rekan Syafi’, ilmu tafsirlah -dengan segala corak metodologi penafsirannya (bi al-ra’yi, al-ma’tsûr, isyâriy, maudhû’iy)- yang lebih berhak untuk untuk membincang maqâshid al-syarî’ah. Ia juga bisa didekati via ilmu hadist (‘ulûm al-hadîts), terbukti dengan pengutusan Nabi sebagai interpreter awal terhadap teks Tuhan dengan tiga ciri khas sunnahnya adalah sebuah upaya nyata untuk menyingkap tabir dan maksud Tuhan, yang pada tataran aplikasinya nanti menuntut pemahaman umat. Dari ilmu bahasa (‘ulûm al-lughah) contoh konkrtinya adalah pemberian harakat pada teks-teks Al-Qur’an atas perintah Ali Bin Abi Thalib. Dengan demikian secara tidak langsung ini merupakan laku positif untuk menyeragamkan bacaan umat. Dan jika ini diposisikan secara lebih bijak, maka sejatinya semua manusia itu sama. Namun rekan Syafi’ pun mengamini bahwa sejatinya maqâshid al-syarî’ah matang di tangan para ushûliyyûn dan fuqahâ’. Karena baginya, sentuhan kedua ilmu ini pada tataran praktiknya adalah berinteraksi langsung dengan umat, dan umat adalah sasaran utama dari ilmu-ilmu ini. Sebagai konklusinya, maqâshid al-syarî’ah adalah sebuah upaya konkrit untuk membumikan kebijaksanaan Tuhan.
Barangkali benar jika dikatakan bahwa otoritas itu menjadi perlu ketika meminta sebuah pertanggungjawaban. Lagi-lagi dengan otoritas yang saya pegang, saya meminta rekanita Izzah -yang meminta izin ketika diskusi sedang berjalan- untuk turut juga memberikan konstribusi gagasannya melalui email. Meskipun saya berhak dengan semua kuasa saya, saya tidak semena-mena untuk melakukan reduksi dari tulisan rekanita Izzah yang dikirim via email tersebut. Jadi, saya tuliskan persis seperti apa adanya; (1) Indepensi Maqâshid al-Syarî'ah. Ketika kalimat itu terlintas, tentu akan muncul sebuah pertanyaan, apakah maqâshid al-syari'ah ini bisa menjadi legitimasi yang independen dari dalil-dalil syara'? Ataukah keberdaannya hanya bisa mengekor pada dalil-dalil syara'? Berbicara mengenai hal ini, DR. Ahmad Raisuni memaparkan dalam bukunya 'al-Ijtihad fi Maqâshidihi' ada tiga golongan yang menyinggung keindependenan maqâshid al-syari'ah, diantaranya; pertama, mereka menganggap bahwa maqâshid al-syari'ah bisa dianggap sebagai dalil yang independen sehingga mampu menciptakan hukum sendiri dan bisa dijadikan piranti dalam mentarjih sebuah hukum. Beda halnya dengan golongan kedua, kelompok ini lebih meyakini bahwa maqâshid al-syari'ah tidak dipandang sebagai dalil yang independen serta tidak berdaya jika dihadapan nash-nash syara' dan Ijma'. Lagi-lagi golongan moderat tampil mengetengahkan di antara keduanya, kelompok ini tidak berpihak pada golongan pertama maupun kedua, mereka mencoba menyeimbangkan maqâshid al-syari'ah dengan teks-teks syar'i yang ada. Tendensi kelompok moderat semakit kuat dengan berdalih bahwa maqâshid al-syarî’ah menurut sifat-sifatnya itu maqâshid yang berdasar pada syara' bermakna maqâshid ini harus mengikuti dalil syara' serta kaidahnya dengan begitu maqâshid selamanya tidak akan terlepas dengan dalil-dalil syara'. Selain itu golongan moderat meyakini bahwa adanya relasi kuat antar maqâshid dengan dalil-dalil syara', mereka mengumpamakan seperti hubungan kulli dengan juz'i. Maka pendapat yang ketiga inilah dinilai lebih dekat pada kebenaran karena mengaitkan dengan syara', akal dan kemaslahatan manusia. Adapun mereka yang menganggap bahwa maqâshid al-syari'ah mampu dijadikan sebagai dalil independen itu karena mereka lebih mendewakan akal. Menurutnya, keterbatasan teks-teks syar'i yang tak mampu menjawab segala problem kekinian, maka sangat wajar jika mereka lebih mengedepankan kemaslahatan ketimbang teks dengan alasan agar mampu menemukan solusi disetiap permasalahan. Saya sendiri lebih mengamini kelompok moderat, yang mencoba mengharmonisasikan antara maqâshid al-syari'ah dengan teks syar'i, tidak mengedepankan salah satunya tapi berusaha menyeiramakan antara keduanya. (2) Kontradiksi Antara Teks dengan Mashlaḫah. Mengkaji maqâshid tentu tak akan terlepas dengan mashlaḫah, karena keduanya mempunyai relasi kuat, dimana mashlaḫah adalah terminal terakhir dari maqâshid al-syari'ah. Membincang maqâshid al-syari'ah, kaitanya kontradiksi antara teks dengan mashlaḫah, DR. Yusuf Qardhawi mengklasifiksikan teks. Menurtnya, teks terbagi menjadi dua: teks qath'i (al-Qur'an dan al-Hadits) dan teks dzanni, jelas kita tidak akan memperpangjang teks qathi' karena permalasahan merucut pada teks dzanni. Jika terjadi kontradiksi antara teks dzanni dengan mashlahah dzanni maka lebih dikedepankan teks dzanni karena teks dzanni kedudukannya lebih tinggi daripada mashlahah dzanni, namun jika menemui kejanggalan antar teks dzanni dengan teks qath'i maka dalam hal ini mashlahah lebih dikedepankan. Tentu mashlahah yang sesuai dengan kriteria (dharûriyat, hâjiyyat dan tahsîniyat). Masih menurut DR. Yusuf Qardhawi dalam karyanya 'Dirasat fi Fiqh al Maqâshid al-Syari'ah baina Maqâshid al-Kulliyah wa al-Nushush al-Juz'iyyah' ada tiga kubu yang menyinggung kaitanya dengan permasalahan ini: pertama, kelompok yang memaknai teks dari segi literal atau dzahir, bisa dikatakan golongan ini pewaris kaum Dzahiriyah, sangat ekstrim bahkan mereka mengingkari adanya ijma, qiyas maupun hikmah dibalik kandungan ayat. Maka wajar mereka berangggapan bahwa jika terjadi kontradiksi antara teks dan mashlahah maka mereka lebih mengambil teks ketimbang mashalahah, menurutnya akal tak mempunyai peran sama sekali terlebih dalam menentukan suatu hukum. Tapi ada nilai positif dari kelompok ini, tidak mengenal istilah taqlid serta bersikukuh mempertahankan teks sebagai pijakannya. Berbeda jauh dengan kelompok kedua, jika kelompok pertama lebih mengedepankan teks maka kelompok kedua ini lebih memprioritaskan mashlahah bahkan secara terang-terangan mereka menolak teks dan menjadikan pilar-pilar maqâshid ini sebagai senjata untuk melenyapkan teks. Pendirian mereka semakin kuat dengan menelan mentah-mentah stetemen yang digulingkan oleh Najmudin at-Thufi (mengedepankan mashlahah ketimbang teks) memberikan kebebasan selebar-lebarnya terhadap mashlahah bahkan sampai melangkahi teks syar'i. Jika ditelisik lebih jauh, kesalahan fatal kelmpok kedua ini karena tidak memahami maqâshid al-syari'ah dengan baik, bagaimana mungkin mashlahat lebih didahulukan daripada teks sedangkan mashlahat terlahir karena adanya teks yang mengitarinya. Selain itu, mengenai statemen at-Thufi mereka juga tidak mendalami betul gagasan serta pendekatan apa yang digulingkan oleh at-Thufi, padahal beliau mengedepankan mashlahah seputar masalah muamlah saja tidak pada ubuddiyah, karena hukum pada ubudiyah sudah paten tak mungkin berubah sampai kapanpun. Ramadhan Buthi pun juga mewanti-wanti untuk meminimalisir porsi akal dalam menentukan suatu hukum karena bisa memungkinkan terjadinya kekeliruan maupun kesalahan. Selanjutnya kelompok moderat, golongan ini lebih berpandangan luas daripada keduanya, mereka mencoba mengkombinasikan antara teks partikal dengan mashlahah yang universal. Termasuk dalam kelompok ini Imam al-Ghazali, Imam Syathibi, Qorofi dll, mereka beranggapan bahwa Tuhan menetapkan suatu hukum tidak lain untuk kemaslahatan hambaNya, mereka memposisikan teks-teks syar'i untuk bisa diaplikasikan pada masa kekinian, tidak mempersulit serta berusaha menghadirkan hukum-hukum syar'i dengan fleksibel mungkin. Jika boleh mentarjih, saya sendiri lebih memilih pada golongan ketiga karena tidak mengesampingkan teks dan juga tidak mengdepankan mashlahah namun berusaha untuk menyerasikan di antara keduanya.
Setelah semua rekan-rekanita memberikan gagasannya masing-masing mengenai tema maqâshid al-syarî’ah, kini tiba giliran saya (terkahir) untuk mencoba ikut-ikutan ngomong mengenai tema terkait. Sependek pengetahuan saya, sebelum membincang jauh tentang maqâshid al-syarî’ah, saya ingin sedikit melakukan flashbcak atas eksistensi syari’at itu sendiri (eksistensi syari’at pra Islam). Maklum diketahui bahwa syari’at Tuhan sudah ada semenjak diutusnya nabi-nabi sebelum nabi terakhir, Muhammad. Sebagai bukti pembenara, saya mengutip teks Tuhan “wa likulli minkum syir’atan wa minhâjan” adalah data-fakta nyata yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka pada babakan selanjutnya, tidak heran jika dalam tubuh ilmu ushul fikih kita jumpai konsep syari’at-syari’at umat sebelum Islam (syar’u man qablanâ). Dan saya meyakini bahwa semua syari’at Tuhan itu memiliki kadar maqâshid-nya masing-masing. Berangkat dari sini, saya ingin memposisikan maqâshid al-syarî’ah sebagai profit hukum yang universal dengan mendefinisikan syari’at adalah semua hal yang bersumber dari Tuhan (kullu ma shadara min Llâh) dengan memposisikan akidah, ibadah dan muamalah sebagai pilar-pilar praksisnya. Jika pada awalnya maqâshid al-syarî’ah memiliki sifat universalitas tanpa batas, maka setelah pengutusan nabi terkahir, Muhammad dengan Al-Qur’an sebagai sumber berhukumnya, maqâshid al-syarî’ah seakan dibatasi oleh eksisntensi dari Al-Qur’an itu sendiri. Dengan demikian, perlu adanya upaya pembacaan bijak terhadap teks Al-Qur’an agar menjaga maqâshid al-syarî’ah tetap bisa bertahan dengan sifat universalitasnya itu. Sehingga kita bisa meposisikan maqâshid al-syarî’ah sebagai ahdâf al-dîn dan bukan ahkâm al-dîn. Karena jika maqâshid al-syarî’ah diposisikan sebagai ahkâm al-dîn, maka jelas ia akan mengalami pereduksian ruang kerja dan hanya akan menjadi bidang garap dari ilmu ushul fikih dan fikih, meskipun pada dasarnya menguak tabir hikmah dalam tubuh teks adalah melalui penerapan hukum (an tu’raf al-hikmah fî kulli nashin syar’iyyin jâ’a bi hukmin). Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, harus ada usaha pembacaan bijak terhadap teks agar bisa menjaga keuniversalitasan maqâshid al-syarî’ah, maka saya akan menggunakan dua pembacaan perbandingan terhadap teks itu sendiri; pemabacaan tekstualis (qirâ’ah nashiyyah) dan pembacaan profit eksistensi teks (qirâ’ah maqâshidiyyah). Dengan menggunakan logika nalarnya masing-masing; qirâ’ah nashiyyah (pemabacaan tekstualis) menggunakan logika praktis (al-‘aql al-‘amaliy), sementara qirâ’ah maqâshidiyyah (pembacaan profit eksistensi teks) menggunakan logika naluri murni (al-‘aql al-fithriy). Dengan demikian, jika dalam membaca teks hanya menggunakan pembacaan tekstualis dengan logika praktis, maka hukum yang akan dilahirkan merupakan hasil dan bergantung pada ada dan tidaknya sebab-sebab hukum itu sendiri, dan justru akan terlihat kering (al-hukmu yadûru ma’a al-‘illah wujûdan wa ‘adaman). Berbeda halnya jika teks dibaca melalui kacamata pembacaan profit eksistensi teks dengan logika naluri murni sebagai perangkat berfikirnya, maka sebuah hukum akan lebih bersifat kemaslahatan dan terlihat dinamis pada tataran parkatisnya nanti (al-hukmu yadûru ma’a al-maslahah wujûdan wa ‘adaman). Jadi, dengan memakai dua pembacaan sekaligus terhadap teks, diasakan maqâshid al-syarî’ah tidak kehilangan identitas universalitasnya, tentunya dengan pendekatan kolektif semua fan disiplin keilmuan Islam yang ada. Sebagai konklusi bijaknya adalah upaya rekontruksi maqâshid (al-tajdîd al-maqâshidiy) bukanlah merupakan perkara yang absurd.
IV
Sembari menghela nafas, saya memberikan waktu sekali lagi kepada rekanita Syifa sebagai pemakalah untuk sedikit menanggapi atas gagasan rekan-rekanita Mizanis tersebut. Dengan nada sopan, ia berkata bahwa semua gagasan teman-teman adalah masukan baru atas pemahamannya tentang maqâshid al-syarî’ah itu sendiri. Sebagai laku santun, ia pun akan mencoba menuangkan gagasan-gagasan tersebut dalam isi makalahnya nanti ketika proses revisi.
Demikianlah cuplikan kajian terkahir dalam agenda besar Al-Mizan kali ini. Semoga bisa menjadi air kesegaran pengobat rindu bagi rekan-rekanita Mizanis yang tidak dapat hadir pada saat itu, di manapun dan kapanpun kalian berada. Wallahu a’lam bi al-shawâb. Sekian !
Reporter: Hijr Ryan